webnovel

1. Meminta pertanggungjawaban

Zifa menggenggam testpack miliknya. Benar dugaannya selama ini, dia hamil. Sebulan belakangan ini dia merasakan mual-mual, nafsu makannya juga bertambah.

Zifa duduk lemas di sofanya, bagaimana ini bisa terjadi? Setelah Alex, kekasihnya menghilang sejak 8 bulan yang lalu, dia tidak pernah berhubungan dengan siapa pun kecuali–

Zifa menahan nafasnya. Dia ingat, 4 bulan yang lalu dia datang ke apartemen sahabatnya Alex, Rivan, dan terjadi sesuatu di sana.

#Flashback 4 bulan yang lalu.

18++ di bawah 18 mohon di lewat aja sampe flashbacknya abis.

Sudah 4 bulan ini Zifa mencari Alex ke mana-mana, pria itu menghilang tanpa jejak bagai di telan bumi, ditelepon juga tidak diangkat.

Zifa baru teringat sesuatu, kenapa dia tidak menanyakan Alex pada Rivan saja ya? Rivan kan sahabatnya. Ya, dia harus menanyakannya pada Rivan, untung saja dia tahu apartemen pria itu.

Zifa sampai di depan apartemen Rivan, dia memencet bel beberapakali, tak lama pintu terbuka. Zifa kaget melihat penampilan Rivan yang acak-acakan, dia tersentak saat Rivan menarik tangannya kasar dan masuk ke dalam.

Zifa terus berontak saat Rivan menyeretnya ke dalam kamar, Rivan membantingnya ke kasur. Dia segera bangkit namun Rivan dengan tiba-tiba menindih tubuhnya dan mencium bibirnya dengan kasar, mulut Rivan bau alkohol.

Zifa berusaha mendorong tubuh Rivan sekuat tenaga, namun apa daya, tenaganya kalah dengan tenaga Rivan. Zifa meneteskan air matanya saat Rivan dengan mudahnya merobek dressnya dan mulai menggerayangi tubuhnya.

Zifa memejamkan matanya dan mengigit bibir bawahnya menahan desahan dan erangan sakit dan nikmat saat Rivan memainkan jarinya di pusat tubuhnya sambil meremas dadanya kasar, entah sejak kapan dia sudah telanjang.

Zifa membuka matanya saat tidak merasakan apa pun di atas tubuhnya. Dia melihat Rivan sedang melepas pakaiannya, buru-buru Zifa mengambil selimut dan menutup seluruh tubuhnya, dia menangis. Bagaimana dia bisa kabur? Dressnya juga sudah robek.

Zifa menggenggam erat selimutnya saat Rivan naik ke kasur dengan keadaan sudah telanjang. Rivan menarik selimut yang dipakai Zifa lalu menindih Zifa, Zifa terus menerus berontak, tapi tidak ada hasilnya, yang ada dia semakin kehabisan tenaga.

Air matanya keluar semakin deras saat merasakan sesuatu memasuki pusat tubuhnya, Rivan menghujaminya dengan kasar dan brutal. Dia tidak bisa apa-apa dan akhirnya pasrah.

"Ahh ... Shina ...."

Zifa menatap Rivan yang berada di atasnya, apa barusan pria ini menyebut Shina? Jadi pria ini membayangkan wanita lain? Jadi Rivan tidak melihatnya sebagai Zifa? Tapi sebagai Shina? Hatinya berdenyut sakit.

"Kenapa aku ini seperti jalang saja? Aku bukan Shina! Aku Zifa! Ak–mmmpthh."

🔗🔗🔒🔗🔗

Zifa membuka matanya merasakan berat di atas tubuhnya, dia menelan ludahnya kasar, dia melihat Rivan terlelap tidur di atas tubuhnya. Lagi-lagi dia menangis, Zifa mendorong tubuh Rivan lalu duduk, dia menoleh melihat Rivan masih terlelap tidur.

Zifa melihat jam, sudah pukul 7 pagi. Zifa meringis merasakan sakit di bagian pusat tubuhnya, ini pasti gara-gara semalam, Rivan bermain kasar dan brutal, dan itu terjadi berkali-kali sampai pria itu kelelahan dan tertidur begitu saja. Semalam juga dia lelah dan tertidur di sini.

Sambil meringis, Zifa memakai bra dan CD-nya, dia menatap nanar dressnya yang sobek, dia membuang dress itu ke tempat sampah lalu mencari baju Rivan di lemari. Dia mengambil kaos Rivan yang sedikit kebesaran lalu memakai celana training Rivan.

Dia memakai sepatunya lalu mengambil tasnya, buru-buru dia pergi dari apartemen Rivan.

#Flashback Off

Zifa mengusap wajahnya kasar, besok dia harus meminta pertanggungjawaban pada Rivan. Harus! Dia tidak mau anaknya tidak mempunyai ayah, kelak dia takut anaknya dihina anak haram oleh orang-orang.

🔗🔗🔒🔗🔗

"Rivan ..." panggil seorang wanita dengan tubuh semampai dan sedikit berisi dengan penampilan nerd-nya.

Pria itu menoleh saat ada yang memanggilnya. "Eh, Zifa? Ada apa?" tanya Rivan pada wanita bernama Zifa itu.

"Aku mau bicara sebentar denganmu."

"Silahkan, mau bicara apa?" Rivan memasukkan tangannya ke dalam saku celananya dan menatap wanita di hadapannya yang dikenal sebagai mantan kekasih sahabatnya, em ... atau mungkin, wanita di hadapannya ini masih menganggap belum putus dengan sahabatnya, karena sahabatnya tidak memberi kepastian sama sekali pada wanita di hadapannya ini.

"A-aku hamil," ucap Zifa.

Rivan mengangkat sebelah alisnya heran. "Terus? Apa hubungannya denganku?"

"Aku hamil anakmu! Darah dagingmu!" ucap Zifa dengan nada sedikit tinggi.

Ucapan Zifa membuat Rivan terkekeh dan berkata, "Anakku? Hahahahaha, lelucon apa yang sedang kau mainkan Zifa? Bagaimana mungkin aku menghamilimu sedangkan aku tidak pernah menyentuhmu sedikit pun?"

"Kau tidak ingat? Malam itu kau mabuk, tadinya aku datang ke apartemenmu untuk menanyakan keberadaan Alex yang tiba-tiba menghilang, kau menyeretku secara paksa ke kamarmu dan kau meneriaki nama Shina! Kau menganggapku Shina!" jelas Zifa panjang lebar.

Rivan menggeleng tak percaya. "Tidak mungkin! Oh, aku tahu! Kau hamil anak Alex, dan Alex tidak mau bertanggungjawab karena dia sudah menikah dengan orang yang dicintainya dan kau memanfaatkan aku untuk bertanggung jawab? Oh, atau kau tidak berani untuk meminta pertanggungjawaban pada Alex karena itu bukan anaknya, tapi anak dari pria lain, begitu?"

Hati Zifa mencelos saat mendengar ucapan Rivan, benarkah Alex sudah menikah? Pria yang dia cintai sudah menikah? Dan juga hatinya teramat sakit saat dia dihina seperti itu, dia tidak serendah itu! Zifa hanya menyerahkan tubuhnya pada orang yang sangat dia cintai, dia tidak pernah mengumbar tubuhnya pada siapa pun selain Alex.

Zifa menggeleng keras. "Tidak! Aku berkata jujur, ini anakmu! Bahkan aku tidak tahu Alex sudah menikah! Sudah 8 bulan ini aku mencari Alex!"

"Tidak mungkin! Sudahlah, buang-buang waktu saja, aku tidak akan bertanggung jawab! Gugurkan saja kandunganmu, Alex juga pasti tidak akan bertanggung jawab karena dia sudah menikah dengan orang yang dia cintai, kau tahu? Kau hanya di jadikan pelampiasannya saja, tidak lebih."

"A-apa?"

"Itu kenyataan, Alex tidak pernah mencintaimu, kau hanya jalang untuknya, pemuasnya dan sebagai pelampiasannya."

Pria itu melenggang pergi dari taman yang terlihat sepi, Zifa lunglai dan terduduk lemas di bangku taman, dia sudah tidak bisa menahan air matanya lagi.

"Benarkah Alex sudah menikah? Tapi, kenapa aku tidak tahu? Bahkan tidak ada berita apa pun tentang Alex, dia juga hanya menjadikanku pelampiasannya? Alex tidak mencintaiku? Lalu, apa maksudnya perlakuan manisnya padaku? Kata-kata cinta yang sering dia berikan padaku? Apa itu hanya pura-pura?"

🔗🔗🔒🔗🔗

"Gugurkan saja kandunganmu, karena aku yakin itu bukan anakku! Aku tidak seceroboh itu saat berhubungan denganmu, aku juga tidak sebodoh itu untuk percaya," ucap pria itu dingin pada seorang wanita di hadapannya, wanita itu, Zifa.

"Memang benar ini bukan anakmu. Tapi, bantu aku, Lex ... Rivan tidak mau bertanggung jawab, hanya kau yang aku punya saat ini, bayi ini butuh ayah," lirih Zifa sesenggukan.

"Aku kan sudah bilang, gugurkan saja kandungannya. Semua selesai, kan? Jangan menggangguku lagi! Aku sudah bahagia, Zifa!" bentak pria itu.

"Tap–"

"Dan ingat! Seorang Rivandio Al Chaxiel tidak akan sudi bertanggung jawab bahkan dia tidak akan percaya bahwa anak itu darah dagingnya."

Pria itu melenggang pergi tapi sebelum itu. "Oh, bahkan kau tidak pantas mengandung keturunan seorang Al Chaxiel dari wanita jalang sepertimu, apalagi kau bersanding dengan seorang Al Chaxiel, keluarga yang terpandang."

"ALEX! PLEASE, ALEX! BANTU AKU ... DAN KE MANA KAU SELAMA 5 BULAN INI? AKU MENCARIMU!"

Pria yang di sebut Alex itu pergi tanpa menghiraukan teriakan Zifa.

"Alex ..." lirih Zifa, dia mengelus perutnya yang membuncit dan menghapus air matanya yang mengalir deras.

"Maafkan Bunda, Sayang ...."

Tadinya dia senang bahwa Alex sudah bisa di hubungi, dan pria itu juga mau datang ke apartemennya. Tapi sekarang dia sedih, kecewa, sakit hati. Pria yang dicintainya memang benar-benar sudah menikah, dan pria itu bahkan menghinanya sedemikian rupa dan meninggalkannya begitu saja.

🔗🔗🔒🔗🔗

Seminggu sudah setelah kejadian Zifa meminta pertanggungjawaban dan dia sudah memutuskan untuk pergi menjauh dari mereka. Lebih baik dia pergi dari sini daripada harus menggugurkan kandungannya. Buah hatinya. Darah dagingnya. Dia masih punya hati nurani.

Kenapa dia tidak meminta pertanggungjawaban pada keluarga Rivan atau keluarga Al Chaxiel? Karena dia tidak mau anaknya dihina lagi, Rivan saja menghina dirinya dan anaknya sedemikian rupa, apalagi keluarganya nanti.

Sampai kapan pun dia akan melindungi anaknya. Zifa sanggup jika harus menjadi single parent. Sesekali Zifa mengelus perutnya sambil membereskan baju-bajunya ke dalam koper.

Zifa sudah mempersiapkan semuanya. Dia akan pindah ke kota Cianjur, tempat kelahirannya di sana. Tapi di sana juga Zifa tidak mempunyai siapa-siapa. Dia sebatang kara, orang tuanya sudah meninggal sejak 3 tahun yang lalu saat dia SMA kelas 2, sedangkan sanak saudara saja dia tidak punya.

Zifa bisa sampai ke Jakarta karena mendapat beasiswa di Universitas Tarumanegara, dia juga hidup di Jakarta karena hasil menjual harta benda yang ditinggalkan mendiang orangtuanya. Dia membeli apartemen dan bekerja di salah satu restoran terkenal yang gajinya lumayan untuk makan sekaligus di tabung. Dulu, dia bercita-cita ingin menjadi dokter seperti mendiang ibunya, makanya dia masuk ke jurusan kedokteran.

Tapi sekarang berbeda ... Zifa menjual kembali apartemennya dan menjual semua harta bendanya yang berharga. Uangnya sebagian di tabung dan sebagian lagi untuk membeli rumah di Cianjur nanti, Zifa juga menjual mobilnya, dan dia harus mengubur dalam-dalam mimpinya.

Ada seorang wanita baik hati yang mau membantunya untuk membeli mobil dan apartemennya sekaligus, wanita itu juga menawarkan rumahnya yang ada di Cianjur untuk dijual padanya, jadi dia beli saja rumah itu. Wanita itu seumuran dengan mendiang ayah dan ibunya, wanita itu sangat baik, beliau juga akan mengantarkan dirinya ke Cianjur malam ini.

Zifa mengelus perutnya yang membuncit padahal usia kandungannya baru hampir 4 bulan. "Maafkan Bunda, Sayang ... sampai kapan pun Bunda akan menjagamu. Bunda tidak akan pernah menggugurkanmu walaupun Alex menyuruh Bunda untuk menggugurkanmu, karena ... apa hak dia untuk menggugurkanmu? Dia bukan ayah kandungmu."

"Mereka memang menganggap Bunda jalang. Tapi itu semua tidak benar, Bunda hanya menyerahkan tubuh Bunda pada pria yang Bunda cintai, Alex. Tapi apa balasannya? Pria itu meninggalkan Bunda saat menemukan wanita yang dicintainya, ternyata Bunda hanya tempat untuk pelampiasannya saja." Zifa mengusap air matanya kasar.

"Namun, entah kenapa sahabat pria yang Bunda cintai yang tak lain adalah ayah kamu malah tega memperkosa Bunda, lebih parahnya dia tidak mengakui itu."

"Rivandio Al Chaxiel, itu nama ayahmu, Nak. Yeah ... dia memang dari keluarga terpandang, sehingga Alex berkata bahwa Bunda tidak pantas untuk mengandung dirimu apalagi bersanding dengan ayahmu. Jadi Bunda putuskan, kita akan pergi dari sini, membawamu jauh dari mereka yang tidak menginginkanmu, Sayang ...."

Zifa menggeret kopernya keluar dari kamarnya, sebelum itu Zifa mencuci muka terlebih dahulu agar terlihat segar.

"Tutup semua informasi tentangnya, aku tidak mau tahu! Jangan sampai ada celah sedikit pun untuk anak itu, aku hanya ingin memberinya pelajaran, mengerti? Hehehe terima kasih sahabatku ... lopyu, lopyu ...."

Zifa melihat seorang wanita yang sedang asyik menelepon di ruang tamunya dan sedikit mendengar perkataan wanita itu yang sedang menelepon. "Tante," panggilnya.

Wanita yang dipanggil Zifa menolehkan kepalanya, lalu wanita itu mematikan sambungan teleponnya dan tersenyum pada Zifa.

"Eh Zifa, sudah siap?" tanya wanita itu.

"Iya, Tante. Ayo berangkat."

"Ish! Sudah Mama bilang, panggil mama, jangan tante!" peringat wanita itu.

"Eh, hehe iya, Tan–em ... Mama."

"Nah, begitu dong ... ayo berangkat."

Wanita itu membantu Zifa untuk membawa kopernya. Tadinya Zifa menolaknya, tapi wanita itu tetap memaksa.

Di sepanjang perjalanan wanita itu selalu bercerita tentang kehidupannya, Zifa hanya menanggapi seadanya saja, lalu dia teringat sesuatu.

"Mm ... Mama sebenarnya nama aslinya siapa? Aku belum tahu, aku hanya tahu nama panggilan Mama saja."

Pertanyaan Zifa membuat wanita itu terkekeh. "Claliansa Putri, Mama sering dipanggil Lia oleh suami, tapi kalau teman-teman selalu panggil Mama, Ica."

"Oh ... begitu ya, pasti Lia nama kesayangannya ya ..." goda Zifa dan itu membuat pipi Ica memerah seketika.

"Eh? He'em, iya."

"Hihihihihihi lucu sekali sih, walaupun sudah tua masih saja romantis."

"Eh enak saja! Mama ini masih muda, Mama baru 48 tahun, masih segar bugar begini."

"Eh? Hehehe iya deh, Mama masih kelihatan cantik walau umurnya sudah segitu."

Memang benar, Ica meskipun sudah berumur tapi masih terlihat segar bugar dan cantik, malah badannya terlihat kencang walaupun tubuhnya sedikit mungil.

"Iya dong ... Mama kan rajin olahraga, apalagi olahraga malam," ucap Ica rada ngalor-ngidul.

"Olahraga malam, Ma?" beo Zifa rada mudeng.

"Iya, olahraga di ranjang dengan suami Mama, hihihihihihib...."

"Idiiih kok jadi ke situ larinya," ucap Zifa rada canggung.

"Kamu mah tidak bisa di ajak bercanda, tidak seru," seru Ica merajuk.

"Eh, mm, itu ak–"

"Ssssst, Mama hanya bercanda, Mama tahu kok kamu jarang berbicara, kamu juga tidak punya teman mengobrol sejak masuk kuliah, kan?"

"Kok Mama tahu?"

"Tahu dong, Mama kan sudah terlebih dahulu mencari informasi tentang kamu."

"Hah?"

"Iya, kamu tahu tidak? Mama tuh sejak melihat kamu pertama kali di taman kampus tempat kamu kuliah sambil menangis, Mama sudah srek sekali padamu untuk di jadikan anak perempuan Mama."

"Jadi Mama dengar percakapan ak–"

"Iya, kebetulan Mama sedang ke kampus, karena anak Mama sedang bermasalah, terus tidak sengaja lewat situ dan melihat kalian bertengkar jadi sekalian saja menguping pembicaraan kalian." Ica tersenyum lebar tanpa merasa bersalah karena sudah menguping pembicaraannya dengan Rivan.

"Mama percaya kan kalau anak yang kukandung ini anak dari Rivandio Al–"

"Sssst, Mama percaya. Mama kan sudah bilang, kalau Mama sudah mencari informasi tentangmu. Jadi Mama tahu semuanya tentang kamu, termasuk kamu diperkosa di apartemen anak sialan itu." Ica mengusap air mata Zifa dengan sebelah tangannya karena sedang menyetir.

Zifa hanya diam sesenggukan tanpa memedulikan perkataan Ica, jika saja Zifa mendengar perkataan Ica pasti Zifa akan merasa ada yang mengganjal dengan kata-kata Ica.

"Sekarang kamu tidur saja, nanti kalau sudah sampai, Mama bangunkan," ujar Ica.

"Tapi kenapa Mama baik sekali padaku saat semua orang meninggalkanku?" lirih Zifa.

"Karena ... kamu sudah Mama anggap anak sendiri, dari dulu Mama tuh tidak punya anak perempuan dan ingin sekali mempunyai anak perempuan, anak mama semuanya laki-laki, mau adopsi juga kurang srek. Nah, pas lihat kamu minggu lalu, Mama tuh srek sekali padamu, jadi mulai sekarang kamu anak Mama ya ..." cerocos Ica menggebu-gebu dan semangat membuat Zifa mau tak mau terkekeh.

"Mm ... berarti Mama tahu hubungan aku dengan Alex bagaimana? Memangnya Mama tidak jijik padaku?" tanya Zifa ragu.

"Tidak, Sayang ... Mama mengerti kok, kamu ini terlalu polos untuk di manfaatkan oleh pria berengsek seperti itu, Mama tahu bagaimana jalan cerita saat kalian pacaran," ucap Ica

"Mama kok bisa tahu semua tentang aku sampai ke akar-akarnya?" tanya Zifa heran.

"Karena ... Mama mempunyai sahabat, dia itu hacker handal. Dia bisa melakukan apa saja, dia juga mantan FBI."

'Bahkan bukan hanya mantan FBI saja,' lanjut Ica dalam hati.

"Wuaaaah ... keren sekali ... dia jago beladiri dan ahli dalam memegang senjata dong kalau dia pernah masuk FBI?" ucap Zifa berbinar, entah kenapa perubahan mood-nya cepat sekali, dari sedih, ceria, senang, kesal, marah dan sekarang Zifa kembali ceria.

"Iya, dia jago dalam berbagai hal beladiri, memegang senjata dari pistol sampai panahan. Tapi orangnya itu galak, judes dan pendiam kalau dengan orang yang tidak dikenalnya, dia hanya baik pada keluarganya saja dan sahabatnya termasuk pada Mama." Zifa berdecak kagum mendengar itu.

"Terus namanya siapa? Aku jadi penasaran."

"Dia istri dari Giozafan Gevonac. Rianasya Alin, kamu tahu?"

"Gevonac? Em ... aku tidak tahu, Ma."

"Beneran, kamu tidak tahu?"

Zifa mengangguk. "Iya, mungkin aku kurang pergaulan, aku selalu sibuk belajar dan bekerja sampai lupa waktu dan sampai tidak punya teman."

"Oh begitu, ya sudah deh, Mama maklumin saja. Tapi kenapa kamu tahu keluarga Al Chaxiel? Padahal Gevonac lebih terkenal dari pada Al Chaxiel loh ...."

"Oh, itu aku hanya mendengar saja katanya keluarga Al Chaxiel itu sangat terpandang, itu saja sih."

"Jadi kamu tidak tahu muka keluarga Al Chaxiel siapa saja?"

"Emm ... hehehe iya, aku hanya tahu Rivan saja dari keluarga Al Chaxiel."

"Pantesan ... nah, sekarang kamu tidur saja, nanti Mama bangunkan pas sampai, oke?"

"Oke Ma, aku juga sudah mengantuk, hoaaam. Tapi Mama masih kuat kan untuk menyetir? Padahal ini sudah lewat tengah malam."

"Kuat kok, Mama kan sudah biasa bergadang dengan suami Mama."

"Idiiih kok ke situ."

"Hahahaha ... sudah sana tidur."

"Iya, Ma."

Zifa memejamkan matanya karena sudah mengantuk sekali di tambah kepalanya sedikit pusing. Sedangkan Ica, dia mengambil ponselnya dan menelepon suami tercintanya.

"Hallo, Sayang ..." sapa Ica dengan ceria. Ica menggunakan earphone agar lebih mudah karena dia sedang menyetir.

"...."

"Aduh, sabar ya Suamiku Sayang ... aku sedang mengantar Zifa ke Cianjur."

"...."

"Iya, lain kali kau ikut, aku hanya khawatir pada Zifa."

"...."

"Kau sudah urus anak itu untuk mengulur waktu, kan?"

"...."

"Hm ...."

Ica pun hanyut berteleponan dengan suaminya ....

🔗🔗🔒🔗🔗

Tbc ....

Next chapter