9 Perdebatan

Febiana mendesah. Suasana hatinya yang sudah buruk, menjadi semakin kacau pasca kedatangan Edward Sinclair. Namun kendati begitu, ia tetap berusaha untuk tetap mendominasi keadaan, tanpa memberikan sedikit pun celah bagi Edward untuk menemukan titik kelemahannya.

"Selamat siang, Mr. Sinclair. Ada gerangan apa tiba-tiba saja datang ke mari?" tanya Febiana sembari melipat kedua tangannya.

Edward tak langsung menjawab, melainkan menoleh ke arah Feline dan memberikan isyarat agar wanita itu segera keluar dari ruangan.

Awalnya, Feline ragu dan sebenarnya tidak mau. Ia merasa khawatir jika Edward Sinclair akan berbuat sesuatu pada Febiana. Namun ketika menyadari posisi dirinya yang tidak memiliki wewenang apa pun, beserta anggukan yang diberikan oleh Febiana padanya, Feline terpaksa keluar dari ruangan itu.

Selepas kepergian Feline, Edward kembali menatap Febiana dengan manik mata birunya yang saat ini tampak garang dan berbahaya. Sekian detik kemudian, ia memajukan salah satu kakinya dengan langkah yang lebar. Edward terdiam, menghela napas kemudian tertunduk. Ia memikirkan beberapa hal dan memutuskan untuk tetap tenang, daripada termakan emosi di hadapan wanita itu.

"Boleh saya duduk?" tanya Edward sembari mengulas senyuman manis.

Febiana menghela napas. "Silakan saja!" jawabnya ketus.

Edward bergegas menghampiri sebuah sofa yang tersaji di dalam ruangan yang sama. Kemudian, ia mengambil sikap duduk dan melipat salah satu kakinya di atas kaki yang lain. Pria itu terlihat sangat berkuasa, congkak, dan tentu saja tidak sopan. Sejujurnya, Febiana menyimpan kedongkolan tersendiri atas sikapnya, tetapi apa boleh buat, wanita itu harus tetap tegar dan setenang mungkin.

Tepat di hadapan Edward Sinclair, Febiana memutuskan untuk turut duduk. Tubuhnya tegak, penampilannya sangat elegan, dan menggambarkan sebuah kecerdasan. Wanita itu tak mau kalah berkuasa dari lawan yang sudah ada di depan mata. Lalu, dengan congkaknya, Febiana mengangkat salah satu alisnya dan memasang ekspresi semacam jijik.

"Sungguh tak sopan dan memuakkan!" sindir Febiana yang tanpa basa-basi lagi. "Seorang Mr. Sinclair dari perusahaan besar dan tentu saja berpendidikan, apakah tidak memiliki sopan-santun untuk bertamu di kerajaan seorang ratu?"

Edward tersenyum sinis. "Bagi saya, kerajaan yang saya pijaki saat ini bukan milik seorang ratu, melainkan budak yang memiliki nasib seperti ratu."

"Waaah? Budak? Jaga bicara Anda, Tuan. Yang ada di hadapan Anda saat ini adalah ratu sesungguhnya, dan bukan budak."

"Hmm ... ratu, ratu yang menjijikkan, bukan? Ratu konyol yang memakai cara bodoh untuk menyerang lawannya? Oh, sungguh, ratu yang sama sekali tak bermartabat."

Febiana menggertakkan giginya, kemudian berkata,"Apa maksud dari perkataan Anda, Mr. Sinclair?"

Mata biru Edward tak lagi bersorot sendu, dan lantas kembali tajam seperti pertama kali menatap Febiana. Tubuhnya turut merubah sikap dari yang awalnya terlihat sangat santai, kini tegak serta tegas. Sejenak, bibirnya bungkam, tetapi gurat marah tergambar jelas di wajahnya yang tampak buas.

Sementara Febiana masih saja mempertahankan ketenangan dirinya, meski jujur saja, jiwanya nyaris tergoncang. Akal sehatnya juga memberikan sedikit kesadaran atas beberapa hal. Kendati di balik pintu ruangan itu sudah pasti ada Feline dan siap menjaganya jika ada sesuatu buruk yang terjadi, tetap saja ketakutan diam-diam menyeruak di dalam hati Febiana.

"Apa kamu sangat-sangat menyukai saya, Nona?" tanya Edward sungguh tak terduga dan jauh dari bayangan Febiana. Pria itu tampak melemaskan otot-ototnya lagi. "Apa setelah rumor yang Anda ciptakan berhasil, Anda akan mendatangi saya sebagai pahlawan wanita serta penghibur? Merayu saya dengan wajah biasa saja itu? Dengan kata lain, Anda ingin menjadi wanita saya?"

"Apa maksudmu? Wanita?" Febiana berdecak sesaat setelah melontarkan pertanyaan bernada kasual. "Bahkan, melihat wajahmu saja aku sudah muak, dan untuk menjadi wanitamu? Jangan pernah berharap, Edward Sinclair!" tegasnya jengkel.

"Waaah. Anda sudah berani berbicara kasual pada raja sesungguhnya?"

"Raja?" Febiana tertawa. "Kamu hanya seonggok pria hina yang sangat aku benci. Raja? Jangan pernah berharap menjadi raja di hadapanku, Edward!"

Mata Edward terbelalak. "Febiana!" Suaranya meninggi. "Baiklah, jika kamu ingin tak ada sopan-santun di antara kita, tampaknya hal itu cukup mudah untuk aku lakukan. Dan tanpa basi-basi lagi, aku ingin bertanya dengan tegas padamu, Febiana!"

"Silakan!"

"Kenapa kamu begitu terobsesi atas diriku, bahkan sampai berbuat kurang ajar? Rumor macam apa yang kamu ciptakan dan membuat perusahaanku rugi. Dengan harga diri dan keangkuhanmu yang setinggi langit itu, kupikir kamu bukan orang yang menyukai kebohongan. Jadi, akui saja, Febiana!"

Udara AC yang dingin berubah menjadi panas mengalahkan sang surya yang bersinar. Tuan dan nona muda itu lantas berdiri dan siap membunyikan genderang peperangan lebih jelas. Wajah mereka yang saat ini sama-sama garang memancarkan amarah dan kebencian begitu besar. Apalagi pada Febiana yang belum lama ini sudah dibuat kesal oleh ucapan Madam Trisia.

Tiba-tiba saja dan tanpa diduga sama sekali, Edward berjalan cepat menghampiri Febiana di seberang meja. Dengan otot-otot tangannya yang kekar, ia mencengkeram kedua lengan wanita itu. Seketika itu juga, Febiana merasa terkejut bukan kepalang. Sekujur tubuhnya kaku, sementara kedua mata bulatnya terbuka semakin lebar. Rasa gemetar pun juga turut meliputi dirinya pasca Edward menyergap garang.

"Katakan, Febiana! Kenapa kamu sampai berbuat sejauh ini terhadapku? Tak tahukah kamu seberapa besar kerugian yang aku dapatkan karena ulahmu?" desak Edward sudah nyaris kehilangan rasa sabar.

Febiana terdiam, lebih tepatnya suaranya tertahan di tenggorokan karena rasa takut yang mencengkeram. Seluruh kenangan buruk mengenai kedua orang tuanya yang gila, bermunculan satu per satu di benaknya. Febiana menggeragap dan nyaris kehilangan kesadaran. Matanya memandang buram wajah Edward, tetapi akal sehatnya mendesak agar ia tetap kuat.

"Bangun, Febi!" batin Febiana berontak meminta otak untuk tetap terjaga.

"Febiana ...?" Suara Edward melemah, ketika ia melihat mata wanita itu tampak sayu dan seolah akan terpejam. "Apa aku sudah keterlaluan?" lanjutnya gamang, kemudian memutuskan untuk melepas cengkeraman tangan kekarnya dari tubuh wanita itu.

Selepas itu, Febiana terjatuh di atas sofa yang sempat ia duduki. Napasnya terengah, bahkan sampai terbatuk-batuk, membuat Edward sedikit merasa bersalah.

"Iya ... aku yang melakukannya," ucap Febiana sembari menatap wajah Edward dengan sorot mata yang lemah. "Dan aku tidak akan peduli atas kerugian yang kamu dapatkan, Edward Sinclair."

"Apa?" sahut Edward tak mengerti.

"Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah menyerah untuk membuatmu kalah. Sudah kukatakan, bahkan jika harus menyingkirkanmu dari dunia ini, aku tetap akan melakukannya."

Edward menelan saliva. "Aku tidak percaya, dalam keadaan selemah itupun kamu masih tetap angkuh, Miss."

"Aku? lemah? Tidak, aku tidak lemah sama sekali."

"Kamu memang Miss Arrogant yang memuakkan, Febiana. Sejak awal aku sangat tak menyukai keangkuhanmu yang seolah bisa melakukan apa saja tanpa kendala. Kupikir meminta maaf dan membuat klarifikasi sudah cukup untuk mengamankan dirimu dan perusahaanmu, tapi kamu justru semakin menantangku? Sebenarnya, wanita macam apa dirimu, Febiana?"

"Aku wanita arrogant yang memiliki harga diri setinggi angkasa, seperti yang kamu katakan barusan, Edward Sinclair. Dan sampai kapanpun, aku tak akan pernah meminta maaf padamu atau bahkan menjadi wanitamu. Itu sangat menjijikkan!"

Mata mereka bertaut satu sama lain. Aroma dendam mulai menguar memasuki relung hati dan jiwa kedua insan itu. Tak ada lagi diskusi, tak ada lagi kesempatan untuk berbicara lebih layak. Edward pun sudah kehilangan akal untuk menangani Febiana. Seharusnya, ia menyiapkan fitur rekaman di ponselnya agar mendapatkan bukti pengakuan wanita itu untuk meredamkan rumornya, tetapi ia terlalu ceroboh dan melupakan cara mudah tersebut.

Dan apa boleh buat, selain menerima tantangan dari sang gadis kecil, bahkan jika harus memakai cara kasar, Edward tak akan segan untuk melakukannya lagi. Tidak ada lagi toleransi untuk ia berikan pada Febiana, yang sebelumnya masih ada karena kemiripan Febiana dengan mantan kekasihnya.

***

avataravatar
Next chapter