1 PROLOG

بسم الله الرحمن الرحيم

اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

بسم الله لا يضر مع اسمه شيئ في الأرض ولا في السمآء وهو سميع عليم

_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_

Dari sekian banyak kejadian, kurasa sudah sangat cukup hatiku bertahan pada satu keadaan. Di mana aku tak bisa memprotes atas apa yang sedang, dan telah terjadi, di mana aku hanya bisa menyesali semua yang terjadi.

Aku benci ketika aku tidak bisa bersikap normal seperti orang lain, ketika marah mereka bisa mengekspresikannya, ketika ada masalah mereka bisa menyelesaikannya, ketika berbuat salah mereka bisa bangkit dan bertekad untuk bisa lebih baik lagi.

Tanpa harus menyalahkan diri sendiri, dan tenggelam pada kesalahan yang sebenarnya bukan sepenuhnya salahku.

aku hanya bisa diam membungkam, mengapa bibir ini terasa kelu, untuk sekedar menguraikan isi hati yang sangat menyiksa dan menyesakkan dada?!

Bukankah mulutku tercipta sama dengan yang lainnya? mengapa aku seperti kehilangan fungsi bibir dan mulutku untuk berbicara tentang perasaan sendiri?!

Aku merasa tertekan karena itu, mengapa aku tidak bisa membuat kebahagiaan untuk orang lain dari bibirku? misalnya, berucap kata-kata baik atau setidaknya bisa membantu menenangkan dan memberikan solusi untuk mereka.

Ah, sudahlah..

mungkin karena dari luka, kehancuran, kecewa dan marah bercampur. Membuat mulut terkunci dan hati berbicara. Karena terlalu banyaknya tekanan hati membuat bibir kehilangan fungsi dan tidak tahu harus berbicara apa lagi, banyaknya masalah yang disimpan tak tahu harus memulai dari mana.

Apa semua masalah hanya bisa diselesaikan dengan api? aku berhak mendapatkan ketenangan dari orang-orang terdekatku. Jika tidak bisa kudapatkan dari orang-orang terdekat, haruskah aku bertahan juga? dan mengorbankan perasaan sendiri tersakiti. Tentu saja dengan segala resiko yang kutanggung hingga dewasa.

Aku pernah berpikir bahwa yang aku rasakan adalah hal yang wajar. Menurutku, diam adalah cara yang terbaik untuk menyelesaikan masalah. Karena kobaran api yang membuat hati dan pikiranku mati. Sehingga aku kesulitan untuk bisa mencari solusi dan berbicara apa yang aku rasa.

Aku ragu ada yang mengerti perasaanku, aku tidak yakin mereka bisa sepenuhnya memberikan solusi untuk permasalahan hidupku. Namun, harapan itu selalu ada bagi siapapun yang mengerti, semoga saja.

Pribahasa "Rumahku adalah Surgaku" mungkin tidak berlaku untuk aku dan keluargaku. Malah bisa dikatakan sebaliknya. Aku cukup banyak mengenal Ayah dan Ibu, walau aku jarang berbicara intens untuk masalah keluarga. Hampir jarang aku mempunyai keberanian untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga mereka. Kupikir, itu bukan urusanku.

Semakin aku menghindar, semakin aku menemukan kegelisahan hati yang tidak menentu, dan semakin menanjak amarah yang tersampaikan, aku tidak mengerti mau Ayah apa?

Aku tidak lebih hanyalah manusia yang hidup setelah Ayah dan Ibu, aku tidak melihat apa yang terjadi sebelum aku ada di dunia. Aku seperti orang bodoh yang menyaksikan ketidakjelasan cerita yang mereka rangkai selama ini. Lagi-lagi anak menjadi korban keegoisan dan ambisi orang tua. Aku hanya menatap sayu pada apa yang kualami, lelah rasanya.

Tapi, siapa sangka. Selama ini kupikir hidup yang keras membuatku begitu jatuh tersungkur berharap bantuan dari orang yang bisa mengulurkan tangannya untuk membantuku bangkit kembali.

Harapan tidak berarti tanpa adanya sesuatu hal yang kita lakukan. Kita sebagai manusia adalah makhluk ikhtiar.

Dengan cara membuka hati dan pikiran, sehingga bisa tersambung dengan hikmah dan hidayah.

Hikmah dan hidayah adalah suatu kebaikan, kebaikan tidak akan datang pada pintu yang terkunci. Bagaimana ia bisa masuk jika terkunci? Maka caranya adalah dengan membuka hati dan pikiran, menjernihkan yang kotor agar kebaikan yang sifatnya suci ini bisa dengan nyaman singgah pada diri.

Seperti kisahnya Sayyidina Umar bin Khattab radiyallahu 'anhu, beliau adalah seorang pendeta Nasrani yang sangat disegani oleh bangsa Arab ketika itu. Dalam jejaknya mencari kebenaran agama, dengan kerendahan hati beliau membuka hati untuk mendengarkan lantunan ayat suci Al-qur'an yang dibacakan oleh adiknya.

Dalam masalah ini kita bisa mengambil pelajaran, bahwa setinggi apapun jabatan, sebesar apapun pengaruh seseorang terhadap lingkungannya, hikmah dan hidayah tidak akan datang jika hatinya terkunci.

Bisa disimpulkan bahwa seorang Sayyidina Umar bin Khattab, yang disegani oleh bangsa Arab saja mau membuka hati untuk mendengarkan kebenaran yang ada di depan matanya.

Lalu, apa kabar aku yang hanya manusia biasa dengan segala kelemahan yang kupunya, aku harus mencari hikmah dan hidayah itu berada.

Agar ketidak jelasan hatiku selama ini bisa terjawab lewat wasilah hidayah dan hikmah yang kutangkap.

avataravatar
Next chapter