10 Rencana Edward Sinclair

Sesaat setelah menyesap air putih yang belum lama ini disajikan oleh Feline, Febiana menyandarkan punggungnya pada badan sofa. Ia masih merasa tidak baik-baik saja setelah dua orang menyebalkan mendatanginya tanpa rasa sungkan. Entah Madam Trisia yang merupakan ibu kandungnya sendiri, atau Edward Sinclair, keduanya benar-benar memuakkan.

"Aku sudah gila," gumam Febiana. "Kata Ibu juga ada benarnya, aku hanya seorang putri yang bodoh."

Feline menelan saliva. "Jangan begitu, Febi," sahutnya.

"Kenyataannya memang seperti itu, Fel! Aku bodoh. Mungkin akan lebih menyenangkan jika aku terlahir sebagai seorang pria bukan wanita. Ibu dan Ayah tidak akan merendahkanku setiap hari. Aku akan lebih berkuasa dari Edward Sinclair, dan aku akan lebih berani untuk menggertak mereka!"

"Kamu sangat cerdas, bahkan melebihi kecerdasan seorang pria. Sudah seharusnya kamu bersyukur. Lagipula, kamu juga jauh lebih badas kok. Apalagi ketika terjadi perdebatan dengan Mr. Sinclair saja, kamu masih ngotot!"

Febiana tertawa kecil. "Maksudmu, cerdas dalam hal kelicikan? Aku juga tahu tentang itu, Fel. Dan saat itu aku hanya sedang menjaga harga diriku saja, aku tidak sebadas itu. Kata Ibu, aku tetap bodoh dan lemah."

"Bukan itu yang aku maksud. Hmm ...." Feline menghela napas. "Baiklah, maaf dan segera lupakan saja. Tampaknya kamu memang harus membuat klarifikasi atas tindakanmu terhadap Mr. Sinclair, Febi. Setelah itu, semua akan lebih mudah bagimu."

"Tidak akan! Aku sudah mengatakannya dengan lantang padanya, aku tidak akan menarik apa pun yang sudah aku lakukan."

Feline menepuk jidatnya. Rasa iba dan prihatin yang sempat meliputi dirinya kini berganti kesal sekaligus tidak habis pikir. Namun, apa boleh buat, Febiana tetap akan sulit untuk ia hentikan. Perlahan ia berlalu dari tempat itu, lantaran masih banyak pekerjaan yang perlu ia kerjakan.

Rasa bersalah sebenarnya juga hadir diam-diam di hati Febiana, bahkan ketika Feline terus mendesaknya untuk mundur saja. Namun harga dirinya yang memang setinggi angkasa, mundur, sama saja kalah sebelum menuju medan peperangan yang sebenarnya. Dan keputusan untuk tetap maju ketika sudah disudutkan oleh Edward merupakan sebuah resiko yang harus ia tanggung pasca dipinta merayu pria itu oleh Madam Trisia.

Perihal merayu sebenarnya bukan sesuatu yang sulit bagi Febiana, terlebih ketika ia nyaris masuk ke dalam jajaran wanita tercantik di dunia. Cara itu mungkin juga akan jauh lebih mudah dan tidak menyebabkan resiko kerugian yang signifikan. Bahkan, bisa saja Edward Sinclair benar-benar jatuh cinta padanya. Hanya saja ... Febiana bukan wanita semurah itu. Ia tidak bisa menggadaikan hati dan dirinya hanya karena materi semata.

Febiana menyerah untuk memikirkan segala hal yang memusingkan. Baginya, berlama-lama dalam kegamangan hanya akan membuang-buang waktu tanpa membuahkan hasil.

"Aku harus bangkit. Tak boleh begini, Edward Sinclair nyaris mendapatkan kelemahanku." Febiana menghela napas dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan. "Aku harus segera menemui Mr. Hector."

Febiana beranjak. Ia berjalan lebih tegas setelah mendapatkan tenaganya kembali. Meja kerja yang rapi miliknya itu, ia hampiri. Tak ada rencana lain, selain mengambil beberapa berkas untuk meeting bersama Mr. Hector.

Dengan menggunakan mobilnya yang dikemudikan oleh seorang sopir, beserta Feline—sekretarisnya—Febiana bergegas menuju gedung pertemuan yang telah ditentukan oleh relasinya itu. Meski matanya tampak sembam dan sendu, Febiana terus mencoba kuat dan baik-baik saja.

***

Wajah Edward masih saja menyiratkan pendar kemarahan. Ia belum bisa menerima sanggahan dan tantangan gila yang diberikan oleh Febiana padanya. Untuk menuntut wanita itu atas pencemaran nama baik, belum ada bukti jelas dan kuat. Jika ia tetap nekat, yang ada justru Febiana berbalik menyerangnya.

Sekian detik setelah melepas ketegangan, muncul Ibnu menghampirinya di dalam ruang kerjanya itu. Sama seperti sebelumnya, Ibnu bersikap santun dan penuh hormat. Secara kasat mata, Ibnu tampak sempurna menjadi seorang sekretaris dari tuan sebesar Edward. Namun belakangan ini, kinerja Ibnu justru menurun drastis. Pria itu tak lagi sigap layaknya biasa. Dan entah apa yang menjadi penyebab kemunduran pada diri Ibnu.

"Ah, aku sedang malas untuk mengomelimu, Ibnu," celetuk Edward sembari menyandarkan punggungnya.

Ibnu menelan saliva. "Maafkan saya, Tuan," jawabnya lirih.

"Apa kamu memiliki masalah pribadi yang jauh lebih menyebalkan?"

Ibnu terdiam. Rasa bingung mendadak datang dan mencengkeram hatinya tanpa sungkan-sungkan. Sebenarnya, di dalam rumah tangganya sendiri, masalah serius juga sedang terjadi. Bukan berasal dari dirinya atau siapa pun di dalam keluarganya, melainkan atasannya itu sendiri.

Kehadiran Febiana dengan membawa banyak masalah bagi Edward, membuat Ibnu terpaksa dibuat pusing tujuh keliling. Febiana jauh lebih sulit untuk ia tangani sejauh ia menangani beberapa pesaing usil. Bahkan, wartawan yang mengemukakan rumor melalui situs internet saja sulit untuk ia temukan. Dan tentu saja Ibnu menjadi sering lembur dan bergadang, hal itu yang membuat sang istri sering uring-uringan, bahkan tak segan menghina Edward.

"Tidak ada, Tuan," jawab Ibnu yang pada akhirnya memilih menyembunyikan fakta, daripada terancam kehilangan pekerjaan.

Edward menghela napas. "Kinerjamu turun drastis. Kamu terlihat sangat bodoh sekali. Padahal sudah sepuluh tahun kamu mendampingiku, kenapa belakangan ini justru sering kecolongan? Bahkan kamu gagal mendapatkan wartawan yang dipekerjakan oleh Febiana. Apakah umur juga menjadi faktor meningkatnya hormon kebodohan?"

"Saya bersalah, Tuan, maafkan saya."

"Tidak!" tandas Edward dengan cepat. "Sepertinya, Febiana memang jauh lebih cerdas." Ia menghela napas setelah itu.

Ibnu terdiam. Ia justru merasa lega jika Edward bisa menyadari kecerdasan yang dimiliki Febiana sampai membuatnya kesulitan. Seharusnya, memang sejak dulu atasannya itu sadar, bukan justru meremehkan. Namun ketika ia ingin mengusulkan, tentu saja rasa sungkan lantas mencengkeram.

Edward mengembuskan napasnya pelan, kemudian berangsur memejamkan matanya. Kepalanya tertunduk, sementara kedua jemarinya saling bertaut menopang tulang hidungnya yang mancung. Ia seolah tengah melakukan meditasi untuk mendapatkan sebuah petunjuk dari Tuhan di atas sana. Otaknya terus dipacu sampai ia mendapatkan sesuatu.

Sesaat setelah sebuah ide muncul, Edward membuka mata dan merubah sikap duduknya menjadi lebih tegak. Matanya yang biru kini mengarah pada wajah Ibnu yang nyaris tak terlihat karena terbenam dalam tundukan.

"Ibnu!" seru Edward.

Ibnu tersentak, kemudian menatap atasannya itu. "Iya, Tuan," jawabnya.

"Ajukan janji temu dengan Mr. Hector."

"Mm?" Dahi Ibnu berkerut dan hatinya bertanya-tanya.

"Lakukan saja, bujuk terus sampai beliau bersedia."

"Tapi, Tuan, nilai saham turun. Dan jika rumor Tuan tak meredup dalam satu bulan, Sinclair Group akan kesulitan secara finansial."

Edward menghela napas. "Lakukan saja, dan sampai berhasil. Aku juga akan mencari tahu cara terhubung dengan beliau. Aku akan memakai dana pribadiku dan turut serta dalam investasi kerja sama mereka."

Mata Edward membulat, nyaris sempurna. Lambat-laun, senyumnya pun mengembang menarik kedua sudut bibirnya yang ranum merah muda. Bagaimana tidak, ide yang ia pikirkan saat ini bisa dinilai cukup brilian untuk dicoba.

Edward akan membuat sebuah kesepakatan bersama Mr. Hector tanpa se-pengetahuan Febiana. Apa pun caranya, ia harus berhasil. Hanya dengan cara itu, Edward bisa menguasai diri Febiana serta mengawasinya dengan dekat.

"Febiana, aku akan benar-benar menerima tantangan darimu. Kita lihat saja siapa yang budak dan siapa yang pantas untuk dianggap sebagai raja," gumam pria blasteran Indonesia Perancis itu.

Melihat keseriusan dari paras sang tuan, Ibnu tak lagi menimang-nimang. Ia segera berlalu demi melakukan perintah yang diberikan. Mungkin, ia akan kembali dibuat pusing dan bergadang setiap malam. Ya, resiko yang harus ia tanggung sebagai bawahan. Rasa rindu pada sang putra pun harus kembali ia tahan.

***

avataravatar
Next chapter