4 Memupuk Keberanian

Dasar pria tua itu memang benar-benar licik. Dia mematok harga tiga kali lipat. Kalau begini sama saja aku membeli tiga buah ketimbang 2 gratis satu. Penjual memang boleh menggunakan cara apapun agar dagangannya laris, tak masalah sebenarnya. Aku tak pernah merasa sekesal ini sebelumnya, mungkin juga pengaruh terik matahari yang terasa langsung membakar kepala, mendidihkan sumsum otak.

Aku hampir saja memulai sesi mengumpat kalau tak ingat niat awalku membeli permen apel ini. Benar, tidak boleh seperti ini. Bagaimana aku bisa mendatanginya ketika suasana hatiku sedang tak baik-baik saja.

Tarik nafas, lalu hembuskan perlahan.

Mengulangi cara semacam itu rupanya cukup sukses membuat pikiranku agak tenang. Tak akan ku biarkan 11 dolar mengacaukan rencana paling matang yang pernah ku buat, meski tersusun secara tiba-tiba sekitara beberapa menit yang lalu. Tetapi aku sangat yakin. Ini waktu yang tepat, kalau bukan sekarang kapan lagi.

Aku memutar kepala untuk langsung mendapati sosoknya yang masih bercanda tawa dengan beberapa orang lain.

'DEG!'

Sial.

Bagaimana bisa senyumannya mampu membuat jantungku berdebar sangat kencang. Bahkan belum satu langkah lebih dekat dengannya, apakah lebih baik ku urungkan saja?

"Tidak. Jangan mundur. Ini belum satu persen dari perjuanganmu."

Rasanya sangat konyol ketika mulut dan isi hatimu berbanding terbalik. Mulutku dengan gagah berani mencoba menyemangati, tetapi hati kecil tahu persis apa yang tengah menjadi titik ketakutanku.

"Kau sungguh tak akan bisa bertemu dengannya lagi kalau menyia-nyiakan kesempatan ini."

Sebagai penjelasan singkat, aku tak memiliki kepribadian ganda. Seolah-olah mempunyai pikiran terpisah dan berbeda satu sama lain. Berbicara sendiri kadang ku lakukan untuk meyakinkan diri. Terdengar aneh memang. Makanya aku tak pernah melakukan ini saat bersama orang lain, bahkan Lucas saja yang bisa dibilang cukup dekat denganku. Kebiasaan yang terjadi ketika sedang berada dalam posisi paling rancu, tak bisa melaksanakan rencana yang seharusnya ku lakukan. Bermula ketika harus memimpin doa saat di TK, lalu berada di balik belakang panggung sebelum mulai membacakan pidato pada upacara pembuka tahun ajaran baru, kemudian saat mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan guru.

Lumayan sering terjadi, beberapa kali aku juga tertangkap basah oleh orang lain. Mereka paling banter hanya berbisik-bisik satu sama lain, menyebut aku orang aneh karena berbicara sendiri. Tetapi yang konyol adalah seorang anak kecil menganggapku sebagai penyihir karena mengira aku tengah membaca mantra. Itu terjadi saat aku berada di tengah antrian wahana rollercoaster.

Meskipun kadang —ralat— sering dianggap aneh, namun cara semacam ini benar-benar efektif mengusir perasaan cemas. Sama seperti sekarang. Aku sudah bisa menggerakkan kaki, melangkah semakin dekat, walau jantungku masih berdebar kencang.

"Pe... ekhem, permisi.."

Aku memaki dalam hati. Merutuki suaraku yang tiba-tiba menjadi tidak terkontrol, serak seperti orang baru bangun tidur. Ini sangat memalukan tentu saja. Ditambah dengan perhatian mereka menjadi sepenuhnya teralih padaku.

"Ada perlu apa?" tanya seorang pemuda berkacamata. Dia terlihat lebih tua dari si pirang di sebelahnya, tetapi dari tatapan matanya terkesan lebih dingin.

"Anu.." Ayo berpikir kau otak udang! "Temanku adalah penggemar berat mu," ujarku menghadap si pria pirang.

Oh Tuhan. Kakiku mulai kembali lemas. Bertatapan secara langsung semacam ini benar-benar membuatku gugup setengah mati. Jantung, bertahanlah sebentar saja, jangan sampai pingsan di sini.

"Aku?" tanya si pirang menunjuk dirinya sendiri, memastikan kembali. Yang ku balas dengan anggukan cepat.

Oh tidak. Bagaimana jika aku langsung dianggap sebagai orang aneh karena terlalu bersemangat.

"Kami ke sana dulu."

Pemuda berkacamata mungkin menyadari apa yang sedang ku lakukan sekarang. Dia menggaet orang lainnya untuk pergi, meninggalkanku dengan si pirang. Berdua saja.

"Bolehkah aku minta tanda tanganmu untuk temanku?"

"Tentu saja boleh~"

Si pirang menjawab dengan senyum paling manis. Selama ini aku hanya melihatnya tersenyum di bawah panggung. Menikmati setiap jengkal wajahnya dari jarak paling tidak memungkinkan untuk dianggap ada. Keberadaanku sama seperti para penonton lainnya, bahkan suaraku saja tak mungkin terdengar menonjol dibandingkan semua orang. Kini, aku seakan memasuki dunia lain dimana hanya ada pemuda pirang ini saja di depanku.

"Apa kau punya kertas dan pena?"

"Eh?" Pertanyaan dari pemuda itu sukses menyadarkanku dari lamunan. Sial, pasti aku akan dianggap sebagai orang aneh. "A—aku punya.." jawabku dengan suara masih gugup.

Tentu saja aku punya. Ini sudah ku siapkan sebelum dengan lancang berdiri di hadapan sang idola. Akan sangat aneh kalau aku malah tak mempersiapkan apapun ketika meminta tanda tangan kepadanya.

Berusaha tersenyum sesantai mungkin sembari menyodorkan selembar kertas juga sebatang pena. Jenis senyuman kaku yang terkesan dipaksakan. Tampak seperti orang bodoh barangkali.

"Kalau bisa, tolong tulis namamu di bawah tanda tangan itu."

Dia berhenti mencoret lembaran kertas agak lecek, bekas lipatan yang dipaksakan untuk masuk ke dalam saku celana sempit. Mendongakkan kepala, menatap langsung tepat di bola mataku. Secara reflek, aku memutus kontak pertama kali, memilih menatap tanah di bawahku yang semestinya tak lebih menarik dari mata biru shappire miliknya.

Mau bagaimana lagi, aku takut kalau semakin berdebar jika terlalu lama menatap manik indah di depanku.

"Temanku juga sangat penasaran dengan namamu."

"Oh ya? Kenapa dia tak menanyakan langsung padaku?"

Aku mulai khawatir kalau-kalau tindakanku ini menimbulkan perasaan curiga yang berimbas pada gagalnya pemberian tanda tangan. Itu sangat wajar, orang asing tiba-tiba datang padamu lalu meminta tanda tangan dengan dalih sebagai teman yang baik. Itu terlalu mencurigakan sebenarnya. Dan aku terlalu pengecut untuk mengakui permintaan itu datang dariku sendiri.

"Em.. Dia terlalu malu untuk bertanya langsung padamu."

Membuat alasan seolah-olah aku hanya orang yang berperan sebagai pengantar pesan saja. Melimpahkan sikap pecundangku pada siapapun yang tak berdosa.

Hebat.

Hebat sekali kau Bryan.

"Hahahaha... Benarkah? Kenapa harus malu?"

Aku mengangkat bahu seolah-olah tak tahu. "Takut kau menganggapnya orang aneh barangkali."

"Temanmu itu lucu yah~" Entah sudah berapa kali dia tertawa pelan, tak tahu juga sudah berapa kali jantungku seperti hendak meloncat keluar dari tempatnya. "Kalau begitu siapa nama temanmu?"

Rencanaku ini terkesan terburu-buru sebenarnya. Banyak hal tidak ku siapkan secara gamblang. Seperti jawaban apa saja yang nantinya akan ku berikan terhadap setiap pertanyaan. Termasuk pada mentalku saat ini. Siapapun pasti akan dengan mudah menebak kalau aku seorang pembual yang tengah mendekati orang yang disukainya.

"Namanya? Bryan Stewart."

"Okay.."

Jemari lentiknya menggenggam batang pena hitam dengan lembut, menggoreskan ujung lancip yang mengeluarkan tinta hitam di atas permukaan kertas putih secara halus. Setiap detik yang berlalu ku habiskan untuk mengagumi coretan tangannya. Seolah terhipotis, mataku tak bisa beralih pada hal apapun selain sosok di hadapanku ini.

"Silakan, untuk temanmu~"

"Uh? I—iya.. Terimakasih banyak."

Pikiranku seolah berpindah ke dunia lain, dimana tak ada satupun hal yang mengisi selain keberadaan pemuda berambut pirang ini. Seakan menjadi pusat alam semesta, dia begitu bersinar. Sampai-sampai membuatku hilang fokus (untuk ke sekian kalinya).

Aku baru saja memutar tubuh ketika dia memanggilku. Dengan senang hati, tanpa keterpaksaan sedikitpun, aku memutar kepala. Saat itu juga pandangan kami kembali bertemu.

"Kau sendiri, siapa namamu?"

"Lucas Templeton."

avataravatar
Next chapter