4 Tanpa Beban

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumussalam, loh pulang sama siapa Zah?"

"Teman Mi."

"Kok nggak diajak mampir sih, kasian kan kalau rumah-nya jauh."

"Dia buru-biru Mi, oh ya Abi mana?"

"Abi lagi ada urusan di kampus, udah ah kamu cepetan mandi sana, setelah itu baru makan."

Aku meniti anak tangga menuju kamar, badanku pegal-pegal, mungkin mandi adalah cara untuk membuatku lebih rileks. Aku lelah berbohong, aku lelah berdusta, aku lelah khianat, aku lelah menjadi munafik, tapi rasanya begitu manis, sangat manis mengalahkan madu serta mengalahkan gula.

Aku sedikit tersenyum didepan cermin, memandangku disana dengan meyentuh pipiku yang mungkin waktu itu sudah memerah seperti kepiting rebus. Ciuman Asyraf begitu menggoda dia terus menarik ku hingga aku benar-benar terjatuh begitu dalam pada lubang dimana kesalahan begitu terasa manis, nikmat dan memikat.

Aroma tubuh-nya masih tercium samar tapi pekat menusuk rongga hidungku. aku segera masuk kedalam kamar mandi sebelum pikiranku menjalar liar.

Denting sendok yang bertemu piring menjadi alunan musik yang menemani sunyi. Aku tidak terlalu banyak bicara pada Ummi, lebih tepatnya aku memilih diam.

"Tadi lancar zah?"

Suara Ummi memecah keheningan, aku mendongak memandang iris matanya yang sedikit memudar karena faktor usia, lalu tersenyum kearah-nya.

"Alhamdulillah lancar Mi."

"Gimana dapat nggak?"

"Dapat apa?"

"Ya Allah Zahrah, ya dapat jodoh lah, siapa tahu tadi kamu disana diam-diam naksir sama orang."

"Astagfirullah Ummi, pengajian tadi cuma ada perempuan saja Mi, lagi pula mana ada sekali ketemu sama orang langsung srek gitu?"

"Kalau memang jodoh ya bisa jadi."

'Sudah dapat dari dulu, bukan jodoh tapi pacar' ucapan itu hanya mampu tercekat tanpa bisa terucap. Yah kalau aku nekat bilang gitu sama Ummi mungkin besok Ummi sudah dirumah sakit karena serangan jantung, karena aku masih sayang Ummi aku memilih untuk diam. Bukankah diam adalah pilihan terbaik? tanpa harus berkata dengan rangkaian kata penuh kebohongan dan kedustaan. Tapi aku tahu diamku juga sama, sama-sama menghasilkan dosa, karena diamku adalah menyembunyikan kesalahan.

"Zahrah belum siap nikah Mi."

"Terus kapan, nunggu Ummi sama Abi nggak ada?"

"Hei." sergahku cepat.

"Yah do'a-kan saja Mi."

"Ummi selalu do'a-kan yang terbaik buat kamu Zahrah."

Jika aku mendapat yang terbaik mungkin itu adalah keberuntungan yang indah bukan? Karena sejatinya akulah yang terburuk. Dimata mereka aku memang terbaik diantara yang paling baik. Walaupum dimataku selama ini yang terbaik hanyalah Asyraf seorang.

Aku membantu Ummi membereskan ruang makan, setelah itu aku kembali beranjak menuju kamar. Kurebahkan punggungku yang sudah lelah diatas kasur yang empuk. Tanganku sudah berkutat dengan benda pipih itu, membuka beberapa sosial media menjelajah didalam-nya. Tiga hari lagi aku akan mengisi ceramah di masjid Agung Surabaya, seperti biasa halaman Instagram sudah ramai dengan itu. Jariku menekan kolom komentar banyak sekali yang menulis ucapan tidak sabar atau sejenisnya. Mataku tertuju pada sebuah komentar yang membuat ribuan mata terhenti sejenak, sebuah desas-desus dari netizen.

"Tadi lihat kak Zahrah dijemput sama Kak Asyraf. Ada hibungan apa mereka?"

Aku tidak memperdulikan komentar tersebut, dan yang menanggapinya. Kututup kembali handphone-ku dan tertidur pulas tanpa beban. Tanpa tahu apa yang akan terjadi entah itu sebuah masalah atau petaka, saat ini aku hanya ingin tidur, melupakan sejenak tentang duniaku.

avataravatar
Next chapter