15 Kehangatan Tipis yang Memabukkan

Pertemuan ketiga orang itu diselesaikan dengan sebuah kesepakatan. Sementara, Edward Sinclair sudah menyetujui dengan dana yang harus ia investasikan. Tak ada keraguan lagi, sebab Mr. Hector sudah menerima dana tersebut sesuai hukum dan perjanjian yang berlaku.

Tentu saja, kesepakatan di antara dua pria itu, membuat Febiana merasa jengah. Pasalnya, hal itu dilakukan oleh Edward Sinclair dan Mr. Hector tanpa perundingan darinya terlebih dahulu. Entah apa yang dikatakan oleh Edward, sampai-sampai sang tuan dari Jerman bersedia menyetujui sekaligus menerimanya. Atau di sisi lain, karena Edward adalah seorang CEO besar dari real estate company nomor satu di Indonesia?

Febiana mendesah pasrah. Memikirkan sekeras apa pun, toh semua sudah terlanjur terjadi. Edward Sinclair sudah menjadi investor melalui nama Mr. Hector. Mungkin jika bukan seorang CEO besar, Mr. Hector tak akan menerima pria itu. Namun, apa boleh buat, yang bisa Febiana lakukan saat ini hanyalah diam sembari merencanakan sesuatu untuk membuat Edward tunduk padanya.

"Mari, saya antar kalian," ucap Mr. Hector sembari beranjak sesaat setelah melihat Edward berdiri terlebih dahulu.

Edward tersenyum "Waaah, terima kasih, Mr. Hector. Saya sangat tersanjung," jawabnya kemudian menoleh pada Febiana. Matanya memicing, senyum pun terpasang sinis. "Mari, Nona."

Febiana menghela napas. "Ya," jawabnya singkat dilanjutkan dengan senyuman yang ia tujukan pada Mr. Hector.

Lantaran sudah diberi ajakan, Febiana segera bergerak mengikuti mereka berdua. Pun pada kedua sekretarisnya. Sebenarnya, ia tidak ingin berada di dalam satu kotak elevator, tetapi lagi-lagi Mr. Hector membuatnya tak bisa bergerak. Beruntung, ada Feline dan Rio di sisinya. Seandainya, Edward hendak berbuat kurang ajar lagi, ada yang melindunginya.

Wajah Mr. Hector dan sang sekretaris berangsur hilang terhalang pintu lift yang tertutup. Dalam satu kotak itu, terdapat empat orang yang dilingkupi kebingungan. Namun, tampaknya tidak dengan Edward yang saat ini tengah bersandar pada dinding lift sembari melipat kedua tangannya ke depan. Mata birunya itu tampak menatap kosong pada lantai pijakan.

Bagi Febiana, sikap Edward saat ini cukup menguntungkan baginya. Setidaknya, ia tidak harus terlibat perdebatan terlalu lama. Ia sudah terlalu lelah dengan beberapa masalah yang belum lama ini ia terima, terlebih sebuah kecupan panas yang bisa dianggap sebuah pelecehan.

Tiba-tiba saja, Edward menegakkan badannya. Ia menyusup di antara Feline dan Rio, sehingga membuat kedua sekretaris itu lantas berhati-hati. Edward mendekati Febiana dan masih tanpa kata-kata. Suasana hening yang sempat menenangkan kini menjadi penuh ketegangan.

"Apa yang kamu lakukan, Edward Sinclair?" tanya Febiana tanpa menoleh pada pria itu.

"Kamu akan segera tahu," jawab Edward.

Mata Febiana berkedip sampai beberapa kali, sementara kedua telapak tangannya mengepal kuat dan dirinya mulai berhati-hati. "Apa maksudmu? Jangan berpikir ingin mencelakaiku lagi."

"Bukankah justru kamu yang terus-terusan mengejar diriku, Nona? Harusnya aku yang berhati-hati bukan dirimu."

"Aku tak pernah mengejarmu! Aku ingin menghancurkanmu!"

Jantung Feline dan Rio berdetak tak karuan. Keduanya diliputi kekhawatiran. Sialnya, elevator itu seolah lama sekali dalam meluncur ke bawah. Sampai beberapa menit kemudian pintu elevator terbuka, membuat keduanya berangsur menghela napas lega.

Namun ... ternyata kelegaan itu tidak menciptakan sebuah ketenangan. Tepat ketika Feline dan Rio sudah berada di luar, sekaligus Febiana, tiba-tiba saja Edward justru menarik lengan Febiana dan membawanya kembali ke dalam elevator yang terbuka. Rio tak tinggal diam, begitu pun dengan Feline. Sayangnya, tenaga Edward sangat kuat, ia mendorong tubuh Rio yang hendak menyerangnya. Karena melihat rekannya terjatuh, Feline terpaksa menghampirinya dan mengabaikan Febiana. Lagi pula, ketika ia bersikeras menyerang Edward, yang ada justru kekalahan dan semua akan sia-sia.

"Febiana, kuharap dia tidak melakukan sesuatu yang buruk padamu. Aku akan segera meminta bantuan," gumam Feline.

Beralih pada kedua CEO besar itu yang masih di dalam elevator serupa. Edward baru melepas tangannya dari lengan Febiana.

"Apa-apaan kamu?!" tanya Febiana dengan paras nyaris diliputi air mata, sekujur tubuhnya tampak gemetar dan yang pasti ia benar-benar dibuat syok oleh ulah Edward. "Kamu gila, Edward!"

"Tenanglah, aku tak mungkin berbuat macam-macam padamu, Febiana. Terlebih, saat ini aku sedang berada di salah satu benteng terbesarmu," jawab Edward.

Febiana mendengkus. "Apa yang kamu lakukan sudah masuk ke dalam ranah kriminal, Mr. Sinclair! Aku tak akan tinggal diam!"

Edward tersenyum meremehkan. "Aku sama seperti kamu, aku bukan orang yang penakut. Dan apa ini? Setahuku Nona Febiana adalah orang yang tenang dan jauh dari rasa gentar. Tapi, saat ini kamu justru terlihat ketakutan."

"Cih! Siapa yang ketakutan? Aku sama sekali tak takut padamu, Edward!"

"Ya, ya." Edward melipat kedua tangannya ke depan. "Dalam kondisi terpojok saja, kamu masih tetap menyombongkan diri. Haruskah aku memanggilmu dengan sebutan Miss Arrogant?"

Jika bukan karena pintu elevator yang sudah terbuka, Febiana sudah pasti memberikan sanggahan. Namun, ia justru kembali ditarik oleh Edward tanpa sebuah persetujuan. Di dalam gedung hotel milik perusahaannya sendiri, Febiana justru menjadi seorang tawanan. Entah ke mana Edward akan membawanya. Untuk saat ini Febiana harus bersikap lebih tenang daripada memancing amarah seekor singa.

Tampaknya, Edward sudah memesan satu unit kamar di hotel tersebut. Pasalnya, ia menghentikan langkah tepat di depan pintu sebuah ruangan. Tak lama kemudian, ia membuka pintu itu yang tampaknya tidak dikunci.

Febiana menelan saliva, sesaat setelah memasuki kamar tersebut. "Apa yang akan kamu lakukan padaku, Edward Sinclair?" tanyanya.

Edward menatapnya dengan mata dingin dan terlihat buas serta berbahaya. "Aku ingin menyantapmu hidup-hidup, Nona!" jawabnya ketus dan tajam.

"Jangan menjadi lebih gila daripada sebelumnya! Apa kamu tahu konsekuensi yang akan kamu terima setelah memperlakukanku seperti wanita hiburan?!" Suara Febiana meninggi seiring rasa takut yang semakin menguat.

Edward mendecih. "Memangnya siapa dirimu sampai aku harus takut atas konsekuensi itu? Nyatanya kamu hanya seorang gadis yang tidak bahagia. Asal kamu tahu, Febiana, aku sudah mencari beberapa fakta tentang hidupmu."

"A-apa? Selain pria gila, kamu juga seorang penguntit? Cih! Kamu bahkan jauh lebih berbahaya dan hina daripada diriku!"

"Madam Trisia."

Mendengar nama sang bunda disebut oleh Edward, mata Febiana melebar dan nyaris keluar dari rongganya. "Bagaimana kamu bisa tahu nama ibuku?"

"Ibumu? Waaah! Luar biasa."

Febiana bergerak ke depan, hendak menghampiri Edward. "Apa maksud kamu, Edward?"

"Mm ...."

Edward memajukan satu kakinya demi mendekati Febiana. Jarak di antara keduanya sangatlah dekat. Dan tanpa sungkan Edward menyentuh pundak wanita itu, meski mendapat tepisan begitu kasar. Namun, Edward tak menyerah dan melakukannya lagi. Tepat ketika Febiana hendak membuang tangannya, ia justru merengkuh pinggang ramping wanita itu.

Mata Febiana kembali terbelalak. Dalam keadaan terkejut, tubuhnya berubah kaku. Setiap kali didera syok oleh sesuatu, Febiana selalu dirundung ketegangan sampai terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa dalam beberapa saat. Dan pada akhirnya, Edward kembali memenangkan dirinya.

Beberapa kecupan diberikan oleh pria itu padanya, dari bibir lalu turun ke tengkuk. Hangat dan terasa sangat manis. Embus napas Edward terdengar seperti sebuah bisikan romantis yang mendebarkan. Suatu sensasi menggairahkan yang tak pernah Febiana rasakan. Jujur saja, ia nyaris hanyut dalam suasana, pasalnya kelembutan dan kehangatan tipis yang diberikan oleh Edward sangatlah memabukkan. Namun, beruntung, ketika lagi-lagi Edward hendak menyentuh dadanya, Febiana langsung sadar. Ia mendorong pria itu.

"Kenapa?" tanya Edward. "Kurasa kamu sangat menikmatinya tadi. Kenapa tidak dinikmati saja? Aku haus akan wanita, fobiaku nyaris sembuh karena dirimu, Febiana."

Wajah Febiana memerah. Hatinya diliputi amarah sekaligus rasa malu. "Kenapa kamu mengenal ibuku? Apa dia mendatangimu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Tidak, lebih tepatnya kami tak sengaja bertemu ketika aku berkunjung di perusahaanmu." Edward kembali mendekati Febiana. Ia berupaya merengkuh wanita itu, tetapi kali ini Febiana mendorongnya dengan keras.

"Lepaskan aku."

"Tidak."

"Kenapa?!"

"Karena Madam Trisia memintaku untuk menjagamu. Kupikir, waktu itu tak terlalu penting, jadi aku tidak pernah membahasnya. Namun, karena kita sudah menjadi partner bisnis, permintaan Madam Trisia perlu aku turuti."

Febiana menggertakkan gigi. "Ibu," gumamnya geram.

"Pulanglah."

"Apa?"

"Tampaknya kamu butuh istirahat. Toh, sejak tadi pintu itu tidak terkunci. Kenapa tidak kabur dariku sejak tadi? Apa kamu masih ingin bersamaku lebih lama?"

"Tentu saja tidak!"

Febiana segera berbalik badan setelah diingatkan bahwa pintu kamar hotel itu tidak terkunci. Sialnya, ia justru ceroboh dan melupakan sesuatu yang penting perihal melarikan diri. Dengan segenap rasa jijik, Febiana pergi. Dan sama seperti sebelumnya, ia mencari toilet untuk membasuh bekas kecupan Edward, serta memuntahkan isi perutnya.

Sepeninggalan Febiana, muncul sosok pria dari balik ruangan lain dari kamar hotel itu. Ibnu di sana dengan membawa sebuah kamera. Ia menghampiri sang tuan yang sudah menunggunya.

"Apa kamu sudah mendapat gambarnya?" tanya Edward pada sekretarisnya itu.

Ibnu mengangguk. "Sudah, Tuan. Saya telah memotret yang diperlukan saja."

Edward merebut kamera dari tangan Ibnu dan mengamati gambar dirinya yang tengah mengecup mesra Febiana. "Hubungi wartawan Isabel, dan berikan foto ini padanya. Buat saja berita tentang diriku dan Febiana."

"Baik, Tuan."

Ibnu segera berlalu untuk melakukan tugasnya. Pria yang telah memesan kamar hotel atas nama dirinya itu, demi membantu Edward melakukan rencana jebakan, hilang di balik pintu kamar yang kembali tertutup.

"Kini kamu akan tahu dengan siapa berhadapan, Febiana. Jika aku jatuh karena rumor, maka dirimu yang akan menjadi penyelamatku, Nona," gumam Edward sembari mengusap bibirnya menggunakan sapu tangan yang baru ia keluarkan dari saku blazer.

***

avataravatar
Next chapter