2 Zahra

Matahari yang menggantung tepat ditengah awan biru yang melintang, hawa panas siang yang menggulung penjuru kota Surabaya, juga para jama'ah pengajian rutin yang diadakan setiap pekan-nya berhamburan keluar memenuhi halaman masjid Akbar Surabaya, kajian akbar yang hanya dihadiri akhwat muda yang ngebet pengen hijrah atau apalah itu kini telah usai.

"Zahra.... tunggu."

Suara yang tak asing itu melambung memanggil namaku, Juha namanya. dia selalu ada saat aku mengisi pengajian seperti saat ini ataupun saat menjadi pembicara dalam sebuah acara. Najuha Azzahrah.

Najwa Azzahra, itulah namaku. kemiripan terletak pada nama kami, tapi bukan pada kedudukan, karakter maupun ilmu yang kami miliki. Juha sering memanggilku sahabat atau apalah itu tapi aku tak pernah menganggapnya demikian. dia hanyalah sekedar teman biasa bagiku, atau lebih tepatnya adalah orang yang diperkenalkan oleh keadaan secara tidak sengaja kepadaku, tak ada yang istimewa dengan hubungan kami. Setidaknya itu lah yang ada di mataku. Namun tidak dengan Juha dia menganggapnya lebih.

Aku menghentikan langkahku, Juha berlari mengejar menipiskan jarak diantara kami. mataku sedikir melirik kearahnya.

"Pulang bareng yuk."

"Maaf Juha, aku dijemput sama paman."

Aku kembali berjalan, tak peduli raut kekecewaan yang terpancar di wajah Juha. lagipula secara pribadi aku tidak ingin dia terlalu tertaut dengan segala aspek dalam hidupku. Tapi apalah daya, sebelum aku mengisi ceramah ataupun menjadi pembicara, ratusan bahkan ribuan brosur tersebar dalam media cetak maupun elektronik. Aku adalah pembicara itu adalah topeng kebohongan terbesar yang aku kenakan.

"Yahhh... padahal kita kan udah lama nggak ketemu."

"Mungkin lain kali Allah akan mempertemukan kita dengan garis takdir yang berbeda."

"Aamiiin. Takdir Allah memang indah Zah, nggak perlu nunggu lama aku ketemu kamu, tiga hari lagi kamu akan mengisi kajian Akhwat di masjid Agung kan? Insyaallah aku akan datang."

Aku hanya tersenyum sebagai formalitas saja, fisikku menerima tapi batinku menolak, mungkin mulai sekarang aku harus merapatkan topengku agar tidak terlepas didepan Juha.

Mobil sport warna merah darah berhenti tepat didepan halaman Masjid, seseorang telah keluar dari sana.

"Sudah dulu ya Juha, itu pamanku."

"Oh iya, hati-hati Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, kamu juga hati-hati."

"Itu bener paman kamu Zah?"

"Iya, kenapa?"

"Nggak apa-apa, tapi kok rasanya terlalu muda untuk disebut sebagai paman."

Aku sedikit tersenyum dan meninggalkan Juha tanpa sepatah kata lagi, aku menegaskan pada diriku selali lagi untuk kesekian kalinya dan kesekian kalinya. bahwa aku harus merapatkan topengku agar tidak terlepas didepan Juha, lebih tepatnya DUNIA.

Aku tidak tahu sekarang atau nanti, apakah topengku benar-benar akan tersingkap? Atau terlepas?

Aku hanya meniti jalan takdir sebagai sebuah mawar hitam dibalik kabut putih yang menipu musafir yang bersimpangan.

avataravatar
Next chapter