5 "Apakah anda tak keberatan untuk datang ke ranjang sempit milik saya, tuan?"

"Kau kenapa?"

"Pusing, sampai rasanya seperti barbel seberat 3 kilo terlempar ke kepala ku. Apa kakak merasa rotasi bumi berputar semakin cepat?"

"Tidak."

"Bagus, jadi aku tak perlu lagi merasa khawatir. Karena kalau kau ingin tau, bahkan saat ini aku mulai merasakan langit-langit kamar ku seperti berubah warna jadi motif catur, terus bergerak melingkar dengan titik hitam yang menjadi pusatnya. Aku seperti tertarik untuk terus tenggelam. Tubuh ku rasanya lelah, mata ku makin berkunang, perut mual- huek!"

"Bi? Apakah separah itu?"

Bian yang mulutnya sudah sangat pahit masih saja menyempatkan kedua sudut bibirnya untuk mengulas senyum girang. "Yah... Semoga saja asam lambung ku tak makin parah."

"Aku akan mengirimkan orang ku untuk memberikan mu obat. Ada lagi yang kau butuhkan? Sate ayam?"

"Tidak, aku hanya butuh pelukan mu."

"Apa ku kirimkan saja dokter pribadi ku ke tempat mu?"

"Kau mau dia yang memeluk ku?"

"Jangan bercanda."

"Hahaha... Baiklah, aku hanya sakit karena kelelahan, bukan mau sekarat, kak..."

"Dengarkan aku, sekarang kau berbaringlah dulu. Setelah orang ku sampai, kau harus segera makan dan meminum obat yang ku berikan."

"Itu berarti, kakak tak bisa datang untuk menemani ku?"

"Besok aku akan menemui mu, oke?"

Tutt tuttt tuttt

Panggilan berakhir. Janji terakhir yang di harapkan Bian akan di tetapi. Setidaknya, satu dari sekian permintaan bisa di penuhi.

Namun nyatanya, panggilan masuk di bagi buta membuat Bian benar-benar merasa kesal.

"Maaf, aku ada urusan penting, Bi."

Bibirnya yang sempat terulas seketika mengatup terlalu rapat, Bian tak sedikit pun khawatir kalau-kalau saja Mike sampai mendengar bunyi gemelutup giginya. Biar saja pria itu tau jika dirinya tengah benar-benar kecewa.

"Tak masalah, kakak selesaikan saja pekerjaannya. Aku bisa menunggu."

Tutt tutt tuttt

"Bangsat!"

Bian memutuskan panggilan sepihak, langsung mengumpat kasar. Nyaris membanting ponselnya jika tak ingat emosi yang akan di lampiaskannya tak akan sebanding dengan harga beli barang mahal pemberian itu.

Bangun dengan bersungut, kali ini Bian menyabet bungkusan obat di atas nakas yang di berikan oleh orang suruhannya Mike semalam. Membuangnya di lubang kloset dan menyiramnya hingga lenyap. Bungkusan makanan yang tengah di abaikannya sampai basi itu pun di buang ke tempat sampah.

Mike mengabaikannya, pemberian pria itu sama sekali tak ada artinya.

"Oke. Aku tunggu sampai kau mendatangi ku. Mau sakit berapa lama pun, tak akan jadi masalah."

Ya, Bian bisa sedikit lebih bersabar untuk menunggu. Namun bukan dalam artian penuh ketulusan untuk mengusahakan diri merangkak menjadi prioritas, melainkan obsesi gilanya yang makin sulit untuk di kendalikan. Tak ada pandangan atau cara lain meski mendapatkan Mike adalah hal yang paling mustahil di hidupnya.

Kebisingan yang memekak telinga dari musik disko atau sunyi tanpa sedikit pun suara, dua hal bertolak belakang yang ada di kehidupannya. Pria asing yang dalam hitungan detik akan beralih menjadi begitu intim, berbagi gairah semalam sampai batas fajar menghabiskan kenikmatan. Rasanya lebih banyak orang-orang yang singgah sesaat untuk mencicipinya di bandingkan orang yang berperan mewarnai hidupnya. Beberapa di antara malah sama sekali tak di harapkannya untuk datang dan kembali mengusik. 

Seorang diri, tanpa di temani ratusan orang menggila yang menenggelamkannya dalam uforia kebahagian semu. Beranjak malam yang makin membuatnya merana dalam kesendirian, tak ada yang di harapkan datang sekedar sebagai teman. Bahkan janji Mike kembali berakhir di ingkari.

Kondisi Bian yang sama sekali belum menunjukkan perubahan, bahkan itu pun masih tak berniat untuknya beranjak dan menyuap beberapa suap makanan. Dua hari, mampu membuat tubuh kecil Bian makin kurus kering. Keras kepala, syarat meluluhkannya benar-benar hanya dengan kehadiran pria itu. Pertahanannya tak akan hancur begitu saja, atau kalau perlu sampai napas terakhirnya?

"Bangsat!"

Di saat emosinya yang kian gelap, sama sekali tak di duga jika serangan lain akan membuatnya makin naik darah. Tanpa pengertian sedikit pun, Nadin menterornya dengan suara toa memekak telinga yang selalu berakhir menyulut sumbu pendeknya.

"Kau pikir kau bisa bolos semau mu, eh?!"

"Apa kau mau aku datang tengah malam ke toko sekarang?"

"Ya, kalau perlu menginaplah di sana supaya aku bisa melihat mu datang lebih pagi dari pada aku."

"Sungguh, harusnya setelah aku tau pemilik nomor asing ini adalah diri mu, tak akan sedikit pun aku berniat untuk berbasa-basi menanggapi kegilaan mu ini."

"Gila? Kau pikir seorang rekan yang berniat baik untuk mengoreksi kesalahan mu ini adalah suatu kesalahan?!"

"Aku tak butuh niat baik mu, Nona. Lagipula, posisi ku sejak awal tak sedikit pun menempatkan ku pada keadaan genting, jadi terserah ku untuk datang bekerja atau tidak."

"Ya, kau memang selalu akan pongah dengan tingkah tak tau aturan mu itu."

"Dan kau pun akhirnya menduplikasi perilaku ku. Mengganggu jam tidur orang lain, apakah menurut mu kau cukup sempurna untuk di katakan taat aturan?!"

Bian yang kesal sampai menaikkan nada tinggi. "Bangsat!" Namun yang ada malah membuat saraf di kepalanya terasa tertarik, rasanya begitu menyakitkan sampai-sampai buku tangannya meremas kain sprei dengan begitu kuat. Matanya terpejam erat, gurat wajahnya menekuk dalam menahan jerit kesakitannya.

"Untuk memperingati orang yang terlanjur rusak seperti mu memang sulit, ya?"

"Dengar, anggap aku sesuka mu. Tapi di bandingkan kau yang terlalu repot untuk mengurusi hidup ku, bukankah lebih baik untuk mu fokus mencari perhatian? Menjadi pelayan kesayangan di toko, keinginan kecil itu yang kau impikan, kan?"

"Kau-"

"Ah, ya... Atau kau mau ku beri saran? Merangkak saja di bawah kolong meja manager kita. Buka celananya dan puaskan kejantanannya. Kebetulan sekali, bukankah pria buncit itu menyukai mu?"

"Sialan kau-!"

Tututt

"Brengsek!"

Bian yang mematikan panggilan telpon lantas membanting tubuhnya kembali berbaring di atas ranjang. Punggungnya yang terasa kian panas di tambah keringat yang membuat sekujur tubuhnya terasa begitu lengket.

"Ergghh... Isshh...."

Hanya saja ketidakberdayaannya marasakan dingin melalui tapak kakinya yang menyentuh lantai membuatnya seketika mengabaikan niatannya untuk mengguyur sekujur tubuhnya. Percampuran hawa panas di dalamnya dengan suhu luar yang seolah mampu membekukannya di satu waktu. Keadaan yang makin membuatnya frustasi ketika jemarinya menambah perkara.

Tutt tuttt

Bunyi dering panggilan berakhir dengan tanpa balasan untuk kesekian kalinya dari Mike.

"Akhhh!"

Bahkan luapan rasa kecewanya hanya mampu terbungkam di bawah bantal. Ketakutannya untuk benar-benar menjadi sebatang kara membuatnya merasa nelangsa. Hidupnya yang nyaris tak terselamatkan, makin parah saat satu per satu dari mereka tak lagi bisa di percaya.

Bian merasa benar-benar kacau, yang selalu berakhir dengan jalan pintas meluapkan emosinya dalam kesakitan melalui cara lain. Bersetubuh dengan pria random.

"Malam ini aku sedang bergairah, apakah anda tak keberatan untuk datang ke ranjang sempit milik saya, tuan?"

avataravatar
Next chapter