8 [still] NIGHTMARE

Bagian 2

Happy reading, guys.

Gea merangsek mendekati tempat duduk di dekatnya. Lorong itu tampak sunyi sekali seperti yang tengah Gea rasakan saat ini. Gadis itu menyeka wajahnya dengan beberapa lembar tisu basah yang dia dapatkan dari dinding dekat kursi tunggu itu. Lama sekali tadi dia menangis membuat wajahnya dipenuhi air mata.

Dia gadis lemah. Diperlakukan sedemikian jahat oleh Digo, dia masih tetap berharap. Apalhi Tuhan seolah mendengar doanya dengan menghadirkan buah hatinya. Ya, beberapa bulan lagi dia pasti akan melahirkan bayi yang cantic atau tampan. Karena ayah bayinuya ini merupakan seorang lelaki dengan wajah tampan bak model terkenal. Dia tersenyum. Tepatnya meringis.

Keadaan yang seperti ini tak bias menyurutkan harapannya. Akankah pernikahan lelaki itu tetap berlanjut atau…? Sudahlah jangan terlalu berharap. Harapan kali ini bagaikan ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai dalam artian sangat mustahil.

Bagaimana mungkin lelaki itu, tiba-tiba melepas wanita yang amat dia cintai. Gea berpikir apa kelebihan Renata, mengapa lelaki itu seolah tergila-gila padanya. Apa gea kurang cantic. Jangankan lelaki bejat macam Digo, lelaki alim dan baik-baik saja pasti akan tergoda melihatnya. Gadis cantic keturunan Rusia-spanyol memang bibit unggul yang jauh dari kata buruk. Body bagus, wajah cantic, tinggi dengan kulit seputih susu. Mata bulat dengan anugrah warna biru yang menghiasinya.

Kurang apalagi?

Dia memang bukan keturunan orang Asia, namun keluarganya memilih untuk tinggal di Indonesia. Pantas saja, wajahnya berbeda dari yang lain. Bahkan, sejak kecil di sekolah mana pun dia tetap mendapat predikat gadis paling popular. Sayang, kepopuleran itu tidak dimanfaatkan dengan baik sehingga malah tersesat jadi seorang sekretaris. Bodoh, kata beberapa orang.

Namun, Gea tidak mengindahkan bahkan cenderung mengacuhkannya. Sejak kecil gadis itu sudah mengenal cinta. Pada Digo, kakak kelasnya.

Kini dia menyadari kekurangan terbesar dalam dirinya, ketulusan hati. Dari luar memang dia seperti porselen yang terpahat namun nyatanya jiwanya rusak. Penuh ego dan kelicikan. Sebenarnya apa yang dikatakan Digo benar. Apa yang dikatakan kakaknya semalam juga benar. Dia licik dan sangat picik. Dirinya jaauh dari kata baik. Yap, benar.

***

Gea masih duduk untuk satu jam ke depan di lorong itu menanti kedatangan Digo yang menghilang entah ke mana. Dia menarik napas dengan lambat berupaya menormalkan emosi nya yang berganti dengan cepat. Jika tadi perasaannya diliputi marah dan sedih, kini justru dia sangat gundah gulana memikirkan lelaki yang paling dicintainya itu.

"Ayo ma, mama bertahan ya. Mama kuat papa yakin. Demi kita dan si kecil." suara lelaki terdengar amat dramatis menyemangati istrinya yang didorong dalam brankar besi masuk meninggalkannya di ujung pintu. Lelaki itu menghembuskan napas kesal berharap masuk namun dokter tetap melarangnya.

"Saya hanya ingin melihat istri saya melahirkan dok. Saya berjanji tak akan mengganggu proses persalinan."

"Maaf pak. Istri anda kritis dan membutuhkan perawatan intensif. Kami harap bapak mengerti." tangan dokter itu terulur untuk segera menutup pintu namun ternyata kalah cepat dengan kaki si lelaki yang menghalangi pintu.

"Apa yang dimaksud anda mengert adalah istri saya berjuang mati-matian untuk anak kami sementara saya hanya duduk-duduk manis diluar begitu saja? Setidaknya walaupun saya tidak ikut merasakan sakit namun saya hanya ingin menjadi suami yang berguna." ucapnya setengah putus asa.

"Kami mengerti pak, tapi…"

Gea yang sedari tadi diam, kali ini berdiri mencoba menengahi. "Maaf sebelumnya pak, tapi apa yang dikatakan dokter benar. Istri bapak sedang berjuang di dalam sana, bapak hanya harus percaya sama dia. Jangan panik pak, tenang. Semua akan baik-baik saja."

Pandangan lelaki itu meneliti Gea yang berdiri di sampingnya. Tampak ragu lalu kemudian mendengus. "Tahu apa anda?"

"Bukannya begitu pak, saya juga seorsng wanita yang sebentar lagi akan menjadi ibu. Saya tahu bapak teramat khawatir mengenai istri bapak, tapi biarkanlah dokter yang mengurus sisanya. Lebih baik bapak tenangkan dulu pikirannya dan berdoa'alah. Bukannya itu juga termasuk salah satu dukungan yang saat ini bias kita lakukan?" Gea tersenyum mengakhiri perkataannya.

Sebenarnya melihat raut wajah khawatir lelaki ini semakin menyentil egonya. apakah dia akan bernasib sama seperti istrinya di dalam. Digo mencoba menyemangatinya saat dia akan melahirkan buah cintanya, menghilangkan rasa sakit yang begitu sangat ketika melahirkan.

"Baiklah dok terserah anda. Tapi ingat, jika terjadi apa-apa dengan istri saya anda tahu akibatnya."ucapnya sambil menjauhi pintu.

Lelaki itu kemudian duduk di kursi lorong dekat kamar pasien. Kedua tangannya mengacak-ngacak rambutnya dengan frustasi lalu meraup wajahnya berusaha meminimalisir amarahnya. Secara naluriah, Gea menyusul dan duduk disamping lelaki itu.

"Istri anda adalah wanita yang hebat."

"Maksud anda?" lelaki itu kini memandang Gea dengan tatapan aneh. "kenapa anda senang mencampuri urusan orang lain?"

"Ah itu, anu…" Gea tergagap beda sekali dengan tadi yang terkesan percaya diri. "Saya hanya ingin sedikit membantu," cicitnya lalu tertunduk malu.

"Apa hak anda untuk membantu saya?" ucap lelaki itu sambil memndang siniske arahnya. Aih, sialan. Jika saja kondisinya tidak kacau seperti ini, Gea pasti marah atau mengumpat.

"Apa zaman sekarang menolong orang harus meminta izin?"

"Saya rasa, saya tidak membutuhkannya." Ucapnya tak acuh sama sekali.

Gila. Rasanya Gea ingin meledak saja sekarang.

"Jika anda merasa begitu saya pun merasa menyesal. Anda tahu, butuh keberanian dan sedikit merendahkan ego untuk melakukan hal yang tadi. Apa anda tahu juga, jika sepanjang kalian berdebat, anda dan dokter, si suster sudah memasang raut wajah cemas.

Pasien sedang butuh pertolongan, dan kalian malah debat tidak jelas. Bahkan, saya tahu jika istri anda tadi pingsan dan itu amat bahaya bagi seseorang yang tengah melahirkan. Itu pun jika anda peduli." Lelaki itu hanya diam. Tanpa mau membantah atau menyanggah ucapan Gea. Gea lalu bangkit berdiri dari duduknya. "Maaf, jika saya mengganggu waktu anda. Permisi."

Gea hendak berjalan saat tiba-tiba tangannya ditahan oleh lelaki itu. Gea melihat tangan lelaki itu yang menggenggam erat tangannya. Cepat-cepat lelaki itu menjauhkannya. "Ah, itu maaf."

"Saya di sini yang seharusnya meminta maaf pada Anda."

"Emm anu. Maksud saya… Maksud saya… emm terimakasih," lelaki itu tersenyum hangat kepada Gea dan gadis itu membalasnya. "Kalau Anda tidak keberatan bolehkah menemani saya di sini?"

"Hah, menemani?" Ujar Gea sinis. Akhir-akhir ini sering disebut pelacur oleh Digo membuat sisi sensitifnya muncul.

"Ah, itu. Anu maksud saya bukan arti kata 'menemani' itu. Jika Anda tidak keberatan, maukah mengobrol dengan saya. Itu pun kalua anda tidak terganggu." Gadis itu menggangguk lalu kembali duduk. Terdengar helaan napas lega dari lelaki itu.

"Terimakasih," lagi-lagi Gea kembali mengangguk. Lagipula tidak buruk mendengar cerita cinta lelaki itu. Walau sebenarnya mengusik daerah nyamannya mendengar jika seharusnya 'wanita itu dikejar bukan mengejar.'

***

Satu jam sudah waktu terlewat begitu saja tanpa terasa. Dokter yang lelaki itu marah-marahi kini memanggilnya masuk ke ruangan itu. Mengatakan kalua istrinya tengah sadar dan butuh pendamping. Gea tersenyum miris mendengar semua keromantisan mereka berdua saat dengan menggebu-gebu lelaki itu ceritakan tadi.

Namanya Lingga. Mereka sudah pacarana sejak SMP dan tentu mereka slaing mencintai. Bahkan, menurut Lingga istrinya adalah separuh bagian hidupnya. Entahlah katanya jika sesuatu yang buruk menimpa istrinya. Makanya dia tadi tidak berpikir jernih dan menjadi kalang kabut. Rupanya, dia begitu mencintai istrinya.

"Sudah dapat mangsa lagi rupanya." Entah dari mana datangnya,Digo sudah mencekal pergelangan Gea dengan kuat.

"Aduh, mas sakit." Ucap Gea sambil berusaha melepas cekalan Digo. Tubuhnya yang tadi duduk dipaksa berdiri. "Mas, lepasin."

"OHHH jadi sekarang mulai berani memerintah?" lagaknya layaknya raja yang tak ingin dibantah.

"Kamu dari mana saja, mas?"

"jangan mengalihkan pembicaraan." Tangannya semakin mengerat dipergelangan tangan Gea membuat gadis itu merintih kesakitan.

"Mas jangan keras-keras. Sakit," susah payah dia menahan air mata yang hendak meluncur.

"Ikut aku," Dengan tangan yang masih dicengkram, Gea mengikuti langkah kaki Digo yang menurutnya sangat lebar. Berusaha mengimbanginya.

Mereka berjalan dengan terburu-buru lalu berhenti saat berhadapan dengan pintu bertuliskan 'Dokter Kandungan'

"Mas, kamu mau cek anak kita?" ucap Gea berusaha tersenyum. Tidak menutup kemungkinan jika saat ini hatinya bahagia. Apakah Digo mulai mengakui anak mereka?

"Masuk," titahnya sambil menatap Gea dengan sinis.

Mereka berdua memasuki ruangan itu. Gea memerhatikan dengan seksama ruangan itu. Rapi dengan dominan warna putih, itulah kesan pertama yang dapat dia tangkap. Di depannya tengah duduk wanita yang berusia kepala tiga yang tengah tersenyum padanya. Wanita itu sangat cantic dengan kacamata yang bertengger di wajahnya.

"Jadi perempuan ini yang kemarin kamu bicarakan?" ucapnya sambil tersenyum jahil. "Tidak biasanya seorang pria sepert Dirgantara menghamili anak orang." Tawanya meledak membuat Gea malu.

"Oh aku baru sadar, jika gadis ini ternyata berbeda." Pandangannya seperti menilai Gea.

"Hanya perasaanmu saja." Ucapnya tak peduli.

Wajah Gea kemudian menekuk. Hatinya sedih melihat kedekatan wanita itu dengan 'bosnya'. Rasanya ada yang teriris-iris di sana.

"Hey tidak perlu cemburu, aku hanya temannya." Wanita itu berdiri lalu bergerak mendekati Gea. "Oh iya, Kenalkan aku Raisa," ucapnya dengan ramah.

"Saya Geisha." Kata Gea malu-malu.

"Aku tahu. Lelaki ini kemarin menceritakan semuanya padaku."

Semuanya? Apa itu berarti wanita ini sudah mengetahui jika Gea adalah seorang selingkuhan. Oh tidak-tidak. Mau ditaruh dimana muka Gea jika itu terjadi?

"Hey Dirga, aku tidak mau mengatakannya. Aku tidak tega. Lagian dia berbeda dari jalang-jalang yang pernah kau kenalkan. Dia tidak seperti itu," lagi-lagi dia melihat pada Gea.

"Huh merepotkan saja," dia menghembuskan napas kesal.

"aku membawamu ke sini untuk menggugurkan kandungan itu" Ucapnya tanpa beban.

Gea salah. Pikirannya salah. Gea pikir Digo membawanya untuk cek kandungan, makanya dia manut-manut saja. Mengetahui kebenarannya, membuat logikanya tak berjalan. Ini begitu menyakitkan. Ternyata Gea sudah menaruh harapan yang teralalu besar.

"Tapi aku tidak mau," Gea harus mencoba tegas. Demi kelangsungan hubungannya.

"Aku tidak meminta persetujuanmu."

"Tapi aku tidak mau menggugurkan calon bayi kita. Dia tidak berdosa."

"Memang tidak. Tapi ibunyalah penanggung dosa." Digo duduk di sofa lalu menyilangkan kedua kakinya bersikap santai. Gea sebaliknya, semakin mundur kebelakang bersikap defensive.

"Tidak usah buang-buang waktu. Aku tunggu satu jam kemudian, bayi itu harus sudah menghilang."

"MASSS" Gea berteriak. "Aku tidak mau. Sampai mati pun aku tidak akan menggugurkannya."

"Kalau kau mau aku bias sekalian membunuhmu." Gea diam. Menangis.

"Kamu Jahat, mas. Jahat. Kamu iblis."

"Iblis kamu bilang." Digo mendekat mencengkram wajahnya dengan keras.

"DIGO" Raisa berteriak dari belakang mencoba memisahkan. "Aku tidak ingin ada kekerasan diruanganku. Ruanganku bukan sarang penjahat."

"Ah, sudahlah." Digo sedikit membanting tubuh Gea sehingga tubuh wanita itu terlempar ke belakng.

"Jahat kamu mas."

"Aku? Jahat?" Tertawa sinis.

"Apakah posisinya tidak terbalik. Well, well, well. Aku akan menikah dua minggu lagi. Kamu hanyalah benalu di antara hubungan kami. Kamu tahu, sekali pun di dunia ini tidak ada wanita lagi aku tidak akan pernah sudi untuk mempersuntingmu. Karena apa?" Digo terdiam sebentar lalu mengoreksi ucapannya.

"Karena kamu jalang."

Gea menatapnya dengan iba. Apakah seperti itu harga dirinya di hadapan lelaki ini? Batinnya mempertanyakan.

"Cepatlah Ra, kita sudah kehilangan 15 menit dengan drama."

Raisa lalu menghampiri Gea berusaha menenangkannya. "Kamu brengsek mas."

"Brengsek adalah nama tengahku."

"Bajingan,"

Gea pingsan tak sadarkan diri.

.

.

.

-To be continued-

Btw, terimakasih atas segala dukungan kalian,

Ada saran gak buat novel ini?

Love you

avataravatar
Next chapter