7 part 6

Zavier kembali ke mobilnya. Ia menyimpan senjatanya dan pergi meninggalkan gedung. Ia tidak ingin terlibat dengan para polisi ataupun petugas negara lainnya.

Bryssa menatap Zavier yang menatap lurus ke depan.

"Tidak usah berpikiran macam-macam. Aku masih binatang itu, dan baru saja memakan binatang pemakan lainnya."

Bryssa mendengus, memangnya apa yang dia pikirkan? Dia hanya melihat Zavier itu saja.

Sampai di kediaman Zavier, Bryssa keluar bersama dengan Zavier. Wajah Zavier terlihat pucat dan Bryssa menyadarinya.

"Apa yang terjadi padamu?" Bryssa mendekati Zavier.

Zavier menggelengkan kepalanya, tapi detik berikutnya ia sudah ambruk. Jika saja Bryssa tak sigap menangkapnya maka sudah pasti Zavier akan berakhir di lantai.

Orang-orang Zavier yang berjaga di dekat sana segera membantu Bryssa. Dua orang Zavier membawa Zavier ke ruang kesehatan dalam kediaman Zavier.

"Apa yang terjadi, Zavier?" Dokter cantik yang berjaga di dalam ruangan itu terlihat terkejut melihat dua orang membawa Zavier.

Zavier masih sadar, dia hanya lemah saja, "Aku tidak apa-apa, Gea." Dengan perlahan Zavier berbaring dibantu oleh Gea - si dokter cantik.

"Tidak apa-apa bagaimana? Sudah aku katakan untuk tidak banyak bergerak. Apa saja yang kau lakukan saat aku tidak ada disini? Benar-benar tidak bisa dilepaskan."

"Aku mulai dari mana?" Zavier tersenyum lemah pada Gea, "Tadi aku bercinta, setelah bercinta aku pergi ke dokter untuk membuat seseorang agar tak hamil, dan setelahnya terjadi sesuatu, aku menembak seorang teroris. Ah, sebenarnya yang membuatnya parah seperti ini adalah tadi aku lompat dari gedung. Itu pasti penyebabnya."

"Kau sakit tapi kau mempedulikan orang lain. Sialan! Kenapa aku tidak bisa marah padamu!" Gea memaki kesal. "Aku benci alasanmu tadi, Zavier." Gea membuka perban yang menutupi perut Zavier. "Hindari melakukan sesuatu yang berat. Saat kau bercinta, wanitamu tidak boleh menekan perutmu. Luka ini terbuka sebelum kau menolong orang."

"Benar. Kau memang tidak bisa dibohongi. Itulah kenapa aku jujur padamu."

"Diamlah, kau membuatku frustasi saja." Gea menangani luka Zavier. Beberapa menit kemudian Gea selesai menangani luka Zavier.

"Kau mau melakukan apa, Gea?"

"Menyuntikan obat penenang."

"Jangan. Aku tidak akan nakal. Jangan buat aku tidak sadar."

"Siapa yang bisa melawanmu? Kau mau disini atau ke kamarmu?"

"Ke kamar saja." Zavier turun dari ranjang, "Terimakasih dokter cantik." Zavier menggoda Gea. "Kalau saja kau bukan kakak sepupuku mungkin aku sudah menjadikanmu istriku."

Gea memutar bola matanya, "Aku tidak mau menjadi istri pria yang tidak memikirkan dirinya sendiri."

Zavier tertawa pelan agar tak membuat perutnya sakit lagi, "Maafkan hatiku yang lemah ini, Gea."

"Pergilah! Aku akan menyuntikmu mati jika kau tidak pergi sekarang."

"Aw, kejam."

Gea menggelengkan kepalanya. Zavier memang suka bercanda seperti ini, tapi Gea tahu tawa dan senyum yang Zavier tunjukan padanya hanyalah palsu. Tawa yang sebenarnya hanya satu orang yang bisa melakukannya, satu orang yang tak boleh disebutkan lagi namanya.

Gea keluar dari ruang kesehatan, "Kebetulan sekali." Dia bergumam ketika melihat Bryssa melangkah ke arahnya.

"Bryssa?"

Bryssa mengerutkan keningnya, "Siapa kau?" Dia tak kenal dengan orang yang mengenalnya.

"Aku, Gea Velasco, kakak sepupu Zavier sekaligus dokter pribadinya. Ada yang perlu aku bicarakan padamu."

Ah, jadi sepupu Zavier. "Bagaimana keadaan Zavier?"

"Kau peduli padanya?"

"Aku hanya bertanya."

"Dia sudah kembali ke kamarnya. Kau menekan lukanya dengan sengaja, kan, tadi?"

Dia ketahuan.

"Ya."

Gea tersenyum, dia suka kejujuran Bryssa, "Tolong jangan lakukan lagi. Zavier tidak akan bersuara jika dia kesakitan. Dia tidak peduli dengan dirinya sendiri."

"Kau hanya ingin mengatakan itu?"

"Dari yang aku lihat kau membenci Zavier. Bisa aku tahu alasannya?"

"Karena dia binatang."

"Binatang tak akan punya hati, Bryssa. Tapi dia punya hati, dia pergi bersamamu, kan? Kau pasti tahu apa yang dia lakukan tadi. Dia lebih peduli dengan nyawa orang lain daripada tubuhnya. Dia sakit tapi dia memaksa bergerak hingga luka di perutnya terbuka. Jika dia benar-benar binatang seperti yang kau katakan dia tidak akan membantu orang lain."

Bryssa diam. Sedikit banyak, tidak, memang kata-kata Gea cukup benar adanya.

"Aku yakin Zavier memperlakukanmu dengan buruk hingga kau membencinya tapi sungguh, Zavier adalah pria yang baik. Dia bukan pribadi yang bisa kau benci ketika kau mengenalnya lebih dalam."

Dan Bryssa tak mau mengenal Zavier lebih dalam. Dia akan membunuh Zavier setelah misi diselesaikan.

"Tolong jaga dia, setidaknya hingga dia sembuh. Jangan menyakitinya karena dia pasti tak akan membalasmu meski kau menembaknya."

Bryssa diam. Dia seperti sedang tersindir. Jangan-jangan Gea ini cenayang hingga kata-katanya tepat seperti ini.

"Zavier tidak butuh penjagaan wanita. Dia duluan yang menyakitiku, aku hanya membalasnya."

"Ada alasan kenapa dia kasar padamu."

"Karena dia benci wanita. Karena ibunya sudah membuangnya."

"Kau benar tapi masih ada alasan lain.." Gea nampak ragu untuk mengatakannya, "Sudahlah, tak peduli seberapapun kau membencinya Zavier tak akan melepaskanmu. Dia tak akan pernah membiarkan kau pergi dari hidupnya, jadi bersikap baiklah jika kau tidak ingin tersakiti."

"Cih, kalian memang sedarah." Bryssa membalik tubuhnya lalu pergi.

Gea menarik nafasnya lalu membuangnya, "Itu karena dia takut kehilanganmu, Bryssa. Dia takut kejadian di masalalu terulang kembali."

**

"Apa yang kau lakukan disini?" Bryssa terkejut ketika melihat Zavier sudah berbaring di ranjangnya.

"Ini rumahku, aku bebas berada dimanapun aku mau."

Benar, Bryssa lupa.

"Keluarlah, aku mau ganti pakaian."

"Jangan kekanakan, Bryssa. Aku sudah melihat semua yang ada di tubuhmu. Jangan malu padaku."

"Aku memang milikmu, tapi beri aku sedikit privasi."

Zavier berdiri dari berbaringnya, melangkah mendekati Bryssa dan menyentak handuk Bryssa hingga terlepas. Yang seperti ini harus dijaga? Dipatahkan tangannya iya.

"Tak ada privasi untukmu." Zavier memeluk tubuh Bryssa dari belakang. Tangannya menyentuh perlahan tubuh Bryssa. Dari perut merambat naik ke dada Bryssa, memijat dua gundukan kenyal itu hingga membuat Bryssa mengerang.

Bryssa kehilangan kendali lagi. Sentuhan Zavier membuat akal sehatnya meredup berganti dengan gairah. Sejak kapan Bryssa jadi penyuka seks seperti ini? Sejak kapan dia memuja sentuhan Zavier dan sejak kapan dia terbiasa akan sentuhan itu? Tidak tahu, tak ada jawaban untuk pertanyaan itu.

Lidah Zavier bergerak menyusuri leher jenjang Bryssa, menyesapnya pelan lalu menggigitinya hingga membuat Bryssa menjerit kecil.

"Suka sentuhanku, hm?" Tangan Zavier bergerak ke daerah sensitif Bryssa.

"K-kau masih sakit. Lukamu akan terbuka jika kau melanjutkannya."

"Kau tidak menginginkannya?" Jari itu sudah masuk, maju mundur menggoda milik Bryssa.

Bryssa menginginkannya, dia sangat menginginkannya.

"Dia basah." Bisik Zavier seduktif.

Mata Bryssa terpejam, ia menyandarkan punggungnya di dada bidang Zavier.

"Aku menginginkannya."

Zavier tersenyum, "Kau akan mendapatkannya. Tapi,," Zavier menjeda kalimatnya, "Puaskan aku terlebih dahulu, baru aku akan memuaskanmu."

Bryssa menggerakan kepalanya setuju.

"Jadilah wanita yang aktif, Bryssa. Aku akan memberikan kepuasan lebih untukmu jika aku puas dengan sentuhanmu."

Bryssa membalik tubuhnya, ia melumat bibir Zavier. Ciuman, Bryssa sangat mahir jika hanya tentang ciuman. Bibirnya sudah merasakan banyak bibir dengan gaya berciuman yang bervariasi. Jemari tangannya menyusup ke balik kaos yang Zavier pakai. Bergerak meraba dada Zavier, memainkan nipple Zavier dengan menggoda.

Ciuman tersambung kembali setelah kaos yang Zavier pakai teronggok di lantai, tangan Bryssa merayap ke tempat lain. Menyentuh kejantanan Zavier yang sudah berdiri tegak. Masih dengan berciuman, Bryssa menuntun langkah Zavier ke sofa. Setelahnya ia melepas ciuman dan mendorong Zavier duduk di sofa. Lidahnya bergerak menyusuri leher, dada dan berhenti di niplle Zavier. Menghisap lalu menggigitnya hingga membuat Zavier mengerang nikmat.

Ia berjongkok di depan Zavier. Lidahnya kembali bergerak, berhenti di depan kejantanan Zavier,. Setelahnya ia menjulurkan lidahnya, menyentuh pucuk kejantanan itu lalu merambat ke batangnya.

Mata Zavier terpejam menikmati sentuhan Bryssa. "Fuck, Bryssa. Mulutmu, oh God." Zavier mengerang.

Bryssa melahap kejantanan Zavier. Maju mundur dengan giginya yang tak menyentuh kejantanan Zavier sama sekali. Sesekali Bryssa melepaskannya, memainkan puncak kejantanan Zavier dengan lidahnya lalu kembali melahap kejantanan perkasa Zavier seperti melahap ice cream.

"Ah, Bryssa." Zavier mengerang nikmat bersamaan dengan cairannya yang sudah memenuhi mulut Bryssa.

Sisa sperma Zavier masih tersisa di sudut bibir Bryssa, tangan Zavier terulur mengelus bibir Bryssa. Membersihkan sisa cairannya yang membuat bibir Bryssa terlihat basah.

"Bagaimana rasaku?"

"Tidak buruk." Bryssa membasahi bibirnya dengan lidah.

Zavier tertawa kecil, "Kau sangat cantik jika kau menurut seperti ini, Bryssa."

Tak tahu harus senang atau terhina, yang jelas pipi Bryssa merona karena kalimat Zavier. Dia sering mendengar orang mengatakan dia cantik tapi rasanya kali ini aneh. Seperti sesuatu bergerak dalam perutnya.

Ah, efek cairan yang aku telan. Bryssa berpikir begitu.

"Siap ke menu utamanya, Bryssa?"

"Aku tak akan memuaskanmu jika aku tidak siap untuk menu utamanya."

Zavier kali ini tertawa lebih kencang. Bryssa terpanah akan wajah malaikat Zavier saat ini.

Dia bukan pribadi yang bisa kau benci ketika kau mengenalnya lebih dalam. Kata-kata Gea terngiang di kepalanya. Apa iya bisa begitu? Tapi tawa Zavier barusan. Dia suka dan dia tidak munafik untuk mengakuinya.

tbc

avataravatar
Next chapter