9 Wounded Again

Aku pergi, jika Aldrich menyakitimu atau apapun, beritahu padaku, biar aku yang akan mengurusnya," jelas Austin yang sepertinya mulai curiga tentang keduanya.

"Kenapa kau berkata seperti itu? Kau seolah-olah meragukan kesetiaan Aldrich padaku," jelas Nora dan dengan terang-terangan menunjukkan raut tidak nyamannya. Bukan apa-apa, hanya saja ia tidak ingin Austin semakin mencurigai hubungannya dan Aldrich. Cukup, cukup sampai di situ kecurigaan Austin, ia tidak ingin jika sampai hubungan nyata keduanya di ketahui oleh keluarganya.

"Maaf membuatmu tidak nyaman, perasaanku hanya sedang tidak enak saja," gumam Austin yang di angguki kecil oleh Nora.

"Aku pergi," pamit Austin sekali lagi dan berjalan memasuki mobil mewahya yang di angguki oleh Nora.

Gadis itu terus memperhatikan mobil Austin yang sudah melaju jauh hingga keluar dari pagar mansionnya.

Nora menghela napas panjang, ia berbalik badan dan berjalan memasuki mansion kembali. Kakinya melangkah memasuki kamar. Saat sudah selesai menutup pintu kamar, langkahnya langsung terhenti ketika matanya tidak sengaja menatap ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja makan.

Gadis itu dengan perlahan mendekati meja makan. Ia meraih benda pipih itu, mendudukan dirinya di atas ranjang dengan punggung yang bersandar pada kepala ranjang, gadis itu pun kini kembali mengutak-atik ponselnya, mencari nomor Aldrich dan menghubungi suaminya itu.

Panggilan pertama kembali tidak di angkat, panggilan kedua juga tidak hingga sampai panggilan ketika tetap tidak di angkat juga. Nora mengembuskan napasnya kasar, gadis itu menatap ponselnya yang masih menyala hingga akhirnya memutuskan untuk menghubungi Aldrich sekali lagi.

Senyum Nora mengembang ketika panggilan itu sudah di angkat oleh Aldrich dan langsung terhubung.

"Hallo, Aldrich," panggil Nora ketika tidak mendengar suara apapun dari sana.

Namun senyumnya langsung memudar kembali ketika mendengar suara desahan wanita dan erangan pria di balik telepon yang di yakini adalah Aldrich.

"Aldrich," panggil Nora dengan menggigit bibir bawahnya, air mata mulai kembali menggenang di pelupuk matanya, namun gadis itu dengan cepat mengangkat wajahnya ke atas, menghadap langit-langit kamar agar air mata yang sudah mengenang di pelupuk matanya bisa menghilang.

Dia tidak boleh menangis. Ia tidak ingin jika sampai Aldrich mengejeknya cengeng lagi karena ia yakin jika pria itu tidak menyukai gadis yang cengeng.

Lagi pula untuk apa dia menangis lagi? Bukankah dia sudah terbiasa dengan hal ini? Bahkan mengingat Aldrich bermain dengan wanita itu di dalam kamar pengantinnya lebih menyakitkan dan menyesakkan?

Nora tau itu, tapi entah kenapa kali ini sepertinya jauh terasa lebih sakit meski yang di lakukan Aldrich beberapa hari lalu sebenarnya lebih parah?

Apa karena sedari kemarin ia menunggu kabar pria itu dan terus saja menghubunginya dan hasilnya nihil? Padahal ia sudah beberapa kali menghubungi Aldrich, tapi perjuangannya malah berakhir menyesakkan dada.

"Halohh ... Ahhh ... Faster babyhh ...." ujar sang wanita di balik ponselnya di iringi dengan suara desahan.

"Di mana Aldrich?" tanya Nora dengan bibir bergetar, ia meremas erat ujung selimut yang di kenakannya, seolah menyalurkan rasa sakit hatinya.

"Dia sedang bersamaku sekarang ... Aahh ... C'mon babyhh aku hampir sampai-- ahhh!"

Tut!

Bersamaan dengan teriakan wanita di seberang sana yang sedang mendapat pelepasan panggilan pun langsung di matikan sepihak tanpa menunggu persetujuan Nora terlebih dahulu.

Nora menggigit bibir dalamnya kuat-kuat membua gadis itu meringis kecil bersamaan dengan mulutnya yang tiba-tiba terasa asam, merasakaj cairan merah pekat dan kental yang keluar dari bibir bawahnya yang mengalami luka karena di gigit sangat kuat olehnya.

Nora meletakkan ponselnya di meja nakas. Ketika merasakan air mata yang mulai mengenang kembali di pelupuk matanya, Nora dengan cepat-cepat mengangkat wajahnya ke atas agar air matanya tidak tumpah.

Setelah merasa air mata yang mengenang di pelupuk matanya menghilang, Nora pun terdiam melamun dengan menatap ke depan.

Hingga saat ia kembali teringat dengan rasa sakit hatinya, gadis itu memeluk erat lututnya dan membenamkan wajahnya di atas lututnya.

"Aldrich ... Kenapa dadaku tiba-tiba nyeri," gumamnya pada dirinya sendiri dan memeras erat dadanya yang sangat sakit.

Selama ini ia bukannya bersikap sok dewasa, tapi keadaanlah yang memaksanya untuk bersikap dewasa.

Ya, Tuhan ... Kenapa sesakit ini, gumamnya dalam hati.

Drtt ... Drtt ...

Dering ponsel yang berbunyi membuat Nora segera menoleh, menatap nama yang tertera di layar ponsel pintarnya.

"Mom?" gumamnya dengan kening mengerut ketika nama mommy-nya tertera di layar ponsel, dan tanpa menunggu waktu lagi, Nora pun langsung meraih benda pipih itu dan mengangkat panggilannya.

"Hallo, Mom," sapa Nora dengan ceria.

"Mom mendapat kabar dari kakakmu Austin jika saat ini kau sedang berada di mansion seorang diri karena Aldrich sedang mengatasi masalah bisnis pada perusahaan di Italy," jelas Lyora kemudian.

"Ya Mom, memangnya kenapa?"

"Mom dan Dad merindukanmu di sini sweetheart, kau tinggal saja di mansion kita sementara waktu, sebelum Aldrich pulang, bagaimana?"

Nora terdiam sebentar, terlihat menimang-nimang, apakah ia harus tinggal di sana ataukah tidak. Tapi sepertinya tidak ada masalah jika ia tinggal di sana untuk sementara, sebelum Aldrich pulang dari Italy. Dan mungkin dengan tinggal di sana dan merasakan kembali kehangatan keluarga, Nora bisa sedikit melupakan masalahnya.

"Sweetheart, ada apa? Kenapa kau masih diam? Apa kau takut Aldrich akan marah? Tenanglah, kami akan memberi tahunya jika dia sudah pulang nanti, jadi tidak usah ragu."

"Iya, Mom, Nora akan menginap ke sana untuk sementara waktu."

"Aku senang mendengarnya sweetheart, cepatlah datang kami merindukanmu."

"Baik Mom, tapi sepertinya aku tidak akan datang sekarang, sudah malam."

"Tidak apa, Mom akan menyuruh kakakmu Austin untuk menjemputmu saja-"

"Lyora, jangan dulu sekarang, sepertinya Nora kelelahan, besok saja," potong seorang pria paruh baya yang di yakini adalah daddy-nya. Sepertinya sedari tadi daddy-nya berada di sana dan mendengar percakapan keduanya.

"Sweetheart, kau tidur saja di sana malam ini, besok pagi Austin aakn menjemput. Good night, mimpi indah sweetheart," balas seorang pria paruh baya yang ada di seberang sana dan langsung mematikan panggilannya.

Nora terkekeh kecil ketika sempat mendengar protes kecil dari mommy-nya itu.

Ia pun meletakan kembali ponselnya di atas meja nakas dan berjalan keluar menuju balkon kamar yang sedari tadi menjadi objek perhatiannya.

Gadis itu merentangkan kedua tangannya, memejamkan mata seraya menghirup dalam-dalam udara dingin yang ada di balkon kamarnya agar hatinya bisa menghangat.

Bibirnya terus tersungging manis saat tanpa sadar berada lebih lama di sini membuat hatinya langsung menghangat. Sepertinya balkon kamar akan menjadi tempat favoritnya saat merasa sedih.

avataravatar
Next chapter