2 Lelucon Iblis

Tanpa terasa adzan shubuh telah dikumandangkan oleh temanku, Hamdi. Dia masih termasuk familiku dari jalur ibu. Dia juga pernah menjadi teman kelasku sewaktu masih duduk di bangku SD.

Semua teman-taman kelas ku sewaktu SD melanjukan sekolahnya ke SMPN 1 Dasuk. Sebab, kami pernah melakukan suatu perjanjian taktertulis. Kami berjanji untuk melanjutkan kesekolah yang sama, bila kami lulus. Hanya akulah yang mengingkari perjanjian tersebut, mengingkari ikrar suci tunas bangsa melawan arus kehidupan dalam keterpaksaan.

Shalat shubuh berjamaah sudah siap dilaksanakan. Kami mulai meluruskan shaf shalat seperti pasukan perang yang dipimpin Rasulullah, dalam menumpas kemungkaran. Barisan pertama diisi oleh adik-adik kami yang masih belum hafal bacaan dalam shalat. Apabila mereka diletakkan dibarisan belakang, mereka seringkali guyon ketika shalat dilaksanakan.

Hal itu cukup mengganggu kekhusyuan guru dalam menunaikan kebutuhannya. Itulah trik guru dalam mendidik para santrinya dalam bertamu kepada Sang Pencipta.

Setelah iqomah aku lafalkan, shalatpun mulai dilaksanakan. Semua pikiran tentang dunia yang penuh dengan tipu daya dan muslihat sebisa mungkin coba kulupakan. Agar dalam perjalananku menuju sang Khalik tak ada tabir pembatas.

Tetapi aku masih belum mampu melakukan hal itu. Syetan-syetan tiada lelah menggodaku agar aku buyar dalam kekhusyuan. Dia tak pernah sudi dirinya masuk ke dalam neraka sendirian.

Andai saja manusia memiliki tekad dan pendirian seperti syetan, tetapi dalam suatu hal positif (lelucon iblis). Bukan tidak mungkin lagi jika di negeri Indonesiaku tercinta, tak kau lihat lagi adanya pengangguran.

Tapi sayang seribu sayang, yang diikuti oleh manusia di dunia bukanlah tekad dan pendiriannya. Melainkan bujukan dan rayuan yang menyesatkan ke dalam kemungkaran.

Dari saking manisnya rayuan syetan manusia tak dapat melihat apa yang telah dia minum. Racun pun menjadi madu baginya. Hingga kefasikan merajalela di negeriku. Surga yang diimpikan, namun pekerjaan neraka yang dilakukan.

Kesejahteraan bangsa dan kemajuan negara yang dicita citakan, tetapi kapitalisme yang ditumbuh suburkan. Retorika kesejahteraan. Rakyat dipermainkan.

Sekalipun adik-adik kami diletakkan dibaris pertama, tak jarang di antara mereka masih ada yang selalu bergurau dalam shalat. Saling main sikut kanan-kiri sesama temannya. Sudah menjadi kebiasaan mereka.

Mungkin salah satu diantara mereka sudah pernah mendengar sebuah asumsi anak-anak SMA yang mengatakan bahwa undang-undang diciptakan memang untuk dilanggar.

Padahal undang-undang itu dibuat karena sebelumnya sudah ada suatu hal terjadi, yang merugikan orang lain atau pelakunya. Sehinga karena takut suatu hal yang merugikan itu terjadi kembali, pihak yang memiliki jiwa bijak atau yang berkewajiban membuat undang-undang tersebut.

Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku mereka dari belakang, karena perilaku mereka pernah aku alami dalam sejarah hidupku, sebagai anak yang nakal.

Mengenang sejarah, seakan-akan hatiku tergelitik ingin kembali lagi kemasa lalu. Masa yang tak pernah disibukkan oleh duniawi. Bagiku tingkah laku mereka masih mending dibandingkan pada masaku. Temanku, Hamdi, bukan hanya bercanda dalam shalat, tetapi dia juga pernah berkencing waktu i'tidal shalat isya.

Saat aku bertanya, kenapa dia berkencing sewaktu dalam keadaan bershalat. Jawaban yang sangat jujur keluar dari mulutnya.

'Aku enggak kuat menahannya lagi Ries'.

Sekalipun jawabannya sangat simpel, bagiku tidak perlu lagi melontarkan pertanyaan yang kadua. menurutku jawabannya sudah rasional. Islam tidak pernah memberatkan pengikutnya. Perkataanya yang mengatakan, 'aku tidak kuat untuk menahannya' berarti tidak ada niatan dalam hatinya untuk melakukan hal tersebut, dan dia sudah berusaha untuk menahannya.

Masalah yang menimpa temanku Hamdi. Penyelesayannya serba salah. Kalau dia memilih membatalkan sholat, dan berlari ke kamar mandi. Menurutku dia akan dima'fu. Tapi dilain sisi lain membatalkan sholat adalah dosa.

Telah banyak dosa-dosa yang kami buat tanpa kami sadari, karena yang di kedepankan oleh kami hanyalah sebuah ego. Ego pengesahan dari sesama.

Ya… Rob ampunilah dosa-dosaku, dosa ibu Bapakku, dan dosa teman-temanku. Baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja oleh kami. Baik yang disembunyikan maupun yang dinyatakan. Selamatkanlah hambamu ini Ya Rob. Dari penyakit hati, kehinaan serta kebodohan. Aamiin.

Setelah shalat shubuh berjamaah, kami berebut Alqur'an agar dapat mengaji pada urutan pertama. Jika mengaji terakhir atau nomor lima dari belakang saja, sudah dapat dipastikan mereka terlabat masuk sekolah.

Untuk mengantisipasi keterlambatan tersebut, teman-teman secara rutin setiap selesai shalat shubuh berjama'ah. Saling berdesakan mengambil Alqur'annya masing-masing. Hal ini dijadikan medan perlombaan bagi kami.

Alqur'an kami sering kali tertukar karena kami tak pernah meletakkan dengan rapi. Berbeda dengan Al-Qur'an santri putri yang tersusun rapi keatas di sebelah kanan membar imam. Sekalipun mereka berebut dalam mengambilnya, Alqur'an mereka tak pernah tertukar.

Masalah kerapian, kami kalah kepada santri putri. Waktu duduk di bangku SD-pun, selalu dimenangkan oleh kaum hawa untuk urusan kerapian. Kami sebagai kaum adam, nasehat soal kerapian menjadi makanan favorit kami. Masuk telinga kanan dan keluar ketelinga kiri.

Semua nasehat dari guru bagaikan air yang hinggap di daun talas. Bagi kami berebut Alqur'an lebih baik dari pada berebut BLT dan RASKIN yang terkadang salah penyaluran.

Akupun ikut berdesak-desakan mengambil Alqur'anku, meskipun aku putus sekolah. Hal ini aku lakukan agar diriku tidak terseret keirian dalam hati kepada mereka.

Meskipun aku mendapatkan Al-qur'an ku lebih dulu. Aku tidak pernah mengambil urutan pertama dalam mengaji, karena aku tahu diri. Temen-temanku lebih membutuhkan daripada diriku.

Maka aku lebih memilih membantu adik-adik yang tak dapat membaca Al-qar'an tanpa dibimbing. Kecuali Raji guru menyuruh mengaji lebih dulu. Sebab cucian yang sangat banyak atau disawah sedang ada orang bekerja. Hal itu mengharuskan diriku memasak cukup banyak pulah.

Setelah usai mengaji teman-teman turun dari langgar satu persatu, untuk bersih-bersih seputar lingkungan rumah dan langgar kami. Baru mereka bisa pulang kerumahnya masing-masing, hal ini sudah menjadi tradisi di desaku.

'Setiap santri yang belajar mengaji harus menginap dirumah guru ngajinya, agar ilmu yang dipelajari waktu malam tidak dicuri syetan'. Kata sesepuh-sesepuh kampongku.

Ketika pagi kami di waijibkan bersih-bersih sebelum pulang. Dengan niatan, kami membersihkan hati yang kotor. Agar kami mudah menyerap semua ilmu yang diajarkan pada kami, dan berguna bagi orang lain di dunia dan bagi diriku di kehidupan yang sesungguhnya hidup.

Aku sendiri setelah selesai mengaji, aku bergegas kekamar mandi untuk mencuci rasokan Raji guru dan putranya. Baru setelah selesai itu aku ke dapur untuk membantu Sundianah. Pangladhin guruku yang berjenis kelamin perempuan untuk memasak.

Pulang kerumah adalah pantangan bagi diriku. Menurut hukum adat, aku telah diberikan kepada guruku oleh kedua orang tua. Secara otomatis aku menjadi hak milik guruku. Kalau aku melanggar hal ini maka aku akan di marahi habis-habisan oleh Raji guru. Apakah seperti ini yang dikatakan bangsa yang merdeka?...

avataravatar
Next chapter