5 Asal Tidak Munafik

Mata nya tertutup, akan tetapi telinga nya merekam dengan baik, otak nya mengoreksi dengan cermat, sementara mulutku terus melantunkan ayat-ayat suci. Waktu itu matahari hampir menggantung ditengah, karena memang jam sudah menujukkan angka setengah sebelas. Sementara setiap akhir pekan saat libur sekolah Abi akan meminta setoran ayat Al-Qur'an yang kuhafalkan selama satu pekan penuh entah berapa pun ayatnya. Umurku masih sekitar tiga belas tahun waktu itu, dimana aku masih duduk di bangku SMP kelas dua tepatnya.

"Alaa innahum yatsnuuna shuduurohum liyastakhfuu minhu alaa hiina yastaghsyuuna tsiyaabahum ya'lamu maa yusirruuna wa maa yu'linuun innahuu 'aliimumbidzaatisshuduur. Shodaqollahul adzim."

"Barokallah Zahrah, hari ini kau sudah menyelesaikan juz ke dua belas mu."

Aku mengulas senyum, memandang Abi dengan hangat. Aku merasa bangga dan juga sangat bersyukur bisa melangkah sejauh ini dalam menghafalkan Al-Qur'an.

"Kau tahu Zahrah, arti dari ayat yang kamu baca?"

Aku menggeleng pelan pertanda tak paham.

"Ingatlah, sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) memalingkan dada untuk menyembunyikan diri dari dia (Muhammad). Ingatlah, ketika mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka nyatakan, sungguh, Allah Maha Mengetahui (segala) isi hati. [Q.S Hud : 5]"

"Apa yang mau Abi sampaikan?"

"Jangan jadi orang munafik Zah, Allah tahu apa yang kamu sembunyikan."

Aku mengernyit-kan dahi, aku mengerti arti munafik, tapi apa hubungan-nya denganku?

"Maksud Abi?"

"Kamu tahu hadist ciri-ciri orang munafik?"

Aku mengangguk

"Zah, semakin kuat iman seseorang, maka ujian dan cobaan nya akan semakin meningkat, dan ujian terbesar adalah untuk menjadi seorang munafik, mereka berdusta dengan apa yang mereka katakan dan kerjakan, semuanya bertolak belakang, Zah nggak semua orang hafal Al-Qur'an masuk surga, nggak semua orang ahli agama masuk surga, karena sekali mereka terjerumus dalam kemunafikan maka yang mula nya surga akan membalik seratus delapan puluh derajat menjadi neraka. Lalu bukankah apa yang mereka kerjakan di dunia sia-sia? Abi nggak mau kamu jadi orang munafik zah, begitu pula dengan Abi sendiri, Abi nggak mau jadi orang munafik. Ini permintaan besar Abi sama kamu Zah, jangan munafik."

Aku melihat Abi menepis air mata yang hampir jatuh. Aku juga merenung, sejak hari itu aku selalu berjanji pada Abi, berjanji pada diri sendiri untuk tidak menjadi orang munafik.

Adzan ashar membangunkan ku dengan lembut, sebenarnya aku tidak tidur dari tadi, aku hanya memejamkan mata untuk menghapus lelah, dan merenung sejenak, entah kenapa kenangan itu muncul di pikiranku.

Aku berjalan untuk mengambil air wudhu dan segera menghadap Nya.

Saat keningku bertemu bumi, disaat sujud terakhirku bisikan samar menggema memenuhi gendang telingaku. 'Jangan munafik Zah.' Suara itu pelan tapi memekak kan telinga. Suara itu lembut tapi begitu menyayat relung hati. Perlahan air mata itu jatuh membasuh sajadah, aku memejamkan mata lalu bangkit dari sujud dengan pelupuk mata yang basah.

"Maaf Abi, Zahra ingkar sama Abi, Zahrah Ingkar sama diri Zahrah sendiri, bahkan Zahrah sudah mengingkari Allah terlalu jauh. Maaf."

Aku hanya mampu memekik pelan penyesalan ku. menangisi diriku sendiri yang tak mampu berhenti untuk dusta. Aku tahu aku harus berhenti, tapi tidak bisa.

Dering handphone memecah isak tangisku dalam sunyi. Aku lalu meraih handphone ku yang tergeletak manis diatas kasur, tergantung nama Juha disana. Aku menggeser panel handphone dan mengangkatnya.

"Halo Assalamualaikum Juha?"

"Waalaikumussalam Zahrah."

"Ada apa ya?"

"Kamu kayaknya santai banget ya sama rumor di Instagram tadi siang. Kamu tahu Zah kalau dibiarkan itu bakal jadi masalah besar loh, bahkan waktu itu sudah banyak yang ngehujat kamu, bilang kamu munafik lah, dusta lah atau apa pun itu."

"Lalu aku harus bagaimana?"

Lalu aku harus bagaimana? yang mereka katakan itu benar.

"Alahamdulillah, Asyraf tadi udah klarifikasi katanya kamu itu taman dekat adik perempuan-nya dan waktu jemput kamu didalam mobil nggak cuma ada kamu sama Asyfaf tapi ada adiknya juga."

"Hmmm... Alhamdulillah"

"Kenapa Zah? Kenapa kamu bohong waktu itu? Kamu bilang kalau Asyraf itu pamanmu."

"Maaf Juha, aku sebenarnya nggak mau kamu salah faham cuma itu saja."

Air mataku terus meluap, meratapi diriku yang sangat menyedihkan ini. Bahkan aku ingin betanya pada diri sendiri untuk apa aku menangis? Apa yang aku capai jika menangis? tak apa kau menangis dan kemudian berubah. Tapi kau menangisi dirimu yang tak bisa berubah.

"Kamu nangis Zah? Masalahnya sekarang sudah kelar kok, kamu jangan nangis ya. Mungkin ini ujian buat kamu. Kamu yang sabar ya!"

"Maaf, aku cuma menangisi diriku sendiri Juha. Juha besok lusa saat aku mengisi pengajian di masjid Agung kamu datang kan?"

"InsyaAllah aku datang Zah kenapa?"

"Setelah selesai, aku mau jalan-jalan sama kamu. Kamu mau?"

"Pasti mau Zah."

"Terima kasih. Udah gitu aja. Assalamualaikum."

"Sama-sama Waalaikumussalam."

Aku yang tak pernah menganggap hubungan kami sebagai teman, sekarang memintanya melakukan hal layaknya teman. Mungkin ilmu kami berbeda, akan tetapi Juha jauh lebih baik dari pada aku.

Aku menggeser layar kaca handphone, mencari nama Asyraf. Segera aku menghubungkan sambungan telepon, setelah terhubung

"Assalamualaikum, Raf, besok aku mau ketemu kamu. Bisa?"

"Bisa, Kenapa?"

"Nggak, cuma mau nenangin diri. Lihat kamu mataku jadi adem."

"Hahaha... Kamu lucu Zah, kita baru ketemu tadi pagi sekarang kamu udah kangen? Apa ciumanku nggak cukup buat nenangin kamu sementara?"

"Apanya yang nenangin, aku malah kepikiran tahu."

"Mau yang lebih?"

"Apaan sih, Udah ah."

"Nggak usah malu-malu kalau minta lebih aku kasih kok."

"Berisik, besok ketemu dimana?"

"Rumah Aku kosong."

"Oke, besok jam tujuh aku kesana Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, sayang."

Pipiku kembali memerah, kenapa dia semanis itu sih kalau ngomong jadi diabetes kan.

Cahaya matahari menerobos tanpa izin memasuki sela jendela kamarku. Udara pagi ini sedikit hangat. Aku masih siap-siap untuk pergi ke rumah Asyraf, masih ada setengah jam sebelum jam tujuh pagi. Gamis berwarna hijau army dan juga kerudung segi empat dengan warna yang senada sudah melekat sempurna di tubuhku. Tinggal sentuhan terakhir aku mengoleskan lip balm cerry di bibirku.

Aku segera turun untuk sarapan sebentar dengan Abi sama Ummi, mereka berdua sudah menunggu di ruang makan.

"MasyaAllah putri Abi cantik sekali, mau kemana Zah."

"Mau kerumah teman Bi."

Aku segera mencomot roti tawar dengan selai coklat itu dengan cepat lalu segera meneguk air.

"Udah dulu ya Bi, Mi, Zahrah berangkat dulu, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam hati-hati ya."

ucapan Ummi menghilang pelan setelah aku menutup pintu rumah. Kutapak kaki ini diatas jalan untuk menuju rumah Asyraf. Ku kibaskan dengan bangga jubahku yang menjuntai untuk menjemput dosa yang baru.

avataravatar
Next chapter