13 part 12

Bryssa memandangi wajah Zavier yang masih tidak sadarkan diri. Sudah beberapa jam ia menjaga Zavier dan tentu saja pria itu tak terjaga, ia berada dalam pengaruh obat bius.

Cklek.. Pintu ruangan itu terbuka. 3 teman Zavier masuk ke dalam sana dan mendekat ke arah ranjang.

"Bagaimana keadaan Zavier?" Aeden, makhluk yang lebih bersahabat ketimbang Oriel dan Ezell bertanya pada Bryssa.

"Gea sudah menanganinya dengan baik."

"Syukurlah."

"Bagaimana dengan orang yang menembak Zavier?"

"Dia hanya salah satu wanita yang tergila-gila pada Zavier, dan sekarang dia sudah rewas." Jawab Aeden.

"Jaga Zavier baik-baik, jangan membuatnya terluka lagi." Oriel bersuara, dan itu sangat dingin. Bryssa tahu, Oriel memang sangat menyayangi Zavier, terlihat dari bagaimana cara Oriel memperhatikan Zavier.

"Aku akan menjaganya, kalian tidak perlu cemas."

"Ya sudah, kalau begitu kami pulang dulu." Aeden pamit. 2 temannya yang lain dalam mode diam. Dua orang itu hanya melihat ke arah Zavier lalu selanjutnya memutar tubuh mereka.

"Aih, makan apa Oriel, Ezell dan Zavier ini? Mereka seperti berasal dari kutub saja. Apa tidak bisa memasang wajah bersahabat seperti Aeden. Ya, setidaknya Aeden lebih manusiawi." Bryssa mengomentari Zavier dan teman-teman Zavier.

Menarik nafas dramatis, Bryssa kembali mengamati wajah tampan Zavier.

"Dia ini sebenarnya sangat tampan, lihat saja, matanya tertutupun masih terlihat menggoda. Ew, pikiranku sudah benar-benar mesum sekarang." Bryssa bersikap konyol. Di antara ketiga temannya, memang Bryssa yang paling konyol. Sebagai anak tunggal ia mandiri karena ayahnya membiasakannya untuk hidup mandiri tapi semandirinya Bryssa ia hanya bisa memasak makanan cepat saji dan telor, serta campuran sayur yang namanya saja tak terdaftar di menu makanan. Dia yang paling ceria karena keluarganya tak memiliki masalah sedikitpun. Meski ibunya telah tiada tapi itu tidak menyisakan luka yang mendalam, kematian ibunya sangat wajar jadi tak akan menyisakan teka-teki. Bahkan setelah melihat kekasihnya sendiri berselingkuh, ia santai dan bersikap seakan tak ada yang terjadi, Bryssa menanamkan ini pada hidupnya 'pria pengkhianat tak pantas untuk ia tangisi' dan ia benar-benar melakukannya.

"Hidung mancung, bibir sexy, bulu mata lentik, alis tebal dan tegas, Tuhan, kenapa engkau menciptakan dia dengan wajah sempurna tapi tak suka tersenyum?" Bryssa kembali menanyakan hal yang pasti tak akan dijawab, "Aku tahu, itu pasti karena tak ada makhluk yang sempurna. Jika Zavier murah senyum maka ia pasti akan sangat sempurna. Para wanita pasti akan mengantri untuknya." Dan dia menjawab sendiri.

Selanjutnya hening tiba-tiba. Ketika matanya melihat ke kain kasa yang menutup luka Zavier, ia mendadak sedih.

"Jangan terluka lagi karenaku, Zavier." Bryssa mengelus punggung tangan Zavier dengan lembut. Apa yang Bryssa katakan tadi adalah kalimat yang sangat tulus dari hatinya.

**

Bryssa terjaga dengan tubuhnya yang kaku. Ia tidur dalam keadaan duduk jadi tentulah tubuhnya akan menderita.

Krakk,, ketika ia meregangkan pinggangnya suara itu terdengar nyaring. "Tunggu aku, ya. Aku mandi dulu." Bryssa mengajak Zavier yang masih belum sadar bicara. Setelahnya ia segera melangkah keluar dari ruang kesehatan itu.

"Gea!" Bryssa memanggil Gea, yang dipanggil tak menyahut hingga akhirnya Bryssa menyusul Gea.

Di ujung koridor, Gea berbelok, Bryssa tak pernah sampai ke tempat ini. Ia terus mengikuti Gea dan menemukan Gea keluar dari sebuah ruangan. Tempat apa yang dikunjungi Gea dalam waktu sangat singkat.

"Bryssa?" Gea mengerutkan keningnya. Ia mendekat ke Bryssa, "Bagaimana bisa kau sampai disini?"

"Aku mengikutimu."

Mata Gea menyipit.

"Zavier, apakah tubuhnya boleh dibersihkan?" Alasan Bryssa mengikuti Gea adalah tentang Zavier.

"Ah, itu. Biar aku saja yang membersihkannya."

"Kau?" Bryssa mengerutkan keningnya.

Gea tertawa kecil, "Jangan katakan sekarang kau tak rela tubuhnya disentuh oleh wanita lain, Bryssa."

"Aku tidak mengatakan begitu."

"Jangan cemburu, aku ini saudaranya, lagipula aku sudah sering membersihkan tubuh Zavier."

"Uhm,, ba- tidak, biarkan aku saja yang membersihkannya, kau beritahu aku bagaimana cara melakukannya saja."

Gea menatap Bryssa dengan mata menggoda, "Baiklah, baiklah." Gea menyudahi tatapan jahilnya karena wajah Bryssa yang terlihat malu.

"Dokter Gea." Seorang perawat mendekati Gea. "Kon-"

"Kembalilah, aku akan segera kesana." Gea menghentikan ucapan perawat di sebelahnya.

"Baik, dok." Perawat tadi segera melangkah pergi.

"Kembalilah ke ruangan Zavier, Bryssa. Aku ada urusan sebentar."

"Uhm, baiklah." Bryssa masih melihat ke ruangan yang ada di ujung lorong tersebut.

"Tunggu apalagi, Bryssa?"

"Ehm, ya, ya." Bryssa segera membalik tubuhnya dan melangkah pergi. Otaknya memikirkan ada apa dengan ruangan itu. "Ah, sudahlah, itu tidak penting." Bryssa mengenyahkan pemikirannya. Ia segera melangkah ke kamarnya dan segera mandi.

Setelah selesai membersihkan tubuhnya, ia segera kembali ke ruangan Zavier. Di sana sudah ada Gea.

"Aku sudah menyiapkan peralatan untuk membersihkan tubuh Zavier. Kau pernah mengurus orang sakit sebelumnya?"

"Sudah, Daddyku."

"Nah, lakukan saja seperti kau merawat Daddymu. Jangan terlalu kasar padanya."

"Kau pikir aku akan melakukan itu?"

Gea tersenyum, "Dulu mungkin iya, sekarang sudah tidak lagi." Gea menepuk pundak Bryssa pelan, "Aku harus sarapan, aku pergi."

Bryssa mendekat ke Zavier, meraih handuk lalu mencelupkannya ke air hangat yang sudah disiapkan oleh Gea. Dengan perlahan ia membersihkan tubuh Zavier. Matanya berhenti di bekas luka Zavier, "Aku sudah membuat dua peluru bersarang di tubuhmu, Zavier." Bryssa mengelusi bekas tembakannya yang saat ini sudah sembuh namun masih sedikit berbekas.

Ketika Bryssa sedikit memiringkan tubuh Zavier, ia melihat luka yang semalam Zavier terima karena melindunginya. Dengan hati-hati Bryssa membersihkan tubuh bagian belakang Zavier.

Bagian ini yang paling membuat Bryssa tak bisa bergerak, bagian pinggang ke bawah milik Zavier benar-benar mematikan otaknya. Mata Bryssa tertuju pada junior Zavier yang layu.

Bryssa tertawa geli, "Ukurannya cuma segini kalau sedang layu." Ia bahkan mengukur ukuran junior Zavier yang mengkerut itu. Lagi-lagi ia tertawa, kali ini menertawakan kekonyolannya yang mengukur junior Zavier. "Otakmu sudah benar-benar rusak, Bryssa. Astaga." Bryssa menghela nafas dramatis.

Kain basahnya mulai bergerak, pertama ia membersihkan bagian kaki Zavier dan sekarang ia sudah sampai ke bagian paha atas Zavier.

Otak mesum Bryssa mulai membuat Bryssa tersenyum tak jelas, "Enyahkan pikiran kotormu itu, Bryssa!" Bryssa mengenyahkan pemikirannya untuk menyentuh benda mengerut itu. Pada akhirnya ia benar-benar berhenti memikirkan hal mesum. Dan setelah melewati godaan besar, kini Bryssa selesai membersihkan tubuh Zavier. Ia memakaikan pakian Zavier dengan warna favoritnya. Biru muda, sekarang Zavier benar-benar terlihat seperti pasien rumah sakit.

**

Mulai dari membaca, bermain game dan menonton sudah Bryssa lakukan ketika ia menunggui Zavier, dan semua kegiatan yang ia lakukan itu ditemani dengan aktivitas mengunyah cemilan. Bryssa memang tak bisa dipisahkan dengan cemilan, ia cepat lapar dan cepat bosan jika itu tentang menunggu.

Setelah lelah bermain game, akhirnya Bryssa terlelap pada jam 10 malam. Ia kali ini tidak tidur di kursi tapi di ranjang, tepatnya di sebelah Zavier.

Ketika Bryssa tertidur, mata Zavier terbuka. Pengaruh obat bius sudah menghilang, kepalanya masih terasa sedikit pusing sekarang tapi ketika menyadari seseorang tidur di sebelahnya dengan tangan kanan yang memeluknya, rasa pusing itu lenyap seketika, berganti dengan senyuman manis yang mampu membuat orang diabetes.

"Terimakasih karena telah menjagaku, Little Princess." Zavier mengecup kening Bryssa.

Tak ingin membangunkan Bryssa, Zavier memilih untuk diam di atas ranjang, menikmati pelukan Bryssa yang tanpa paksaan darinya.

Semua memang lebih indah jika itu tanpa paksaan dan tanpa kekerasan.

tbc

avataravatar
Next chapter