2 Chapter 2 : Shooting Star

    Yasmime menatap lekat bintang kecil dan bintang jatuh, Yasmine memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dan beranjak dari tempat duduk dekat halte itu.

"ssshhhh...fiuh....dingin sekali" gerutunya sembari menggosok gosok telapak tangan.

tidak beberapa lama ia melangkah, ia di kejutkan oleh seorang gadis kecil yang tengah menangis ditrotoar. Yasmine yang merasa iba langsung menghampirinya.

Namun sejujurnya Yasmine tidak bisa berbahasa jepang, ia hanya tau beberapa kata saja.

alhasil ia hanya mengelus elus puncak kepala gadis kecil itu sambil berbahasa isyarat.

"kamu kenapa?"mungkin itu arti dari bahasa purbanya.

"mm..mama..mama.." Anak kecil itu menangis sambil mencoba berkata sesuatu. Kini yasmine paham, anak itu tersesat dan mencoba mencari mamanya. Agar anak itu tenang yasmine memberinya permen dan beberapa makanan dari tas nya. untung saja anak itu akhirnya tenang dan tidak menangis lagi. Sekarang bagaimana ia mencari mama anak ini?.

"Butuh bantuan?" ujar seseorang tiba tiba.

pemuda tampan dengan surai blonde . Yasmine tentu saja agak terkejut bukan hanya karena ketampanannya tapi juga sikap ramahnya.

"hmmm... Kurasa anak ini tersesat dan mencari Ibunya" jawab yasmine menerangkan.

"Aku akan membantumu" tawar pemuda itu sambil tersenyum.

Dengan wajah yang meyakinkan dari pemuda itu, tentu saja Yasmine percaya, tapi...ia tidak bisa menyerahkan anak kecil ini begitu saja kepada orang asing, yah walaupun ia juga orang asing.

"hmmm....tapi..."belum sempat yasmine menolak, seorang wanita tiba tiba datang sambil berlari kemudian memeluk anak itu, iya dia adalah mamanya.

"terima kasih" ujar ibu itu.

"sama - sama" Jawab pemuda itu yang tau yasmine tak bisa bahasa jepang.

Ibu itu membungkuk bertetima kasih kemudian menggandeng anaknya pergi.

"Ibu itu mengatakan terima kasih dan aku menjawabnya sama - sama" kata pemuda itu pada yasmine, menerjemahkan. Yasmine mengangguk paham.

"Kau gadis yang baik mau menolong orang asing yang bahkan tak kau kenal." Ujar pemuda itu memujinya.

"ohh.. Itu karena aku tak tega melihat anak kecil itu, dan umh namaku Anastasya Yasmine" Yasmine tersenyum sembari memperkenalkan diri, berharap ia dapat mengenal pemuda tampan itu.

"Nama yang bagus, oya aku harus pergi seseorang menungguku" ujar pemuda itu, dan benar saja seorang gadis dengan warna rambut sama terlihat memanggilnya.

"Tunggu! Siapa namamu?" Tanya Yasmine, mereka tampak lancar berbahasa inggris. Pemuda itu tersenyum, bibirnya mulai bergerak menggumamkan sesuatu, setelah mendengarnya mata Yasmine membelalak.

Pemuda itu kemudian tersenyum dan melangkah pergi.

"Sampai ketemu lagi" Kata pemuda itu sambil melambaikan tangan.

Yasmine tertegun sembari balas melambaikan tangan pada pemuda yang mulai hanya terlihat punggungnya saja, dan bahkan punggung itu telah menjauh dan menghilang dari pandangan.

pemuda yang ramah.

"Aku seperti mengenalnya" Gumam Yasmine.

Awan kelabu masih saja memuntahkan butiran butiran salju, sesembari sesekali bertiup angin Januari yang begitu membekukan. Entah kapan akan berakhir belum pasti.

Di sebuah padang yang dulunya ditumbuhi bunga Dandelion namun sekarang terselimut putihnya salju, seorang pemuda 18 tahunan tengah risau berdiri menamati pemandangan desa Yume yang elok, terangkum indah di balik padang rahasianya itu.

Terlihat ia hanya diam sembari sesekali mendesah.

Pemuda dengan mata biru bak langit, rambut sehitam pohon oak dan kulit seputih salju, pemuda dengan paras paling elok hingga tak ayal bila banyak gadis berebut ingin bersanding disisinya

Tapi bak hutan, Ia dingin, teduh, dan misterius

Ia slalu menyendiri, dan sikapnya dingin, itulah mengapa ia di juluki 'Samurai Api Beku' karena ia dari klan Matsu maka elemen kekuatannya ialah api tapi sikapnya sedingin es.

"nampaknya si jenius pedang tengah resah" ujar seorang paruh baya tiba tiba dari belakang,

"ohh..sensei, mengagetkan saja" gerutu pemuda itu, yang membuat gurunya mengernyit heran

"seorang samurai kaget?".

"sensei tau kan kalau hanya sensei yang dapat melakukan itu padaku" sela pemuda itu, senseinya tersenyum, kehebatan orang tua itu memang tak diragukan, ia dapat menghilangkan hawa keberadaannya.

Mereka memang dekat layaknya cucu dan kakek, sejak pemuda itu kecil ,memang guru Hamada yang merawatnya, semenjak ibunya meninggal dan ayahnya menjadi begitu pengecut lalu membuat alibi 'sibuk'.

"jadi siapa yang membuatmu jadi risau?" Ulang paruh baya itu lagi mengetahui Pemuda itu hanya diam.

"bukan siapa siapa, hanya saja waktu aku pergi sebentar ke pusat kota, tak sengaja aku berpapasan dengan..." pemuda itu terdiam.

"dengan?.."

"entahlah sensei aku tak yakin.hufffttt..andai saja 'si tua' itu tidak keras kepala,aku tidak akan disini" keluh pemuda itu kesal

"ayahmu mungkin punya cara sendiri untuk melindungimu nak..,apa kau menyesal sekarang?" Hamada menepuk pundak pemuda itu.

"tidak. Seperti musim dingin...meski memuakkan namun memang selayaknya terjadi, Maret atau April musim semi pasti akan mekar" jawabnya pasti dengan majas.

"bagaimana, bila musim semi enggan datang juga?" Tukas Hamada.

"tentu saja menunggunya" jawab pemuda itu sembari menatap sejurus kedepan.

"Matsuyama-senpai!!" panggil seseorang yang datang entah darimana.

"aku mencarimu ke seluruh penjuru padepokan, ternyata ada disini" lanjutnya dengan terengah engah.

"ada apa kau mencariku, Kanazawa?" tanya pemuda itu dingin.

"mereka berulah lagi, para gadis itu. Semenjak senpai memenangkan ujian mereka mengirimkan banyak sekali hadiah" Kanazawa bergeleng takjub sembari menerangkan.

"kalau begitu ambil saja semuanya, aku tak punya waktu untuk mengurusi hal semacam itu!" kata pemuda dingin yang nyatanya bernama Matsuyama.

"benarkah?wahh senpai baik sekali!" kanazawa kegirangan.

"salam guru, aku duluan, aku akan berlatih pedang" kata Matsuyama kemudian secepat kilat menghilang.

Kanazawa dan Hamada sensei hanya dapat geleng geleng, tak ada yang bisa mencegah pemuda itu, tidak siapapun.

*~*~*

Padepokan Sora no Yume telah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu, padepokan paling masyhur dengan sejuta keganjilannya, contoh nyatanya adalah orang yang ingin menimba ilmu disana haruslah pandai berbahasa melayu (indonesia) alasannya masih belum terkuak, Hamada sang tetua sekaligus sensei yang sangat di segani, pemimpin Sora No Yume saat ini lah yang memutuskan aturan itu

Memang disayangkan, tapi meski begitu banyak jebolan Sora No Yume yang sukses, seperti menjadi pasukan elit pemerintahan atau sekedar menjadi samurai bayaran.

Meski dengan sejuta kemisteriusan tapi padepokan yang terletak di desa Yume itu masihlah menjadi yang tersohor.

Kepulan asap teh, melintas didepan wajah seorang tua dengan guratan guratan umur, dan jenggot putih menjadi saksi bisu perjuangannya sampai saat ini. Di depannya duduk paruh baya yang mungkin berumur 40 an tengah menyeruput teh hijau nan hangat itu.

"Jadi...bagaimana perkembangan-nya?" sang paruh baya memulai cakap.

"hemm...masih sama, sejak dulu A+ untuk semua ujian dan masih belum ada tandingannya, bagaimana menurutmu Syimonoseki Matsu?" Terang orang tua itu, Hamada.

"apapun yang terjadi dia harus menjadi yang terkuat! Dia tak boleh keluar dari padepokan sebelum menjadi yang terkuat" kata syimonoseki bersikekeuh.

"apa kau tidak terlalu overprotektif?" Hamada mengeryit.

"over? Bahkan kami saja jarang bertemu!" Elak Syimonoseki

"yah...itu karena kau terlalu takut ada yang lebih kuat darinya lalu menyakitinya jadi kau bersikap semacam itu" Hamada menerangkan.

"dimana letak kesalahanku!? Aku hanya tak ingin dia bernasib sama seperti..." Paruh baya itu tiada kuasa lagi, sebelum ia terlihat lemah, ia memutuskan untuk berlalu.

Hamada jadi agak menyesal bercakap macam itu, hati ayah yang rapuh itu yang menjadi sebab ia jadi seperti ini, memang sangat memilukan ditinggal istri tercinta, namun Hamada tak ingin perbuatan Syimonoseki malah akan menjauhkannya dengan sang anak.

"Ayah tadi kesini?" ujar seorang pemuda tiba tiba.

"hem...ya, bahkan ia belum sempat bermain shogi denganku seperti janjinya" desah Hamada kesal.

"jadi...untuk apa dia kesini?" Tanya pemuda itu tampak penasaran.

"menanyakan kabarmu" jawab Hamada sembari tersenyum, memang murah senyum orang tua itu.

"ternyata dia masih mengingatku" gumam pemuda itu tak habis pikir.

"Tidak terlewat sedetikpun, Matsuyama" Timpal Hamada.

"hhhffffttt...aku tau" Matsuyama sedikit tersenyum.

"karena diluar sedang turun salju, kita tak bisa berlatih jadi.." tak selesai perkataan Hamada, Matsuyama sudah menyelanya, dia memang peka.

"baiklah ayo main shogi, yang kalah harus menraktir makan ramen di kedai Aino"

Hamada tersenyum mengiyakan.

Setelah lama memainkan taktik akhirnya permainan itu selesai dengan hasil Hamada sensei pemenangnya

Awalnya Hamada tak percaya bahwa dia akhirnya bisa menang dari si jenius itu

"baiklah ayo sensei ke kedai Aino" Matsuyama berdiri.

"jangan kaget bila tagihannya akan sepanjang gulungan jurus ninja"goda Hamada.

Matsuyama tak menanggapinya, segera menggeser pintu, tapi tiba tiba Kanazawa berdiri tepat di depannya hingga menyisakan jarak beberapa centi saja.

"ap..apa apaan kau ini!!" Agak jijik Matsuyama mendorongnya.

"mm..ma'af senpai tadi aku hampir jatuh"Kanazawa merasa bersalah

"salah siapa menguping"ujar matsuyama dingin

"aku hanya...mendengar kata ramen dan..."

"baiklah kau boleh ikut,aku yang traktir!"sela matsuyama

"wahhh...senpai tak seperti anggota klan Matsu yang lainnya kau memang baik"puji kanazawa, tapi sebaliknya Matsuyama benar benar benci apabila seseorang mengungkit masalah klan dengan nya, Matsuyama memberikan tatapan mautnya, Kanazawa yang ember itu langsung bungkam.

"jangan kau berbicara soal klan di depannya, jika masih sayang lehermu!" bisik hamada pada Kanazawa, kanazawa langsung memegangi lehernya sembari menelan ludah, mengangguk paham.

"mau kemana kalian?"tanya seseorang yang datang entah darimana

"kenapa memangnya Okayama? Kami mau makan di kedai Aino" jawab kanazawa sarkas

"hei! Kau slalu memanggilnya dengan sebutan senpai, lalu kenapa tidak denganku, umurku jauh lebih tua dari mu Kanazawa!!" ujar Okayama kesal

"lidahku akan kelu bila memanggilmu dengan embel embel itu!" jawab Kanazawa santai sembari melipat tangan kedada.

"Aishhhh...Okayama kalau mau ikut, ikut saja aku yang traktir, mumpung moodku lagi baik" ujar Matsuyama mulai kesal dengan tingkah kekanak kanakkan mereka.

Okayama menimang sejenak, Matsuyama adalah rivalnya sejak dulu, gengsilah bila ia terima tawarannya, tapi...cacing cacing diperutnya protes 'terima! Terima!' mungkin begitulah bunyi demo mereka.

"baiklah...tapi benar bukan? Kau yang bayar?"

Matsuyama tidak menjawab,tapi diam artinya iya kan?.

*~*~*

"if wishing while shooting star will come true,i want meet you.."

Yasmine mendesah berat, ia begitu lelah ,dengan gontai iapun duduk di sebuah halte bus. Mencari sebuah alamat di tempat yang asing memanglah sulit ,terlebih Ia jarang bepergian.

Sejenak ditatapnya langit yang akhirnya cerah, hingga dapat ia lihat samar samar kerlip bintang.

Andai ibunya masih hidup, ia suka menceritakan apapun yang ia alami pada ibunya,tapi sekarang ia tak punya siapa siapa, sekarang ia mulai takut

Akankah jalan yang ia pilih benar? Akankah keputusan mencari ayah yang selama ini hilang tanpa kabar sejak ia lahir itu benar?

Ahhh sudahlah yang penting ia sudah terlanjur pergi jauh jauh dari rumah, masalah apapun nanti ia harus berani menghadapi.

Tiba tiba ia teringat akan sesuatu, di buku diarynya tertulis lengkap tentang sosok yang ia lupa wajahnya, sosok yang begitu berarti

Namun sosok itu pergi begitu saja...sayang sekali.

Ia menatap lama langit malam yang bertabur lintang, tiba tiba sesuatu yang terang melintas terang di cakrawala, iapun tersenyum, senyum yang mahal baginya, yang membuktikan bahwa ia manusia bukan batu.

"aku harap kita dapat bertemu kembali...."gumamnya.

*~*~*

"If at the sky i can't meet you, let me to be shooting star"

Sebenarnya Matsuyama hanya berpura pura kalah agar ia bisa mentraktir gurunya yang sangat ia hormati itu, tidak pernah berpikir akan membawa pula dua makhluk yang menyebalkan itu,

Seperti biasa mereka meributkan hal hal sepele

Sedang Hamada semenjak tiba di kedai tak hentinya menikmati teh hangat manis kesukaanya.

"Matsuyama senpai!"panggil kanazawa sambil membolak balikkan daftar menu

"hemm" jawab Matsuyama singkat.

"menurutmu lebih enak mana? Ramen michi atau ichibu?" Tanya Kanazawa sambil ngiler .

"bukankah mereka sama sama ramen lalu apa masalahnya?" jawab matsuyama kesal.

"hmmm...sang koki memberikan nama pada mereka bukan tanpa sebabkan?" elak Kanazawa.

"kalau begitu pilih saja ramen michi" jawab matsuyama dingin.

"tunggu...pasti karena harganya murah?!" selidik kanazawa.

"tentu saja" jawab matsuyama singkat.

"baiklah.aku pesan ramen ichibu saja" kanazawa memutuskan.

Matsuyama terlihat amat kesal "hei! Lalu kenapa minta saran?! Huh!!" Tukas Matsuyama.

Kanazawa mengacungkan dua jari tanda damai, sambil nyengir, "gomen".

"dasar junior tak tau diri"celetuk okayama,

"apa kau bilang?!" Kanazawa yang tak terima menatap Okayama tajam.

Matsuyama memutar bola mata, ia muak. Akhirnya iapun memutuskan untuk enyah dari sana, membiarkan dua makhluk paling berisik bawaannya tadi bersama guru paling sabar yang hanya diam menamati murid berisiknya.

Matsuyama melangkah keluar kedai dengan malas.

"hei! Matsuyama kau mau kemana?!" tanya okayama

"nikmati saja makan malamnya, aku sudah membayar apa apa yang kalian pesan"jawabnya sambil lalu.

"serius? Kau bahkan belum pesan makanan satupun?! Hoi!!"meski begitu matsuyama sudah menghilang dari balik pintu .

"yasudah kalau begitu,dasar aneh" okayama hanya angkat bahu.

Matsuyama melompat keatas pohon lalu duduk santai disana, menamati cakrawala yang berkelip seperti lampu kedai Aino, tiba tiba melintas bintang jatuh, ia pun tersenyum.

Ia iri, andai ia bisa seperti bintang yang bisa jadi bintang jatuh bila ingin menemui seseorang.

Andai ia adalah bintang.

"jika di langit aku tak bisa menemukanmu, aku bisa jadi bintang jatuh"

To be continued...

avataravatar
Next chapter