2 part 1

Pria itu – Zavier – meletakan kembali ponselnya ketika ia selesai menghubungi sahabatnya, Oriel.

"Sayang.." Suara jalang itu terdengar merayu Zavier. Wanita yang tadi pergi ke kamar mandi telah kembali dengan tubuh telanjang yang harus Zavier akui cukup indah.

Zavier terlalu sering bermain wanita, setidaknya itu sejak 5 tahun lalu. Ia bisa menilai keindahan tubuh seorang wanita dan tubuh wanita ini ia beri nilai 7 dari 10. Cukup layak untuk menemani seorang Zavier di atas ranjang.

Tangan Zavier terulur mengajak wanita itu untuk naik ke atas ranjang.

Dengan rayuan nan manja, wanita itu meraih uluran tangan Zavier. Ia naik ke atas ranjang dengan wajah sundalnya yang menurut Zavier sudah tidak asli lagi. Wanita ini pasti melakukan operasi plastik. Karya seni yang indah bernama kecantikan sudah dinodai dengan alat-alat canggih kedokteran.

Zavier membaringkan wanita itu ke ranjang. Ia meletakan jari telunjuknya di dahi wanita itu, turun ke batang hidung dan terus turun membelah bibir mungil menggoda yang tadi sempat ia rasakan. Jarinya semakin bergerak turun, melewati dua gundukan kenyal wanita itu dan berhenti di tengah perut wanita itu.

Zavier tersenyum, sebuah senyuman yang begitu menawan. Sebuah senyuman yang bisa membius setiap pasang mata wanita.

Tangan Zavier kembali ke wajah wanita jalangnya, mengelus pipi pualam itu dengan perlahan. Tangan kirinya bergerak ke tempat lain. Ia meraih bantal, dengan cepat ia membekap wajah si wanita tadi. Tangan kanannya mengambil handgun yang ia sembunyikan di bawah bantal lainnya.

Dorr.. Satu tembakan keras terdengar. Darah mengalir membasahi ranjang tersebut. Zavier turun dari ranjang, ia kembali memakai kaosnya.

"Urus wanita itu!" Zavier melangkah melewati bawahannya yang berjaga di depan kamar yang dia gunakan tadi.

Usai dari kamar itu, Zavier melangkah menuju ke pantry. Ia duduk di kursi paling tengah. Mengambil cangkir wine lalu menuangkan wine dari botol yang telah ia buka tutupnya.

Satu tegukan sudah masuk ke kerongkongan Zavier. Pria ini menggerakan cangkirnya pelan lalu tersenyum melihat cairan yang berwarna seperti darah itu.

"Wolf. Wolf bodoh!" Zavier bergumam kecil. "Menggunakan wanita cantik untuk membunuhku, yang benar saja. Mana mungkin seorang Zavier mati di tangan wanita." Ia meremehkan, kembali meneguk wine di dalam cangkirnya.

Evelyne –nama wanita yang ditembak Zavier– adalah pembunuh bayaran yang terkenal dengan teknik membunuh menggunakan racun. Zavier tak akan mencari dimana Evelyn menyembunyikan racunnya tapi ia tahu tubuh Evelyne sudah pasti dilumuri dengan racun yang siap membunuhnya kurang dari 1 menit.

Wanita cantik tidak dipakai untuk membunuh. Mereka dipakai untuk memuaskan hasrat dan gairah laki-laki. Itu yang Zavier tahu tentang kegunaan wanita cantik. Menjadikan wanita sebagai senjata adalah sebuah kebodohan yang fatal. Ah, mungkin ada satu wanita yang hampir membuat Zavier mati. Satu wanita yang namanya tak boleh disebutkan lagi saat ini.

Zavier mengatakan Wolf bodoh, itu karena pria itu berpikir jika Zavier tidak mengetahui tentang Evelyne. Zavier adalah orang yang cermat, ia mengenali beberapa pembunuh yang sulit dikenali oleh orang lain.

Wolf, Zavier ingin membunuh pria ini tapi ia tak akan membuang tenaganya karena orang kepercayaan Oriel sudah mengurus ini untuknya.

Jika mengingat bagaimana sahabat-sahabatnya selalu membunuh orang-orang yang coba menyakitinya, Zavier menghela nafasnya. Ia hanya lebih muda 3 bulan dari Aeden, 4 bulan dari Oriel dan 6 bulan dari Ezell. Tapi sahabat-sahabatnya memperlakukannya seperti ia adalah remaja berusia 17 tahun.

Zavier tahu teman-temannya melakukan itu karena menyayanginya tapi tetap saja, ia bisa menjaga dirinya dengan baik. Dia bisa membunuh siapapun yang mencoba membunuhnya.

Ah, sudahlah. Ia tidak bisa mengubah sikap teman-temannya meski dia mengeluh ribuan kali.

Jika Oriel memiliki orang tua yang bercerai, Aeden yang kehilangan orangtuanya, Ezell dengan ibunya yang telah tiada dan ayahnya menikah lagi, maka Zavier memiliki cerita lain tentang keluarganya.

Zavier tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu. Sejak ia dilahirkan ibunya tidak pernah sudi merawatnya. Bahkan sejak lahir Zavier mendapatkan tatapan penuh kebencian dari sang ibu.

Alasan dari kebencian itu adalah karena ibu Zavier sangat membenci pria yang menjadikannya istri.

Edwill -Ayah Zavier- begitu terobsesi pada Alona -ibu Zavier- yang membencinya. Edwill menghalalkan segala cara untuk membuat Alona jadi miliknya. Ia memisahkan Alona dengan kekasihnya. Pria ini menikahi Alona dengan paksa. Dari pernikahan paksa itu hadirlah Zavier. Berkali-kali Alona mencoba menggugurkan kandungannya tapi hal itu tidak pernah terwujud. Edwill yang sangat menginginkan anak dari Alona mengerjakan banyak pelayan untuk mengawasi Alona tiap waktunya.

Hingga akhirnya Zavier terlahir. Jangan berpikir jika Alona akan tergerak hatinya ketika melihat Zavier. Ia malah sangat membenci Zavier yang memiliki keseluruhan wajah Edwill. Jangankan untuk menyusui, melihatnya saja Alona tak mau.

Waktu terus berlalu, dari Zavier yang usianya satu hari hingga usianya 1 tahun. Tak sekalipun Alona menyentuh Zavier. Semua tentang Zavier pelayan yang mengerjakannya. Yang ada di otak Alona hanyalah bagaimana caranya kabur dari Edwill. Ia tidak tahan lagi hidup dengan pria gila macam Edwill. Pria psikopat yang terus menjamah tubuhnya seperti binatang.

Ketika usia Zavier 3 tahun. Ia mulai mengenal sosok Alona yang merupakan ibunya. Zavier kecil berteriak dan menangis meminta Alona memperhatikannya dan memeluknya, tapi kebencian Alona pada Edwill menjadikannya wanita yang tak berperasaan. Ia tidak pernah mempedulikan tangisan dan panggilan Zavier. Sesekali ia hanya menatap Zavier tajam dan melakukan hal kasar ketika Zavier mencoba mendekatinya, hingga akhirnya pengasuh mengambil dan membawa Zavier menjauh dari Alona. Pengasuh itulah yang memberikan pelukan hangat pada Zavier ketika Zavier menangis tersedu.

Kian berjalannya waktu, Zavier semakin besar dan ia semakin sadar jika ibunya tak pernah menginginkan kehadirannya. Saat usia Zavier 5 tahun. Ketika ia meminta ibunya untuk melihat apa yang dia lukis, sang ibu memakinya dengan mengatakannya anak iblis, anak sialan dan berbagai panggilan kasar lainnya. Sejak saat itu Zavier berhenti melukis. Bukan, bukan karena dia benci melukis tapi karena ketika dia melukis dia mengingat bagaimana menyakitkannya kata-kata yang keluar dari mulut ibunya saat itu.

Meski berhenti melukis Zavier masih mencoba mendekati sang ibu, lagi-lagi yang ia dapatkan adalah makian kasar dan juga pukulan dari sang ibu. Zavier mulai menyadari. Bukan apa yang dia lakukan yang salah tapi dialah yang salah.

Kebencian ibunya padanya semakin menjadi saat Zavier ditinggal pergi oleh ayahnya untuk urusan bisnis. Ibunya mengurungnya di gudang dan menyiksanya. Pelayan tak ada yang berani mencegah sang ibu. Hingga anak yang saat itu baru berusia 9 tahun, harus merasakan sakitnya pukulan, makian dan hukuman dari sang ibu.

Ketika sang ayah kembali. Zavier sudah tidak dihukum sang ibu lagi. Zavier menyembunyikan semua siksaan yang ibunya lakukan. Ketika ayahnya bertanya dari mana Zavier mendapatkan lebam maka jawabannya adalah ia terjatuh.

Zavier tersenyum pada ayahnya, seolah semua baik-baik saja. Dan inilah asal dari senyuman yang Zavier tunjukan. Sebuah senyuman yang menutupi ribuan luka yang ia alami. Dan begitulah yang terus terjadi tiap harinya.

Hingga suatu hari ayah Zavier menemukan jika Zavier disiksa oleh istrinya. Jika luka-luka yang Zavier terima tidak berasal dari kesalahannya sendiri melainkan dari siksaan sang ibu.

Saat itu yang Zavier dengarkan dari kemarahan ayahnya adalah makian untuk Alona.

Apa kau binatang! Jika kau membenciku maka kau harusnya melukaiku bukan melukai Zavier! Jangan melampiaskan kebencianmu pada Zavier karena dia tidak pernah melakukan kesalahan apapun padamu!

Begitulah cinta ayahnya padanya.

Dan di hari pertengkaran besar itu, ayah Zavier benar-benar melepaskan ibunya. Dan semenjak saat itu Zavier merasa bahwa dirinya adalah penyebab ketidak bahagiaan ayahnya.

Andai saja ia bisa menyimpan lukanya lebih jauh maka tak akan terjadi perpisahan. Ayahnya menceraikan ibunya karena tak ingin Zavier terus disiksa.

Meski ayahnya selalu menunjukan senyuman hangat padanya, meski ayahnya berkata dia bahagia tapi Zavier tahu, yang benar-benar membuat ayahnya bahagia adalah ibunya. Yang benar-benar bisa membuat ayahnya tersenyum bahkan tanpa alasan adalah ibunya.

Hingga detik ini Zavier masih merasa jika ialah yang telah menyebabkan ayahnya tak bahagia. Hingga saat ini ayahnya masih menyendiri. Cinta yang ayahnya punya untuk sang ibu memang berawal dari sebuah obsesi tapi percayalah, obsesi tak akan sekekal itu. Hanya cinta yang bisa bertahan hingga akhir seperti ini.

Terlalu banyak kesamaan yang terjadi di antara Zavier dan teman-temannya. Mulai dari kekacauan keluarga mereka. Kesukaan mereka terhadap hal-hal berbahaya dan tentang kesukaan mereka menggonta-ganti wanita.

"Bos!" Pria yang diperintahkan untuk mengurus mayat Evelyne sudah berada di belakang Zavier.

"Mr. Hilton telah dikebumikan."

Zavier mendengar apa yang anak buahnya katakan tapi ia tetap menggoyangkan pelan gelasnya. Membiarkan winenya membentuk belombang kecil yang saling bertabrakan.

"Perintahkan orang untuk menyiapkan tempat tinggal Bryssa. Besok pagi jemput dia bersama dengan Renzo." Zavier akhirnya bersuara.

"Baik, bos."

Zavier kembali menyesap winenya. Pikirannya melayang tak tentu arahnya. Usai menghabiskan wine-nya, ia turun dari tempat duduknya.

Kakinya melangkah ke sebuah tempat yang berada dalam pikirannya. Zavier membuka pintu berwarna coklat gelap di depannya. Hampir tiap hari ia masuk ke dalam tempat ini. Beberapa menit berada di dalam sana lalu keluar dengan wajah yang terlihat sangat dingin.

tbc

avataravatar
Next chapter