webnovel

"Bi, kenapa aku malah berpikir kalau wanita itu menyukai mu, ya?"

"Aku masih tak enak badan."

"Tapi kau sama sekali tak meminta izin cuti sebelumnya."

"Memangnya kau siapa?"

"Kapten mu."

"Tak cukup berpengaruh, bahkan pria buncit yang duduk di kursi dengan menjabat sebagai manager kafe saja sama sekali tak membuat ku takut. Kalian bukan orang yang memberi ku gaji."

"Bi, sialan kau!"

"Simpan umpatan kasar mu itu. Karena aku lebih suka membalasnya lebih kasar tepat di depan wajah mu."

Tutttuttt

Bian lantas mematikan panggilan sepihak. Wajahnya yang selalu memerah akibat terpancing emosi dari wanita gila yang selalu merecokinya itu.

"Harusnya benar-benar ku blokir saja nomor ponselnya." Sesal Bian di akhir.

Sementara Tio yang asik menikmati sajian makanan ala jepang itu lantas menatap sang kawan yang terus ngedumal.

"Siapa? Salah satu pelanggan mu yang mulai posesif?"

"Sepertinya akan lebih mudah untuk ku mengurus masalah itu. Aku hanya cukup mengancamnya dengan foto telanjang kami untuk di sebarkan ke media sosial seperti waktu itu. Tapi demi apa pun, dia adalah seorang wanita. Makhluk yang paling merepotkan yang sama sekali tak ingin ku kenal lebih jauh."

"Seorang wanita?"

"Seperti hantu yang terus saja mengganggu ketenangan ku."

Tio yang nampak tertarik, meletakkan sumpit berganti menggosok dagu. Matanya menyipit seolah sedang menyelidik. "Seperti dia sedang berusaha menarik perhatian mu, ya?"

"Lebih tepatnya untuk memancing emosi ku."

"Bi, kenapa aku malah berpikir kalau wanita itu menyukai mu, ya?"

"Sialan! Jaga bicara mu, Yo!"

Tio yang sontak mengangkat tangan untuk melindungi kepalanya dari kapan pun serangan Bian. "Hei, aku tak bercanda. Tebakan ku tak mungkin meleset. Lagipula, orang-orang juga kebanyakan melakukan trik agresif seperti itu."

"Sekali lagi kau buka mulut, ku pastikan kuah panas ini mengguyur wajah mu."

"Ah, tidak-tidak... Ampun."

Namun, Tio yang terlanjur bersemangat untuk meracuni pikiran Bian memutuskan buka mulut semakin lebar.

"Lagipula dari banyaknya penduduk wanita di bumi ini, pasti ada nol koma sekian yang terjebak cinta pada pria gay, kan?"

"Tio...!!!"

Mengorbankan keselamatan diri. Pikir Tio lebih menyenangkan untuk menyaksikan kelanjutan kisah terhalang orientasi seksual itu.

Dan benar saja, bagai sebuah mantra yang membuat Bian terpengaruh. Pikirannya tak bisa tenang, malah terbayang kekonyolan yang sampai membuatnya kikuk hanya karena ketidaksengajaan bertemu tatap dengan si pelaku.

Sungguh, Bian mulai menyesal karena telah menghabiskan jatah jajannya untuk berbagi dengan kawan bangsatnya itu. Pengeluaran bukan hanya untuk mengenyangkan perut, atas janji yang kadung terucap turut memenuhi hasrat seksual Tio dengan sumbangan menyewa lacur. Sialan memang!

"Ada apa dengan mata mu? Mendadak tertarik dengan kecantikan ku?"

Bian yang reflek langsung buang muka, melanjutkan pekerjaannya dengan sedikit mengolok. "Wanita gila."

"Apa kau bilang?!"

Sudah. Pertanyaan dengan nada memekik terlalu tinggi itu membuat Bian angkat tangan. Tak ingin melanjutkan pertengkaran atau ia akan semakin dekat dengan kematian hanya karena alasan tak kuat menahan tekanan batin. Ya, lagipula kondisi fisiknya yang masih lemah tak memungkinkannya untuk beradu.

"Yo, nanti jemput aku!"

Memaksakan diri untuk berpergian dan bekerja keesokannya adalah pilihan yang sangat buruk. Pukul sepuluh malam, Bian rasanya nyaris pingsan di depan pintu cafe yang baru saja di tutup itu.

Dan sialnya, lagi-lagi keadaan membuatnya terdesak untuk menjadi seorang kriminal dengan menikam rekan kerjanya.

"Apa kau memang pria selembek itu? Oh ayolah, kau bahkan tak segesit itu dalam bekerja, tapi kenapa sekarang malah nampak nyaris lumpuh sampai seperti tak mampu menopang tubuh? Kenapa? Siapa yang kau harapkan untuk datang dan berbelas kasihan, eh?!"

Tanpa babibu, Bian lantas menyesakkan tubuh Nadin ke tembok. Satu lengannya terangkat untuk memenjara wanita jalang itu. Tatapannya melayang tajam, berharap wanita itu akan terbakar karena emosinya yang tak lagi bisa terbendung.

"Bi. A-apa yang kau lakukan-"

"Menurut mu?" Bian yang menyeringai, semakin suka dengan raut ketakutan dari mangsanya.

"Jangan macam-macam atau aku akan teriak!"

"Coba saja." Perlahan, Bian mendaratkan lengan bebasnya ke leher Nadin. Menjejakkan jemarinya bagai bajingan yang berusaha menyibak kain yang menutupi gunung kembar. Menggiring kenikmatan dengan penghinaan di satu waktu.

"Aku akan benar-benar teriak. Bi..." Dengan panggilan lemah yang keluar di akhirannya, Bian cukup yakin jika posisinya cukup berpengaruh. Nadin yang ketakutan.

"Atau aku yang akan tak segan untuk mencelakai mu."

Sampai bisikan setan yang membuat Bian lupa diri. Emosi atas keadaan dan juga perjalanan hidupnya yang selalu berakhir mengecewakan, nyaris menjadikan wanita itu sebagai pelampiasan. Terlalu ketat mencengkram leher Nadin hingga nyaris menghantarkan wanita itu pada kematian.

"Ekhh!" Napas tercekat Nadin yang terdengar candu di telinganya. Bian ingin mendengarnya sedikit lebih lama.

"Bi!"

Seakan tertarik ke dunia nyata, Bian dengan tatapan kosong langsung terbelalak. Melepaskan perbuatannya sambil beringsut menjauh dengan kaki gemetaran.

"Uhuk-uhuk!"

Sementara Nadin yang tersengal, berusaha memasok oksigen yang makin menipis di rongga dadanya. Masih dengan raut tak sangka, takut-takut menatap Bian yang di lihatnya tanpa rasa bersalah. Putar badan, membelakanginya seolah menganggapnya telah musnah.

"Ah... Untung saja kau kawan ku yang tau cara balas budi." Mendatangi Tio yang memaku di tempat. Mengayunkan lengannya tinggi untuk merangkul pundak sang kawan. "Ayo, kita pulang!"

Tak sepakat, Tio rupanya masih menatap penuh selidik pada bekas pertunjukan yang membuatnya terkejut setengah mati. Lebih tertarik dengan peran wanita berwajah merah padam di sana yang nampak lemas dengan mencengkram dadanya terlalu erat itu. Pikirannya sudah melancong tak karuan.

"Wanita itu... Kau apakan dia?"

"Tak usah ikut campur."

Bian jelas tak ingin di introgasi, kegilaannya bisa makin terealisasi jika terus terpancing ucapan Tio yang selalu berakhir membuatnya frustasi itu.

Meninggalkan Nadin yang seperti enggan beranjak, berusaha melenyapkan sisi keingintauan Tio dengan menggeret pria itu ke motornya yang terparkir.

"Bi, apa kau tak mau memesankannya taksi?"

"Diam. Aku lelah dan ingin cepat tidur."

Brummm

Keterpaksaan, Tio menyalakan motornya dan beranjak pergi meninggalkan seorang wanita di antara kegelapan malam.

Bian yang diam membisu, bersandar di punggungnya seolah tengah mencurahkan beban berat yang di tanggungnya selama ini.

Namun bukaannya merasa empati, Tio yang terlalu bangsat nyaris membuat nyawa keduanya melayang akibat kata-katanya yang terlalu jelas terdengar di telinga Bian yang nyaris tertidur itu.

"Bi, apa kau tak ingin membawanya pulang? Siapa tau dengan kemolekan tubuhnya kau bisa berhasrat. Bisa jadi wanita itu obat untuk sakit mu. Kau bisa menjadi seorang pria pada umumnya dengan menikahi wanita. Kartu keluarga mu akan terisi dengan beberapa nama yang akan menjadi anak-anak mu kelak."

Plakk

Tio terlalu berisik, Bian tak suka. Tapi konyolnya, mereka masih terus bersama setelah pertemuan di klub malam enam tahun silam.

Next chapter