19 ANG MO KIO - SINGAPURA

Seorang wanita cantik berkulit bersih dengan mata abu-abu nya terlihat sedang menatap langit dari lantai tiga belas apartemen nya. Menyaksikan keindahan kota Ang Mo Kio dimalam hari.

"Nadya Sayang.. lagi apa disini?" Tanya seorang lelaki yang sudah mengenakan piyama ditempat itu.

Nadya menggeleng lembut. Ia mengarahkan jari telunjuknya ke langit, menunjuk satu persatu bintang yang berpendar di atasnya.

Pak Adi menemani putri nya menghitung bintang.

"Bintang ini, kalau kamu hitung jumlah nya banyak sekali.." kata Pak Adi.

Nadya tersenyum, seperti mengingat-ingat sesuatu. Ia pernah mendengar kata-kata itu keluar dari mulut kekasih nya saat perayaan tahun baru tiga tahun lalu.

Pak Ardi merangkul putri nya menyenderkan kepala Nadya di bahu nya.

"Nadya tahu? Kesalahan papah yang paling berat adalah menyia-nyiakan waktu bersama keluarga kita dulu.." Curhat lelaki itu.

"Papah mungkin terlalu egois untuk mengejar apa yang papah mau, padahal sebenarnya semua kebahagiaan papah ada pada kalian.." Pak Adi menyium kening Nadya berusaha mengungkapkan penyesalan nya.

Nadya masih saja menatap ke arah langit malam yang gelap dengan senyum manis nya yang tak memudar.

"Sayang, kamu lupa ya.. belum minum obat?" Tante Melly menyimpan nampan berisi beberapa butir obat dan segelas air putih di atas meja untuk Nadya, kemudian ia berjalan menghampiri anak tiri dan suami nya.

"Masuk yuk! Udah malam.. besok kita lihat bintang lagi" ajak Tante Melly.

Pak Adi memapah Nadya untuk masuk ke dalam dan menutup pintu beserta seluruh jendela yang pada saat itu masih terbuka padahal waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam.

"Nadya minum obat ya sayang, biar tidurnya nyenyak... Besok Nadya ketemu sama dr. Mei lagi.. Tante siapin obat nya ya.." Perempuan itu terlihat begitu sabar dan telaten, membuka beberapa bungkus obat yang harus diminum Nadya malam itu juga.

"Melly.. terimakasih banyak ya.." Pak Adi mengelus punggung tangan istrinya.

Tante Melly tersenyum.

"Ini sudah jadi kewajiban aku mas, semenjak ibu mereka meninggal, aku harus bisa menjadi ibu sambung yang bisa merawat anak-anak kita dengan baik.." jawab nya.

Nadya segera meminum obat yang sudah di persiapkan Tante Melly.

Ia kemudian melangkah pergi menuju kamar nya untuk tidur. Tante Melly mengantar Nadya dan memastikan bahwa anak tiri nya itu sudah benar-benar tertidur.

"Kasihan Nadya mas, kalau aku jadi dia.. mungkin aku juga akan mengalami hal yang sama" Tante Melly masuk ke dalam kamarnya lalu duduk di atas kasur bersama suami nya.

"Nadya itu anak yang kuat, saat dia masih kecil, bahkan dia gak nangis walaupun tangan nya terkena percikan minyak saat ibu nya menggoreng ikan.." cerita Pak Adi pada istrinya.

"Tapi, mungkin karna dari kecil dia sudah kehilangan banyak waktu bersamaku, pelan-pelan kekuatan nya juga memudar.. dia tumbuh menjadi anak yang begitu rapuh. sampai dia bertemu dengan Leo, lelaki yang sangat mencintai nya itu membuat Nadya berhasil menemukan kekuatan nya kembali..." pak Adi menatap kosong ke arah jendela kamar yang sengaja di buka agar angin malam masuk ke dalam kamar nya

"Semua karna kesalahan dan kelalaian ku!" Lanjut Pak Adi terus saja menyalahkan dirinya.

Tante Melly menarik nafas panjang, ia mengelus pundak suaminya untuk menenangkan. Sambil membayang penuh iba terhadap nasib yang dialami Nadya.

"Cinta Nadya pada Leo sangat tulus.. tapi Tuhan berkehendak lain.." kata Tante Melly.

Pak Adi memeluk istri kedua nya itu dengan hangat.

"Kita cuma bisa berencana, tapi Tuhan lah yang berhak mengatur semuanya"

pelukan hangat itu dibalas oleh istrinya.

"Kata dr. Mei, Nadya hanya butuh support dari orang-orang yang menyayangi nya .." sambung Tante Melly.

"Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Nadya, kamu mau kan bantu aku untuk memperbaiki hubungan dengan kedua anak ku lagi?" Tanya Pak Adi.

Perempuan itu mengangguk.

***

Pukul delapan pagi, dr. Mei datang kerumah Pak Adi untuk bertemu Nadya.

dokter muda yang sudah berpengalaman itu nampak tidak begitu kesulitan berkomunikasi dengan pasien baru nya.

dr. Mei duduk di ruang tengah apartemen pak Adi dengan ditemani Tante Melly.

saat itu, Pak Adi tidak bisa mendampingi Visit rutin dr. Mei karna akan bertemu klien di suatu tempat.

"Nadya apa kabar? sudah makan?" sapa dr. Mei.

Nadya mengangguk.

dr. Mei adalah seorang Psikiater muda berusia dua puluh delapan tahun yang bekerja di sebuah Rumah Sakit Jiwa di kota Ang Mo Kio. ia pandai menggunakan bahasa Indonesia karena ibu nya adalah seorang warga Kalimantan asli yang meniti karir ke Singapura tiga puluh tahun yang lalu kemudian saat ibu nya bekerja menjadi seorang pelayan restoran di sana, ia bertemu dengan seorang pria berwarganegara Singapura yang kini menjadi ayah dari dr. Mei.

dr. Mei menceritakan kisah cinta kedua orang tua nya pada Nadya dan Tante Melly.

Nadya dengan seksama mendengarkan cerita dr. Mei. ia menyampaikan cerita dengan santai dan memasukan sedikit banyolan-banyolan khas anak muda yang membuat Nadya merasa sangat terhibur.

Mengetahui penyebab dari sakit yang di derita pasien nya itu, dr. Mei kemudian bercerita tentang kehidupan pribadi nya. ia nampak teratur menjelaskan alur cerita yang dibawakan nya, mulai dari pengalaman pribadi nya saat diselingkuhi, dan mendapat kekerasan fisik dari sang pacar, kemudian ia beralih membicarakan dari awal ia mulai berjuang membiayai sekolah nya sendiri sejak SMA, karna ia bukan terlahir dari orang yang kaya raya, ayah nya yang dulu hanya seorang pengantar surat, membuat ia harus memutar otak untuk mendapatkan uang saat itu. ia bercerita pengalaman nya pernah menjual bunga di jalan hingga akhirnya ia berhasil mengembangkan usaha nya dan mempunyai sebuah toko bunga yang kemudian menjadi sumber penghasilan nya untuk melanjutkan kuliah kedokteran yang begitu mahal. dr. Mei berulang kali mengatakan bahwa kehidupan ini memang terkadang tidak sesuai dengan harapan nya, tapi ini tidak lantas menjadikan ia sosok manusia yang tidak berterima kasih pada setiap hal baik yang ia miliki sekarang.

Ucapan dr. Mei membuat mata Nadya sedikit berbinar, ia menunduk kan wajahnya.

"Nadya suka bunga?" tanya dr. Mei ditengah cerita nya.

Nadya mengangkat wajah nya kemudian mengangguk sambil melempar senyum termanis yang dimiliki nya. dr. Mei lalu menanyakan kepada Tante Melly sejak kapan Nadya menyukai bunga.

Tante Melly mengingat sesuatu, di rumah Bi Marni, ia melihat banyak sekali bunga mawar putih yang sudah layu dan mati, namun enggan di buang, dan pada saat bertemu Daffa, ia melihat anak tiri lelaki nya juga membawa setangkai bunga yang sama.

dr. Mei mengangguk.

"..."

"kalau Nadya suka bunga, nanti Mei bawakan bunga mawar putih kesukaan Nadya yang banyak!" kata dr. Mei sambil menyelipkan beberapa helai rambut panjang Nadya yang sedikit menghalangi mata ke belakang telinga nya.

"Nadya itu anak yang kuat dan hebat, jangan takut untuk menjalani kehidupan ini, walaupun takdir terkadang begitu menyakitkan.." kata dr. Mei.

"Sedih itu wajar, tapi jangan berlarut-larut.. nanti malah kita kehilangan kesempatan buat berbagi kasih sayang dengan orang disekeliling kita sekarang" lanjut dr. Mei sedikit berjongkok di hadapan Nadya yang tengah duduk di kursi panjang disamping ibu tiri nya.

dr. Mei memegang erat kedua tangan Nadya dan memberikan senyum penuh semangat kepada Nadya.

"Nadya bahagia sekarang? kalau bahagia Mei mau dengar dong Nadya bilang begini 'Nadya bahagia' " dr. Mei memperagakan perintahnya.

Nadya hanya memperhatikan dr. Mei sambil terus tersenyum. dr. Mei menarik Nadya berdiri. tubuh kurus nya kini di apit oleh dua orang perempuan yaitu dr. Mei dan Tante Melly. sembari menghadap cermin besar di hadapan nya, dr. Mei terus mengajak Nadya agar mau mengeluarkan suara nya kembali.

"Na.. Nadya.. ba..ha..gia....." gadis cantik itu bersuara dengan terbata-bata.

"Nadya bahagia..." Nadya mengulang kata-kata itu sampai jadi kalimat yang sempurna.

avataravatar
Next chapter