9 BEHIND THE SAD

Raut wajah lelaki itu taampak biasa saja melihat Gea yang pingsan dan ketakutan setengah mati. Tak ada ekspresi semacam sedih, gusar, bahkan khawatir melihat kondisi gadis itu. Malah secara tak tersirat justru dia tidak peduli pada apapun keadaan yang tengah menghantam perempuan−Gea. Dia memang taka da apa-apanya disbanding hal berharga apa pun yang Digo punya.

Dalam keterdiamannya, handphone yang berada di sakunya berdering memecah kesunyian. Tangannya tergapai untuk mengambilnya. Matanya melihat sekilas baris nama yang tertera.

Ibu Negara is Calling

"Halo ma, ada apa?"

"Ada apa." Suara di seberang meninggi. "Mama sudah ada di butik Bersama Renata. Kamu tidak lupa kan jika hari ini kalian fitting baju pengantin." Ibunya mencoba mengingatkan.

"Aku sedang sibuk ma. Banyak kerjaan." Digo menghela napas dan sedikit menjauhkan ppponselnya. "Mama urus saja semuanya sama Renata." Katanya seolah itu adalah hal santai.

"Digo mama peringatkan ya. Jangan macam-macam, Renata anak baik. Ini pernikahan kamu bukan pernikahan mama. Jadi cepatlah dating ke sini." Ibunya sedikit berteriak menahan kesal melihat kelakuan putra biadabnya.

"Ma, mama bias kan urus semuanya. Lagian Cuma baju kok ngapain dibikin pusing. Yang penting kan nikahannya pake baju gak telanjang. Dan itu" belum sempat Digo selesai bicara mamanya langsung memotong.

"Digo pernikahan adalah sesuatu yang sacral dan itu Cuma satu sekali seumur hidup, mama harap. Kamu paham kan?"

"Hanya mama yang berpikiran primitive seperti itu." Dengusnya.

"Cepat ke sini atau mama akan membatalkan pernikahan ini." Sontak Digo berteriak.

"JANGAN. Digo beneran cinta Renata. Digo mau berkeluarga sama dia." Digo berdiri dari duduknya lalu memijit keningnya yang tidak pusing. "setengah jam lagi Digo sampai. Mama kirim alamatnya."

Digo merapikan kembali pakaiannya yang Nampak kusut. "Raisa, sepertinya aku akan pergi dulu. Kau jaga Si Jalang ini." Dia melihat Gea sekilas.

"Apa tidak bias kau gugurkan saja kandungannya sekarang?" Raisa melotot.

"Tentu saja bodoh. Itu bisa menimbulkan komplikasi yang membahayakan keduanya. Kau tidak ingin kan sesuatu yang buruk terjadi padanya."

"Sebenarnya aku sama sekali tidak peduli. Kalua dia mati mungkin itu lebih baik."

"DIGO" Raisa berteriak jengkel. Kurang ajar sekali sahabatnya ini. Bagaimana pun sekotor apa pun seorang wanita, dia tetap manusia.

Digo tertawa.

Raisa bangkit hendak memukul lelaki itu namun dia kalah cepat. Lelaki itus udah berada di ambang pintu keluar. "Aku pergi dulu," Digo melesat pergi meninggalkan Raisa begitu saja.

"Kau meamng lelaki brengsek. Tapi sayangnya kau selalu mendapat wanita yang beruntung seperti wanita ini." Raisa memandang Gea dengan prihatin. "Aku tahu dia tidak menjebakmu karena ingin mendapatkan hartamu seperti yang kau pikir. Sepertinya dia bukan wanita realistis. Dia hanya mencintaimu terlalu besar. Sampai tidak bisa membedakan antara logika dan fakta." Raisa tersenyum miris.

Sayangnya perempuan−seperti Gea, selalu mendahulukan perasaan.

***

Nyonya Melinda bergerak-gerak gelisah sedari tadi sementara Renata tak hentinya tersenyum alih-alih terbahak. Betapa lucunya Ibu Dirgantara itu menurutnya. Kalua bisa diibaratkan dia seperti memandangi setrika berjalan. Nyonya itu berjalan maju sambil menggaruk kepala lalu mundur sembari berekspresi kesal dengan bibir berkedut-kedut. Jarang sekali wanita itu begitu ekspresif.

Biasanya yang dilakukan nyonya Melina adalah berbelanja di mall atau membeli perhiasan branded dengan harga selangit. Keluarga mereka memang kaya tujuh turunan begitu pun dengan Renata. Awalnya ini adalah pernikahan perjodohan, namun dengan sedikit intrik justru keduanya−Digo dan Renata menganngap hubungan ini serius. Bahkan beberapa kali Digo menyatakan cintanya di depan Nyonya Melina dan keluarga lainnya dengan lantang.

"Nyonya, apa Anda tidak Lelah terus menerus seperti itu." Nada lembut Renata menyadarkan Nyonya Melina.

"Shut up to call me like that. Jangan panggil aku nyonya Renata, kamu bukan babuku." Renata terdiam, dia lupa kalua nyonya mertuanya tidak suka dipanggil seperti itu.

"Maaf Ma." Ucapnya lirih penuh sesal.

"That's better." Seperti wanita sosialita pada umumnya Dia menenggakan wajahnya sambil tersenyum kecut. "Panggil aku mama. Sebentar lagi aku akan jadi mertuamu kan."

"Iya ma," Ucap Renata pasrah.

"Mama haus gak? Dari tadi kan jalan mulu" ujar Gea sambil menyerahkan segelas air yang dia ambil dari meja.

"Kamuu memang good. Digo lucky dapet you. Mama yakin kamu bisa mengatasi sikap pembangkang Digo yang bad attitude kaya berandalan itu. Kayanya kamu memang tempat pulangnya dia kaya papanya sama mama," Nyonya Melina mengenang keromantisannya Bersama almarhun Tuan Hendra.

"Hendra, kekasih sehidup sematiku. Sayang dia cannot see what's happen now. Putra kebanggaannya akan menikahi wanita paling baik sedunia. Sungguh lucky Digo"

Renata tersipu malu dipuji terus-terusan oleh ibu mertuanya. Rasa hangat terus menjalari dirinya apalgi mendengar panggilan sang pujaan hati yang telah menyapa mereka.

"Mama. Sayang. Kalian sudah nunggu aku lama ya?" Digo mendekat lalu merangkul mesra Renata. Mencium keningnya lembut.

"Baru sadar ini anak setan"/ geram mamanya.

"Aku beneran sibuk saying. Maaf membuatmu menunggu" lagi Digo mencium Renata tetapat di bibirnya. Singkat namun berefek tidak baik bagi detakan jantungnya. "Aku buru-buru biar cepat ke sini." Raut penyesalan yang sungguh tidak dibuat-buat, batin Renata berteriak kencang.

Dia memang calon suami idaman semua orang. Sikapnya yang lembut dan perhatian sehingga diartikan sweet. Nada bicaranya yang lembut. Belum lagi rasa cintanya yang meluap-luap seolah Renata adalah satu-satunya wanita yang berhak di pandangi.

"Karena si anak setan sudah dating. I'm home ya menantu." Tukas Nyonya Melina sambil berlalu pergi.

***

Digo mengerang. Entah kenapa dengan tidak sopannya melihat senyuman Renata justru membangkitkan sisi fantasi gelapnya Bersama Si Jalang.

Aih, kenapa justru wajah jalang itu yang terlihat yang memohon untuk dimasuki keperkasaannya. Digo sepertinya sudah gila.

"Jadi kita akan memilih yang mana sayang?" ujar Digo melihat antusias Renata yang menunjukan beberapa gaun dan setelan pria padanya.

"Kamu Sukanya yang mana?" Renata justru bertanya balik.

"Aku selalu suka pilihan kamu sayang. Yang mana aja terserah kamu?" jawab Digo sambil mendekati Renata lalu merangkul tubuhnya gemas.

"Aku Sukanya yang ini. Gaun tanpa kerah tapi tidak terlihat meninjolkan tubuhku."

"Aku mengerti saying, karena kamu bukan jalang. Aku tahu. Tidak seperti G−" menggantung perkataannya tanpa rasa bersalah pada Renata yang setengah mati penasaran.

"Seperti Ge apa?" Renata begitu bertanya-tanya. Tidak biasanya Digo membawa orang lain saat bercakap-cakap dengannya. Bukannya dia terlalu protektif tapi itu perjanjian mereka agar tidak berhubungan dekat dengan siapa pun. Bahkan Renata pun menyanggupi dengan berjauhan dengan Gea. Alasannya sederhana. Mereka tidak mau orang-orang itu mempengaruhi kisah cinta mereka yang baru seumur jagung.

"Lupakan,"

Baru kali ini Renata merasa sebal pada lelaki yang dipujanya itu.

-To be continued-

.

.

.

avataravatar
Next chapter