16 Desakan Madam Trisia

Langkah Feline tergopoh-gopoh dengan high heels yang sedikit menyulitkan kakinya dalam keadaan buru-buru. Ia bergegas menuju apartemen Febiana tanpa mau menundanya, meski hanya untuk melepas sepatunya itu. Bukan tanpa sebab, melainkan sebuah berita gila yang baru-baru ini muncul di berbagai artikel.

Setibanya di depan pintu apartemen sahabat sekaligus atasannya itu, Feline segera menekan password yang sudah ia ketahui. Sesaat setelah membuka pintu, ia berlari kencang menuju kamar Febiana.

"Febi, Febi, Febi," ucap Feline dengan tidak sabar. Ia menghampiri Febiana yang masih terbaring lemah di atas ranjang nan mewah.

Febiana menggeliat, tanpa membuka matanya, ia bertanya, "Ada apa? Ini sudah sangat malam, jangan membangunkanku, Feline."

Feline menepuk pundak Febiana dengan sedikit kencang, sampai sahabatnya itu terpekik kesakitan. Tak lama kemudian, Febiana memasang wajah geram dan mau tak mau ia bangkit dari pembaringan.

"Ada apa sih?! Aku terlalu lelah dengan segala insiden yang terjadi hari ini, sudah terhitung lima kali aku memuntahkan isi perutku, lantaran khawatir ludah Edward Sinclair masih tertinggal. Badanku terlalu lemah, kepalaku pusing, hatiku masih terlalu syok atas pelecehan itu. Menyebalkan! Lebih sialnya, aku tidak bisa menuntutnya," gerutu Febiana.

"Ada hal yang lebih penting daripada itu, Febiana!" ucap Feline dengan suara tinggi. "Ada hal yang lebih menjijikkan daripada ludah Edward Sinclair!"

"Apa maksudmu?" tanya Febiana sembari mengernyitkan dahi.

Feline menghela napas. Ia mengalihkan arah pandang pada layar sebuah ipad. Artikel baru muncul di sana dan sudah diunggah ke berbagai media sosial. Melihat itu, mata Febiana yang sempat sembam lantaran masih mengantuk kini justru terbuka lebar. Rahangnya pun jatuh menganga. Ia juga tidak menyangka bahwa dirinya sudah masuk ke dalam jebakan Edward Sinclair!

Seiring rasa geram yang mendadak muncul, urat hijau sekaligus otot-otot bermunculan menghiasi wajah ayu Febiana. Dirinya yang selalu cerdik dan elegan kini justru seperti wanita penghibur bagi sang tuan besar. Febiana tidak menyangka bahwa insiden di salah satu kamar hotel yang telah dipesan Edward adalah sebuah trik belaka. Pria itu tidak hanya menodainya dengan serbuan kecupan, tetapi juga mengabadikannya dan lantas mengunggahnya sebagai peredup rumor penyuka sesama jenis.

Febiana berdecap. "Aku terlalu ceroboh hari ini, tidak, tetapi sejak kemarin. Edward Sinclair telah memanipulasiku. Ah ... seharusnya aku sadar tentang hal itu, bukan? Tapi, kenapa? Kenapa aku tak menyadarinya sama sekali?!"

"Sudah kukatakan sejak awal." Feline menghela napas. "Edward Sinclair itu kejam. Dia monster dingin yang nyaris seperti kanibal, dia bisa memakan sesama pengusaha demi kejayaan perusahaannya. Dan kamu tak pernah mempercayai ucapanku, Febiana."

Febiana melirik wajah Feline yang dihiasi gurat kekesalan. "Jangan ungkit masa lalu. Toh, hari ini tak bisa diundur ke hari sebelumnya. Lagi pula, apa salahnya berbisnis? Memangnya hanya Sinclair Group saja yang boleh mengambil semua keuntungan?"

"Jangan keras kepala, Febiana! Kamu sudah masuk ke dalam jebakannya, otomatis rumor yang kamu ciptakan sudah hancur. Edward Sinclair menang. Kerja sama yang melibatkan kalian berdua, aku rasa adalah salah satu trik Edward untuk membalas dendam padamu."

"Oleh sebab itu, aku juga harus menyusun rencana lagi."

Feline memejamkan mata sembari mengelus dadanya. Sejak awal, semua nasehat yang sudah ia lontarkan seolah tidak berguna. Febiana tidak pernah menganggap ucapannya, selain sekadar mendengarkan saja.

Dan tiba-tiba, Febiana bergerak mengambil ponselnya dari atas nakas sebelah kanan. Ia kembali duduk seperti semula, tetapi kali ini sembari memainkan ibu jari di atas layar ponsel yang menyala. Sebuah nomor yang sudah tersimpan, hendak ia hubungi. Namun ... sebelum jempolnya menekan tombol panggil, suara bel pintu justru berbunyi.

"Siapa, Febi?" tanya Feline heran.

Febiana menghela napas. "Ibu," jawabnya singkat.

"Ba-bagaimana kamu bisa tahu?"

"Pak Rio tak mungkin kembali di malam-malam begini. Hanya Ibu, Ayah, dan dirimu yang mengetahui apartemen pribadiku. Sementara kamu di sisiku, dan Ayah yang memiliki harga diri setinggi angkasa ke tujuh, tentu dia tidak mungkin bertamu ke rumah anaknya. Sudah pasti Ibu, aku pikir dia merasa senang karena putrinya ini bersedia mendekati Edward Sinclair."

Feline manggut-manggut. "Oh. Baiklah, aku akan buka pintu untuknya."

Sang sekretaris turun dari ranjang Febiana dan lantas menuju keberadaan pintu utama. Ia tidak mau membuat Madam Trisia kecewa, lantaran bel pintu ditekan sebanyak lima kali, menandakan jika wanita paruh baya itu sedang tidak sabar.

Feline merundukkan badannya dan bersikap hormat sesaat setelah membuka pintu dan benar-benar melihat Madam Trisia sebagai sang tamu.

"Wah, kamu ada di sini malam-malam begini, Nona Feline?" tanya Madam Trisia sembari melangkahkan kakinya dengan elegan untuk memasuki tempat tinggal putrinya.

Feline mengangguk sungkan. "Iya, Madam. Ada sesuatu yang harus saya sampaikan pada Nona Febiana," jawabnya.

"Aku tahu." Madam Trisia menghentikan langkah kaki dan menatap Feline kembali. "Di mana putri kesayanganku itu saat ini?"

"Sedang beristirahat, Madam."

"Oke ... kamu bisa pulang, aku yang akan menemaninya."

Feline menelan saliva, sementara hatinya dirundung bimbang. Sebab, ia tidak bisa meninggalkan Febiana dalam keadaan yang mungkin saja sedang tidak bagus. Apalagi setelah rumor mengenai hubungan Febiana dan Edward Sinclair sedang beredar, Madam Trisia justru datang. Feline yang mengetahui buruknya hubungan anak dan ibu tersebut, tak setega itu untuk kabur dan mencari aman sendirian.

"Mohon maaf, Madam, ada hal yang perlu saya kerjakan sebagai bahan diskusi dengan Mr. Hector. Oleh sebab itu, saya harus tinggal. Ta-tapi, saya akan berikan Anda waktu bicara dengan Nona Febi," ucap Feline memberanikan diri.

"Saya akan berikan Anda waktu?" Dahi Madam Trisia berkerut samar.

Feline menelan saliva sembari menundukkan kepala.

"Tentu saja, bahkan tanpa seizin dirimu, waktuku bersama Febiana tentu akan sangat banyak sekali. Jadi, ingat batasanmu, Nona Feline. Jangan merasa hebat, hanya karena sudah dianggap istimewa oleh Febiana."

Madam Trisia memutar badannya. Detik berikutnya, ia berjalan menuju kamar sang putri dan meninggalkan Feline seorang diri. Bahkan, ia tidak peduli bahwa ucapannya barusan menyisakan luka di hati sekretaris pribadi putrinya itu. Madam Trisia selalu tidak peduli, asal dirinya tetap memiliki wibawa dan apa pun yang ia inginkan.

"Haruskah sekasar itu pada sekretarisku, Ibu?" tanya Febiana yang sekaligus menjadi sambutan untuk ibunya.

Madam Trisia yang baru masuk ke dalam kamar itu, mau tak mau dibuat tercengang. Namun detik berikutnya, ia kembali tenang. Tanpa tahu malu, ia menghampiri Febiana dan lantas memberikan pelukan.

"Ternyata kamu adalah anak yang pintar, Nona-ku," bisik Madam Trisia, kemudian menarik dirinya lagi.

Febiana berdecap, menahan rasa kesalnya. "Pintar? Bukannya Ibu yang jauh lebih pintar? Setelah keluar dari ruang kerjaku di hari itu, Ibu tak sengaja bertemu Edward Sinclair dan menjualku, 'kan?" tanyanya.

"Mr. Sinclair berkata seperti itu? Menjual? Oh, kedengarannya terlalu kasar, Nona. Ibu tidak pernah menjual putri Ibu satu-satunya."

"Omong kosong!"

Madam Trisia menghela napas. "Febiana." Matanya menatap lekat pada paras ayu milik putrinya. "Ini kesempatan bagus! Kamu harus pertahankan hubungan itu, Sayang. Dan kita bisa menyerang Edward Sinclair dari dalam."

"Tidak mau!" tandas Febiana. "Aku tidak serendah itu! Aku akan memakai cara apa pun, selain harga diriku. Lagi pula, tak ada hubungan spesial di antara kami, Edward Sinclair hanya menjebakku. Dia ingin meredupkan rumor yang kuciptakan saja."

Madam Trisia melipat kedua tangannya ke depan. "Oleh sebab itu, manfaatkan jebakan darinya menjadi sebuah senjata. Kamu bisa mendekatinya dengan dalih, bahwa kamu penyelamat dirinya dari rumor tak sedab. Dekati dia di saat banyak orang, tentu saja Edward Sinclair tidak akan bisa menolak dirimu, Sayang. Karena, dia sendiri sudah mengemukakan bahwa ada hubungan di antara kalian."

"Ibu!"

"Jika Edward Sinclair sampai menolak anak kesayangan Ibu, buat saja drama baru bahwa kamu telah dicampakkan. Tambahi sedikit garam, jika kamu hanya dimanfaatkan untuk menutupi penyakit kelainan pada dirinya." Madam Trisia meraih jemari Febiana. "Nona-ku pahami kata-kata Ibu, dan pertimbangkan dengan baik. Ibu harus pulang karena sudah ada Nona Feline di sini."

Madam Trisia tersenyum, kemudian memutar badannya. Detik berikutnya, ia bergegas pergi dari kamar Febiana. Terhitung dua kali ia menyisakan luka, tetapi berbeda pemilik hati.

Sepeninggalan sang bunda, Febiana menjatuhkan dirinya di atas lantai mengkilat. Ia bersimpuh sembari menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia merintih yang kemudian menitikkan air mata. Dadanya seolah ditekan batu besar bernama penderitaan. Entah apa yang membuatnya sampai harus menangis, tetapi rasanya memang sangat sesak saja.

Sampai tak lama kemudian, Feline datang kembali. Wanita itu segera menghampiri Febiana dan lantas memeluknya. Feline merasa lega atas keputusannya untuk tidak pulang terlebih dahulu, lantaran Febiana memang sangat membutuhkan teman.

"Aku harus bagaimana, Feline? Aku tak mau menjual diriku pada pria itu!" rintih Febiana.

"Pakai cara lain, cara cerdas yang selalu ada di pikiranmu. Aku tidak akan pernah melarangmu lagi, Febi," jawab Feline dengan terpaksa.

***

avataravatar
Next chapter