18 part 17

Bryssa mengamati Zavier yang sejak tadi diam menatap ke arah sungai, mengabaikannya yang saat ini tengah mengobati luka Zavier. Mereka tak jadi makan siang bersama. Zavier memilih untuk pergi ke tepi sungai. Jantungnya masih berdebar sakit sampai saat ini tapi ketakutan yang beberapa hari lalu masih melandanya kini mulai berkurang dan bisa ia kendalikan.

Tersadar dari lamunan panjangnya, Zavier melihat ke Bryssa. Namun ia tak mengatakan apapun. Hanya memandang mata indah Bryssa yang terlihat hangat. Detik selanjutnya ia memelul Bryssa. Mencari ketenangan yang belum ia dapatkan sejak tadi.

"Apakah yang dia lakukan padamu benar-benar buruk?" Bryssa tak tahan untuk tidak bertanya.

"Apa kau sangat membencinya?" Bryssa mengajukan pertanyaan lain.

Masih tak ada jawaban, Bryssa mengusap kepala Zavier dengan lembut.

"Jangan terlalu membenci orang, kau hanya menyiksa dirimu sendiri. Maafkan mereka yang sudah menyakitimu dan hiduplah dengan bahagia. Cara balas dendam terbaik pada orang yang menyakitimu adalah dengan hidup bahagia." Bryssa adalah orang yang tak pernah membenci orang lain. Di dunia ini dia hanya benci Zavier tapi pada akhirnya ia malah terpikat oleh pesona Zavier. Sejak kecil ia diajarkan untuk tidak membenci.

"Aku tidak membencinya. Aku hanya marah. Marah pada diriku sendiri karena tak bisa menahan luka. Andai saja Daddy tak tahu lukaku mungkin saat ini mereka masih bersama. Daddy tak akan menderita selama bertahun-tahun." Zavier tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Ia hanya memikirkan ayahnya.

"Kau sudah melakukan yang terbaik yang kau bisa. Perpisahan mereka bukan salahmu. Mereka tak berjodoh, memaksa mereka bersama hanya akan menyakiti keduanya. Bukankah lebih baik 1 bahagia daripada ketiganya terluka?" Bryssa tak ingin Zavier menyalahkan dirinya sendiri.

Apa yang Bryssa katakan memang benar. Jika Ayah dan Ibu Zavier masih bersama maka bukan hanya 2 orang itu yang akan terluka tapi juga Zavier. Dari apa yang terjadi di cafe, Bryssa sangat yakin jika Alona telah meninggalkam trauma besar bagi Zavier. Entah apa yang akam terjadi jika penyiksaan itu terus berlanjut hingga Zavier remaja. Itu akan membuat Zavier hidup dalam ketakutan dan tekanan.

"Dia memang bahagia. Meninggalkan anak tak diinginkan dan suami yang tak dicintai adalah hal yang paling dia inginkan."

Bryssa melepaskan pelukannya, memegang kedua bahu Zavier dengan matanya yang mencoba menyelami mata Zavier, "Kau memiliki banyak orang lain yang menginginkanmu." Aku salah satu dari banyak orang itu.

Memang banyak yang menginginkan Zavier, tapi cinta dari Alona adalah hal yang sangat diinginkannya.

"Jangan memikirkan apapun yang bisa membuatmu terluka. Kau hanya perlu memikirkan orang-orang yang menyayangimu."

Zavier melepaskan kedua tangan Bryssa, ia bangkit dari tempat duduk dan melangkah satu langkah ke depan.

"Aku baik-baik saja. Hanya belum siap menerima masa lalu yang datang ke masa sekarang. Aku tidak pernah memikirkan siapapun yang membuatku terluka. Mereka tak pantas jadi bagian dari pikiranku." Zavier bersuara tenang, dari nada suaranya bisa dikatakan Zavier benar baik-baik saja. Hanya saja bagi Bryssa yang tadi melihat Zavier melangkah mundur dengan wajah menyedihkan tak bisa percaya bahwa Zavier baik-baik saja dalam waktu yang sangat cepat. "Ah, perutku lapar. Sebaiknya kita cari makan." Zavier melangkah meninggalkan Bryssa.

Bryssa cepat-cepat bangkit, "Sialan ini! Dia meninggalkan aku setelah aku mengobatinya!" Bryssa menggerutu sambil menyusul Zavier.

Zavier menarik nafasnya dalam, aku baik-baik saja, ya baik-baik saja. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar baik-baik saja.

**

Mata Bryssa memicing ketika melihat seorang pria yang melangkah masuk ke dalam cafe.

"Astaga, dari sekian banyak cafe kenapa dia harus mendatangi tempat ini. Muak sekali melihatnya!" Bryssa menggerutu, wajahnya terlihat sebal. Ia segera mengalihkan pandangan matanya.

"Ada apa?" Zavier melihat ke arah pandangan Bryssa tadi.

"Tidak ada. Hanya hama dan gulma." Serunya tak berminat.

"Bryssa?" Suara wanita itu membuat Bryssa muak seketika.

Bryssa menghela nafas, masih punya muka datang menyapaku! Dua bangsat ini, benar-benar tebal muka!

"Oh, hy, kalian. Bagaimana bisa kita bertemu disini. Astaga, apa ini kutukan?" Bryssa tak bisa menahan dirinya untuk tidak mengeluarkan kata-kata pedas.

Zavier memperhatikan Bryssa dan juga pasangan yang berdiri di sebelah meja mereka.

"Aw, Bryssa. Jangan terlalu sinis. Kami hanya ingin menyapa. Ah, benar, kami turut berduka cita atas kematian Daddymu." Rumput liar itu kembali bicara.

Bryssa tersenyum terpaksa, ia jelas menunjukan itu dengan sengaja, "Pelayan!" Bryssa memanggil pelayan.

Pelayan mendekat ke arah Bryssa, "Dua orang ini membutuhkan pengarahan. Tolong carikan mereka tempat duduk yang nyaman."

"Kau!" Wanita yang merebut kekasih Bryssa itu menggeram marah.

"Tuan, bisakah Anda membawa wanita Anda menyingkir dari sini? Selera makanku hari ini sedang sangat baik. Jangan merusaknya, oke." Bryssa beralih ke mantan pacarnya.

Zavier hanya diam. Ia hanya melihat pertunjukan Bryssa.

"Dealyn, ayo kita cari tempat duduk." Mantan kekasih Bryssa mengajak kekasihnya untuk pergi.

Bryssa mengantar kepergian dua orang itu dengan wajah penuh ejekan, "Ah, hama dan gulma itu benar-benar merusak mood makanku." Bryssa menunjukan wajah masamnya lagi. Matanya menatap Zavier memicing, "Kenapa kau tidak membantuku! Ah, harusnya kau menjadi pahlawan saat ini."

"Kau sudah melakukan yang terbaik." Zavier menjawab seadanya.

Bryssa menghela nafas kasar, "Kau benar-benar tidak bisa diharapkan." Wajah masam Bryssa benar-benar tak tertolong. Dasar bodoh! Bryssa mengumpat berkali-kali di dalam hatinya.

Zavier tersenyum kecil melihat wajah kesal Bryssa. Ia bangkit dari tempat duduknya dan mendekat ke arah Bryssa. Membungkukan tubuhnya dan melumat lembut bibir Bryssa.

Kesal yang Bryssa rasakan langsung lenyap entah kemana. Ia tak lagi memaki Zavier dengan kata-kata bodoh. Yang ia lakukan sekarang adalah menikmati ciuman Zavier.

Zavier melepas ciumannya, Bryssa menatap tak rela. Zavier tersenyum, ia mengelus bibir merah mudah Bryssa yang indah. Menatap Bryssa seolah ia adalah pencinta yang luar biasa.

"Apakah ini sudah membantumu?" Zavier bertanya lembut.

"Satu kali lagi. Mungkin itu akan membantu."

Zavier tak bisa tak tertawa, ia tertawa pelan lalu kembali melumat bibir Bryssa.

Rajin-rajinlah membantuku, Zavier. Setiap hari. Bryssa memang wanita yang licik. Lihatlah bagaimana dia memanfaatkan situasi.

Mantan kekasih Bryssa menatap Bryssa dan Zavier marah, namun wajahnya nampak sangat tenang.

Zavier sebenarnya tidak sedang membantu Bryssa, ia sedang menunjukan pada mantan kekasih Bryssa bahwa Bryssa adalah miliknya.

Ciuman kembali terlepas, Zavier mengelus kepala Bryssa dengan lembut, "Meskipun aku bukan murid yang rajin di sekolah, tapi kami diajarkan saat seseorang menerima bantuan maka seharusnya ia mengucapkan terimakasih."

Bryssa tersenyum manis, "Terimakasih, Zavier. Kau yang terbaik."

Zavier menganggukan kepalanya, "Meski sekolah kita berbeda, tapi nampaknya kau diajarkan itu juga."

Bryssa berdecih, ia menatap Zavier mencibir.

"Habiskan makananmu. Aku rasa selera makanmu sudah membaik."

"Oh, tentu saja. Sudah sangat baik." Bryssa memegang kembali sendok dan garpu, ia melahap makanannya.

Zavier tersenyum melihat bagaimana Bryssa tak terganggu sama sekali. Ia tahu itu bukan akting, seorang Bryssa tak pintar akting di kehidupan dunia nyata.

Makan selesai. Bryssa dan Zavier meninggalkan cafe, sekalipun Bryssa tak melihat ke arah mantannya. Bagi Bryssa, apa yang sudah ia lepaskan adalah kotoran, dan kotoran tak pantas untuk ia lihat lagi. Itu sangat menjijikan.

"Kau tidak ingin bertanya mereka siapa?" Bryssa nampaknya sangat berharap Zavier akan bertanya padanya.

"Aku tahu kau lebih dari yang kau tahu, Bryssa."

"Waw, kau memata-mataiku dengan baik."

"Kau akan menjadi asetku, aku harus memperhatikan asetku dengan baik." Zavier tersenyum pasti.

Bryssa menganga, ia tak percaya bahwa orang yang tadi membantunya bisa mengatakan hal sekejam itu padanya.

"Kau memang Zavier. Pria kejam." Bryssa masuk ke dalam mobil. Memasang safety belt dengan wajah yang masih tak percaya.

Zavier tertawa kecil, ia segera masuk ke dalam mobilnya. Hari ini, meski ia menghadapi suasana yang tidak menyenangkan tapi ia masih bisa tertawa. Semua karena kehadiran Bryssa.

"Pengkhianatannya pasti sangat menyakitkan untukmu."

Bryssa menatap Zavier lalu diam sejenak, "Sedang mencoba untuk mengejekku, ya?"

"Tidak. Aku hanya mengatakan apa yang aku pikirkan saja." Zavier menyalakan mobilnya dan segera melaju.

"Pengkhianatannya tidak menyakitkan. Model itu tidak lebih baik dariku. Dia melepaskan aku untuk rumput liar itu, benar-benar rugi sekali. Aku hanya sakit karena membuang waktu dengan orang yang salah. Benar-benar menjengkelkan jika memikirkannya. Mengucapkan kata-kata manis lalu akhirnya berubah menjadi sampah. Astaga, aku merasa sangat bodoh karena hal itu." Bryssa tak berbohong sama sekali, ia tak terluka karena pengkhianatan meski ia mencintai pria itu. Ia hanya benci ketika ia salah memilih. Membuang waktu untuk sampah yang ia anggap dewa pada pertamanya.

"Bertahun-tahun menjalin hubungan, tapi reaksimu hanya itu ketika kau dikhianati?"

"Lalu, aku harus apa? Membunuh mereka berdua?" Bryssa mengangkat alisnya, "Terlalu bodoh. Aku tidak suka melakukan hal sia-sia. Menangisi pria macam itu juga tak ada gunanya. Hanya menyakitkan mata tanpa bisa mengurangi sakit hati."

"Tapi, sepertinya hama itu membuat kau berhenti berhubungan dengan pria."

"Karena aku tidak ingin membuang-buang waktu. Mungkin saat itu secara tidak langsung aku menyadari bahwa aku akan menjadi aset seseorang. Percuma juga aku menjalin hubungan dengan pria jika pada akhirnya harus berpisah karena sebuah surat perjanjian."

Zavier menganggukan kepalanya setuju, "Kau sangat cerdas, Little Princess."

"Kau sepertinya orang yang akan mendendam jika kau dikhianati." Bryssa menilai Zavier.

Zavier menatap Bryssa sejenak lalu mengembalikan pandangannya ke depan, "Aku tidak mendendam. Aku hanya ingin tahu kenapa orang itu mengkhianatiku."

"Kau seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan tanpa penjelasan. Sebenarnya, tak penting alasan orang itu mengkhianatimu. Benar atau salah alasannya tetap saja dia berkhianat."

Benar atau salah alasannya tetap saja dia berkhianat. Kalimat Bryssa berputar di benak Zavier. Benar, apapun itu alasannya Qween tetap saja berkhianat.

Ring.. Ring..

Zavier menjawab panggilan di ponselnya.

"Z-zavier." Suara di seberang sana membuat Zavier membeku.

"A-aku a-akan menjawab se-mua pertanyaan-mu. Da-tanglah pa-daku."

Bryssa menatap raut wajah Zavier, terlihat sangat kaku.

Siapa yang menelpon? Kenapa Zavier hanya diam saja? Apakah Alona? Bryssa menebak-nebak.

Zavier memutuskan sambungan telepon. Setelah sekian lama tidak mendengar suara Qween dan akhirnya mendengar suara itu membuatnya terdiam. Tak tahu apa yang ia rasakan saat ini tapi yang jelas suara itu membuat kenangan masalalu terungkit.

tbc

avataravatar
Next chapter