21 Midnight Blues

"Apa maksudmu?"

Garis wajah Lucas terlihat berkerut-kerut. Aku bisa menangkap raut penasaran dari sorot matanya. Tumben sekali dia sangat peduli dengan kehidupan percintaan orang lain. Padahal saat Anna bercerita tentang pria yang dia sukai, Lucas sama sekali tak menanggapinya. Dia hanya mengucapkan kalimat sarkas, tentang betapa kasihannya pria itu karena telah di sukai oleh Anna. Yang ku ingat setelah itu adalah sepertu Lucas menghilang, pelakunya tentu saja Anna.

"Ya, pokoknya begitu.." Aku memeluk erat guling, kembali memunggungi Lucas. "Ceritanya sangat panjang dan hari ini rasanya aku sudah mengeluarkan terlalu banyak tenaga. Selamat malam."

Tidak ada kalimat pakasaan dari Lucas. Bahkan saking heningnya ku pikir pria itu sudah tertidur dalam posisi duduk. Yang mana cukup masuk akal karena dia tipikal orang yang mudah tidur di mana pun. Musim panas tahun lalu Lucas ditemukan tergeletak di depan kulkas yang pintunya sudah terbuka, botol-botol mineral kosong berjejeran di sekitarnya. Pada saat itu Mrs. Sarah tak henti-hentinya memanggil anak lelaki satu-satunya itu dengan sebutan unta.

Namun kali ini ternyata berbeda. Ternyata dugaan ku salah besar saat ku dapati sepasang tangan menarik selimut serta bantal di bawah kepalaku. Aku praktis terguling, untung saja tubuhku reflek menahan diri agar tak sampai jatuh menimpa lantai di bawah. Meski hanya setinggi lima puluh senti, tetapi tetap saja jatuh itu rasanya sakit.

Barulah setelah reda dari keterkejutan, ku layangkan tatapan paling mematikan yang ku punya pada pelaku perampasan itu. "Hey! Selimut ku!"

"Ini milikku, kau tahu? Seluruh isi kamar ini milikku, bahkan ranjang itu," kata Lucas mengingatkan hal yang sudah sangat jelas ku ketahui. Hanya saja, mengambil sesuatu yang tengah dipegang oleh orang lain sangat tidak sopan. Aku bisa saja berlari ke sana, merebut kembali barang-barang yang dia rebut dariku.

Tetapi, seperti apa kata Lucas, semua barang di kamar ini adalah miliknya. Dan juga, aku agak takut jika ditendang keluar hanya karena berebut bantal dan selimut dengan anak pemilik rumah. Maka dengan berat hati, aku relakan Lucas dengan benda-benda itu.

"Dasar tukang ngambek."

Sebenarnya aku hendak melontarkan sumpah serapah berupa 'Dasar tuan rumah tidak sopan!' tetapi barangkali ucapan itu malahan akan membawaku tidur di lantai tanpa alas maupun bantal dan selimut. Itu sangat mengerikan, bahkan untuk dibayangkan.

Tak ada balasan dari Lucas, aku tak berpikir dia sudah tidur dalam waktu yang sangat singkat ini. Tapi tak masalah, akan ku anggap perdebatan ini seri. Hey, Lucas! Kau harusnya berterima kasih karena aku menghormati status mu sebagai Tuan rumah dan berhenti membeberkan fakta yang akan membuatmu kalah berdebat lagi.

Aku kembali berbaring, merenggangkan otot-otot ku yang tegang. Wajahku mendongak, menatap langit-langit kamar Lucas yang tak jauh berbeda dari dulu. Aku praktis mengingat kepingan kenangan yang tercetak saat bermain di tempat ini. Ketika tubuh kami jauh lebih kecil daripada sekarang, kamar ini terasa sangat besar, membuat pikiran imajinasi khas anak kecil menganggap kamar ini seluas dunia. Kami bisa membuat apa saja di sini, gunung, hutan, laut, gedung pencakar langit, kawasan rahasia, dunia ajaib yang dapat dijumpai hanya setelah kau mencuci tangan dan kaki.

Semuanya benda di sini pun tak banyak tergantikan, membuatku berpikir, untuk apakah semua barang-barang lama ini masih di simpan? Padahal aku jelas tahu Mrs. Sarah tak akan tinggal diam saat melihat barang yang tak memiliki kegunaan di simpan sebagai pajangan.

Aku memang sering bermain ke rumah Lucas, tetapi itu tak terjadi begitu saja, ada alasan kuat yang membuatku lebih nyaman tinggal di sini ketimbang tinggal di rumah.

Sejujurnya aku tak membenci ibuku, aku menyayanginya seperti seorang anak pada umumnya. Well, aku rasa harus mengatakan ini agar tak ada kesalahpahaman yang berkepanjangan. Aku sangat menyayangi ibuku, sampai-sampai aku takut untuk membencinya. Aku tak ingin merasakan segala bentuk perasaan negatif tersebut, tetapi saat melihat wajah ibuku, gejolak aneh terdorong keluar tanpa sadar. Aku pikir bisa menepisnya. Nyatanya aku salah besar.

Memendam kebencian itu ternyata berdampak sangat parah. Tubuhku seolah mempunyai pikiran sendiri, merespon tanpa ku sadari dan begitu semua dapat diambil alih, ku dapati wujud ku teramat kacau. Muntahan dan keringat serta merta menyelimuti hampir seluruh tubuhku.

Meskipun terkesan parah, tetapi aku telah lama menyadari obat paling mujarab agar tak lagi muntah sembarangan. Dengan sama sekali tak membahas wanita itu dan membatasi diri saat bertemu secara langsung dengannya. Cara paling sering ku lakukan adalah dengan mengunjungi rumah Lucas.

"Hey, Bryan.."

AKu segera menoleh ke asal suara. Di seberang sana Lucas masih memunggungi ku. "Hm?"

"Menurutmu apa wajar jika kau memiliki perasaan pada orang yang tak seharusnya?"

Obrolan ini termasuk langka. Jika kau sudah berteman lama dengan Lucas, kau pasti tahu seberapa berisik dan tidak seriusnya dia. Aku merasa seperti tengah berbicara dengan orang lain, atau barangkali itu adalah hantu? Alien yang sedang menyamar?

"Apa-apaan pertanyaanmu itu, terdengar aneh."

"Ya sudah lupakan saja."

"Hahaha... aku bercanda." Aku berpikir sejenak. Mengenai pertanyaan Lucas telah menyentil ulu hati, membuatku mengingat bahwa itu juga selaras dengan apa yang ku rasakan. Bolehkah perasaan ini tetap bertengger di sela-sela sempit pembuluh darah? Tetapi aku praktis merasakan jantungnya berdentum-dentum secara membabi buta saat mengingat wajah pemuda itu. "Well, menurutku secara pribadi, tidak ada yang salah jika kau menyukai seseorang. Kita tak bisa menentang perasaan yang memang terbentuk secara sendirinya. Malahan semakin kita mengelak, perasaan itu justru akan menyakiti kita."

Tubuh Lucas bergerak memutar, dan kini kami total berhadap-hadapan. Meski di dalam gelap, aku masih dapat merasakan sorot mata penuh harap dari pria yang berbaring di atas sofa.

"Jadi, menurutmu tidak masalah jika aku menyukai orang tersebut?"

"Tentu saja tak masalah, kau pantas bahagia. Aku selalu mendukungmu Bung."

"Terima kasih, kau yang terbaik."

"Kau harus mentraktirku Big Monster Burger." Lucas terdengar berdecak. Aku lalu menimpalinya. "Tidak ada yang gratis di dunia ini bro! Dukunganku sangat berharga tahu."

"Dasar babi," gumam Lucas yang tentu saja dapat ku dengar dengan jelas.

"Wah.. kau ini benar-benar—" Aku bangun dan melemparkan bantal guling ke arah Lucas. Serangan tiba-tiba tersebut tak cukup membuat pria itu mengerang kesakitan. Malahan Lucas dengan santai memungut bantal guling yang jatuh ke lantai sebelum memeluknya.

"Terima kasih."

Lucas menang. Tanpa adanya bantuan dariku yang sengaja mengalah. Dia sudah banyak belajar dari kesalahan, membuatku sadar bahwa kami sudah banyak melalui waktu bersama-sama.

"Awas kau."

Ancamanku tak ubahnya pengantar tidur yang semakin membuat Lucas terlelap.

Hari ini berlalu cukup cepat. Memang benar, jika terasa sangat menyenangkan, maka semua akan terasa cepat berlalu. Seolah-olah waktu tak membiarkan kita untuk berpuas diri.

avataravatar
Next chapter