webnovel

CONCIOUS

Perlahan, Gea membuka matanya. Jarak pandangnya masih remang-remang menyesuaikan cahaya yang masuk dengan matanya. Dia hendak mengucek mata, namun tangannya terlalu susah digerakkan. Bukan hanya tangan tapi juga seluruh tubuhnya. Dia ingin membuka mulutnya, meminta tolong pada siapa pun. Dia begitu kesusahan sekarang.

Dia melirik ke samping kirinya. Ada kotak dengan alat yang berbunyi bip bip bip. Alat itu memiliki layar yang hanaya menampilkan kurva naik turun. Dia merasa de javu pada keadaan ini. Ya ini sama dengan yang dialami oleh orang tuanya. Mereka terbaring lemah dengan belalai-belalai yang memenuhi tubuh. Ditusuk sana-sini.

"Kau tahu Geisha. Siapa yang tengah kau peluk itu?"

"Adik Geisha?" tebaknya.

"Itu buah hatimu dengan Dirga. Tuhan berbaik hati menunjukkannya padamu."

Kilas balik ingatan itu kembali. Saat pembicaraan terakir dengan mamanya menerobos ingatan. Bayi tampan itu miliknya. Buah cintanya bersama lelaki itu. Gea menggerakan tangannya ke bawah perut, merabanya. "Have you still there, baby. Kamu masih di sana, kan?" Air matanya menggenang di pelupuk mata. Dia tidak bisa membayangkan jika terjadi apa-apa dengan bayi tampan miliknya

"Kau sudah sadar?" suara lelaki menyahutinya.

Devan.

Bagaimana mungkin?

Gea mengernyitkan dahi. Dia ingin menimpali perkataan lelaki itu−mengintrogasinya hingga mulutnya berbusa. Apakah dia tidak apa-apa menerima pukulan Digo kemarin. Padahal Gea melihatnya babak belur. Tapi saat ini−detik ini−lelaki itu memarkenkan senyum untuknya. Dia tengah berdiri di ambang pintu kamar mandi rumah sakit di ruangannya.

Melihat Gea mengusap-usap perutnya Devan duduk di sampingnya ikut mengelus perutnya. "Dia anak yang kuat. Dokter yang menanganinya bahkan takjub, bagaimana bisa bayi ini bertahan dalam kualitas life chance ibunya yang bahkan mendekati nol persen." Tangan mereka bertabrakan. Devan menyentuh tangan Gea hendak memegangnya, tapi Gea segera menjauhkan tangannya.

Gea membuang wajahnya ke samping. Di jendela itu, dia bisa melihat jika pipinya bersemu.

"Kau bisa bernapas lewat hidung kan sekarang?" Gea menggeleng tak paham. "Kau kemarin kritis jadi alat pernapasanmu dibantu menggunakan belalai di area mulut. Nah sekarang maukah kubantu untuk melepasnya." Gea mengangguk.

Lelaki itu mendekat ke arahnya. Tubuhnya yang tinggi itu berdiri. Gea menahan napasnya namun harum tubuh lelaki itu malah memenuhi indra penciumannya. Harum. Tidak seperti harum kayu atau peppermint seperti kebanyakan lelaki. Wanginya khas, manis. Seperti harum bubble gum yang selalu Tara−teman kantornya−makan. Harum ini menenangkan, seperti aromaterapi. Gea ingin menghirupnya dalam mulai sekarang. Bolehkah? Eh,

"Dev…" Gea melenguh atau mengeluh. Harusnya dia mengeluh tapi justru suara lenguhan yang keluar. Dia ingin Devan menjauhinya, menyingkirkan aroma tubuhnya yang sialan wangi. Devan tak menggubrisnya dan masih mencopot beberapa bagian belalai-belalai yang memenuhi wajahnya. Tangannya dengan telaten mencopotnya. Tidak sakit. Dia benar-benar dokter hebat.

Selesai. Wajahnya kini bersih tanpa peralatan.

"Dev, emm kapan aku bisa pulang?"

Devan kembali duduk di sampingnya. Memandangnya, intens. Tidak sama sekali pun mengalihkan perhatian selain pada Gea. Gea semakin merasa errrr entahlah.

"Siang ini."

"Oh." Gea menghela napas berat. Devan masih menatapnya. Gosh bahkan tanpa berkedip sekali pun.

"Dev, bagaimana kamu bisa ada di sini?"

"Hmm"

"Aku begitu khawatir tahu. Perasaanku tak tenang tahu melihat kamu bonyok gitu, sedang aku gak bisa buat apa-apa." Akunya.

"Hmm"

"Dev, kenapa kamu jawabnya hmm terus." Entah kekuatan dari mana Gea bisa bicara selancar ini. Padahal taadi untuk menggerakan telunjuk saja begitu berat.

"Hmmm"

Gea melirik Devan yang justru tersenyum. Hangat sekali. Pandangannya teduh dan sayu secara bersamaan. "Bolehkah aku memelukmu?" Gea tak mengerti namun kemudian mengangguk menyetujui. "Miss you." Gea hanya tersenyum−bingung harus merespon apa. "I'm really crazy wiyhout you, I feel the world is over. Dua hari gak ketemu rasanya begitu hampa." Gea berusaha mencerna perkataan Devan. Pelukan itu lama sekali. Pelukan yang selama ini Gea impikan. Orang yang mungkin akan melindunginya dan menjaganya bersama little baby. Membayangkan itu membuat hati kecil Gea menggertak. Dia tidak boleh mengkhianatinya cinta pertamanya. Akhirnya dia melepaskan pelukannya. Devan yang tak mengerti pun menatapnya aneh.

"Devan, you look okay, isn't you? Jadi gimana kamu bisa keluar dari villa dengan tampang yang lumayan horror itu. Aku bahkan tak bisa membayangkannya jika itu aku." Gea bergidik ngeri.

"Selalu ada jalan keluar, hunn." Devan meremas lengannya.

"Please. Don't call me like that. Jangan panggil aku begitu."

"Jadi kamu mau aku panggil apa, hunn. Sweetpea, pumpkin, darling, baby." Devan menaik turunkan alisnya.

"Don't." Gea memukul lengannya. "Anything. Aku bukan bayimu."

"I don't think so. Aku hanya takut kehilanganmu. Miss you." Gea memutar bola matanya. Jengah.

"Jadi bagaimana kamu bisa kemari."

"Mencoba mengalihkan perhatian ya," Devan mencium pipi Gea cepat. Dia tertawa sementara Gea memelototinya. "Aku mendengar kamu masuk rumah sakit, and that is where I'm. Aku akan selalu berusaha di sampingmu−"

"Sebagai teman." Gea tertawa. Dia rasa lelaki ini kadar humornya perlu dikurangi.

"Terserah kamu, hunn." Devan menatapnya dengan pandangan sendu. Tatapan itu tak beralih dari bibirnya.

"Apa hubungan kita tak bisa ke tahap selanjutnya?"

"Kamu ngomong apa sih." Gea mengalihkan tatapannya dari wajah penuh harap Devan.

Devan menutup mulutnya. Tertawa dalam diam. "Kamu lucu, hunn." Dia bahkan sudah memegangi perutnya. "Malunya sampai segitunya. Buang muka segala."

"Aku enggak buang muka, Devan." Suara Gea meninggi. Bibirnya mengerucut marah.

Devan menyentuh bibir Gea dan dia seolah terpaku. Gea terpaku di tempatnya. "Kamu aneh."

"Aku gak bisa bayangin saat nanti aku melamarmu. Kekesalanmu nanti akan membuat aku menjadi lelaki paling beruntung mendapatkanmu. Kamu yang sekarang marah pun membuatku bahagia." Gea tak berkutik. Mendengar ucapan manis Devan membuat perasaannya terombang-ambing bak kapal layar dilautan.

"Can I kiss you?" Gea tak mampu menjawab namun juga tak menolak. Dia terdiam. "Selalu ada orang yang bilang jika diamnya perempuan itu adalah ya. Sebagai lelaki pada umumnya, aku tak bisa membaca pikiran wanita. Namun aku paham sedikit bahasa tubuhnya."

Devan mendekatkan wajahnya. Menempelkan bibirnya pada bibir tipis Gea. Bibir mereka tidak bermain. Bibir itu hanya saling beradu saling menempel. Devan sebenarnya ingin mencecapnya, mengeksplornya lebih dalam. Namun dia tidak bisa menjadi lelaki brengsek untuk wanita yang memiliki something special di sebagian hatinya.

Gea menikmatinya. Walau pun ini tidak disebut ciuman−menurut Digo ciuman itu adalah saling merasakan saliva−kebanyakan orang menamainya kecupan. Tapi baginya ini adalah salah satu hal terindah yang pernah dialaminya. Dia begitu terbuai. Begitu tergoda.

Kenapa denyut jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Meskipun tak secepat saat dia bersama dengan lelaki itu, tapi ini bisa dikatakan tidak normal. Perutnya juga sedikit mengejang dengan setengah hati yang dilingkupi perasaan membuncah. Dia terpejam ingin menikmatinya walau hanya sebentar saja. Dia ingin melupakan dunianya yang begitu kabur. Hanya bersama Digo. Ya hanya Digo.

Ini salah. Ini salah. Ini salah.

Hatinya terus saja menyuarakan kalimat itu membuatnya sedikit terusik. Aneh. Saat lidah Devan berusaha menerobos masuk saat itulah Gea menyadari kesalahannya. Tidak. Bukan ini yang dia inginkan. Bukan lelaki ini yang membuat sebagian hidupnya jungkir balik. Jelas jika ini salah.

Saat Gea membuka matanya, saat itulah pandangannya bersirobok dengan tatapan dingin. Lelaki itu tengah berdiri di samping pintu yang terbuka lebar. Tubuhnya yang menghadap pintu mampu melihat sorot mata itu. Sorot mata yang sekali lagi mungkin akan menghancurkanya.

Dan faktanya memang begitu.

Next chapter