webnovel

Pewaris Urutan Kedua

"Lagi! Lagi! Lagi!,"

"ayo Bram! satu gelas lagi,"

"hahaha.."

"Wooowww... aku tak yakin kamu bisa senekat ini bro,"

Salah satu pria yang berada pada lingkaran sofa berwarna hitam pekat mengangkat botol kosong ke atas. Tangan yang naik ke atas adalah tanda keberhasilan lelaki tersebut.

Semua orang bertepuk tangan riuh dan bersorak surai. Sayangnya lawannya belum tumbang. Bram sudah berada di tempat ini sejak dua jam lalu. Dia bergabung dengan kelompok yang terdefinisi paling mencuri perhatian di banding yang lain sebab kawanan ini mayoritas berisi para selebriti, pengusaha muda, seniman ternama bahkan seorang CEO stasiun televisi ternama, yakni Roland Bramantyo Dichter.

Cukup mencengangkan bagi siapa pun yang detik ini bercengkerama dengan putra bungsu keluarga Dichter, sang penyelenggara pesta.

Sebelum-sebelumnya, terutama malam ini Bram lebih banyak di kenal dengan kesan dingin, tertutup termasuk tak tersentuh. Pria bermata abu-abu berpadu dengan alis hitam pekat tersebut merupakan tipe pria yang enggan bergaul. Itulah sebabnya dia di kenal sebagai pribadi tak tersentuh.

Anehnya, hari ini lelaki tersebut begitu menikmati pesta dan segala ke hingar-bingarnya yang tak terkendali. Ia turut serta mengambil bagian dalam sebuah challange tergila, yang amat sangat mustahil bagi seorang Bramantyo Dicther.

Menyadari lawanya yang tumbang kembali bangkit, Bram untuk ke sekian kalinya menyahut botol berisikan minuman memabukkan tersebut dan mulai meneguknya. Hanya ada satu lawan yang bertahan. Dan tampaknya lawan Bram sudah terhanyut, hampir roboh, artinya tinggal satu botol lagi, Bram akan jadi juaranya.

Sayangnya sang CEO ini terbatuk dan tentu saja kehilangan konsentrasinya. Ia Berulang kali menggeleng kepalanya, berusaha keras menemukan kesadaran diri yang terangut zat cair yang banyak mengandung senyawa etanol tersebut.

Bram pun ambruk sebelum pesaingnya jatuh. Buru-buru Sarah Juwita bangkit dari duduknya. Menghampiri Bram yang sudah terkapar kacau, kesadarannya tinggal setengah atau bahkan telah habis.

Sejujurnya Sarah Juwita adalah salah satu orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini, dialah yang mendorong Bram masuk dalam lingkaran sofa ini tatkala lelaki itu duduk sendirian menegak koktailnya.

Sarah sengaja, sangat-sangat di sengaja. bisa jadi sudah di rencanakan oleh perempuan tersebut bersama teman-temannya. Buktinya Sarah mendapatkan senyuman teman-temannya ketika perempuan tersebut berhasil membawa Bram dalam dekapannya.

Berjalan terhuyung-huyung, Lelaki di bahu Sarah mulai mengigau, "Aku. Aku akan mengambilmu. Dasar sial! Kau penghianat!" ketika mengati pekikan ini, Bram sedang mendorong tubuh Sarah. "kau? Siapa kau," berdiri sempoyongan. Bersandar pada dinding, tak lama pria tersebut kembali terdiam, seolah akan tertidur. Tubuh Bram merosot. Dan Sarah lekas menangkapnya.

Perempuan ini tampak kesusahan. Dia memanggil waitres yang melintas. Dan meminta pewaris urutan kedua keluarga Dicther di bantu memasuki ruangan. Presidential Suite, kamar termewah dan termahal di sebuah hotel berbintang. Hanya member yang memiliki kartu VVIP yang dapat dengan mudah memilih secara langsung salah satu jajaran kamar di lantai tertinggi tersebut lalu menggesekkan kartunya pada ruangan khusus selebihnya tinggal menikmati kenyamanannya.

Sarah berhasil membawa pria impiannya ke atas ranjang, perempuan ini sudah satu tahun lebih terobsesi pada pewaris urutan ke dua keluarga Dichter. Bukan dikarenakan putra pertamanya tidak menarik. Richard Pramoedya Dichter atau lebih akrab di panggil Pram. Pria itu terkenal kejam dan termasuk lebih tidak tahu diri di banding adiknya yang misterius, terutama kehidupan pribadi Bram.

Beberapa perempuan kelas sosialita tertentu memilih mengejar Richard Pramoedya Dichter sisanya senang dengan kemisteriusan Bram di bandingkan Pram yang kabarnya sering kali berganti pasangan layaknya berganti baju di pagi hari.

"Rena.. jangan! Lepaskan bajuku!" Bram mengigau, tatkala sebuah tangan meriah kerah bajunya. Pria itu meringkuk, menarik selimut.

'rena? Siapa rena?' Sarah mengerutkan keningnya. Tiga buah garis tercipta di sela alisnya. Mengabaikan keluhan Bram, selimut tebal milik super king bad di tarik oleh Sarah dan pria yang tak berdaya itu konsisten terlelap tak sadarkan diri. Sampai-sampai seluruh tuksedonya menghilang dari tubuhnya dan kini menyisakan hem putih yang membalut tubuh solid.

Tidak butuh waktu lama, Hem pun terlucuti tanpa banyak protes dari pemiliknya.

Sarah tersenyum, menatap pria yang kabarnya masuk golongan pria cerdas yang berhasil mengungguli stasiun televisi keluarganya sendiri selepas terpecah dan membangun anak perusahaan bernama Best.Tv.

Bram yang dia dambakan sejak satu tahun belakangan benar-benar berada dalam kuasanya. Sekali dia bisa menjalankan perannya malam ini saja. Bram pasti telah terjebak oleh rasa bersalah atau kalau perlu dia memanfaatkan momentum malam ini sebagai cara menciptakan aib keduanya, hingga terpaksa Bram bertekuk lutut dalam pelukan Sarah Juwita.

Reputasi adalah citra diri paling mahal. Semua orang sadar akan hal tersebut, skandal bermalam bersama semacam ini otomatis bisa menghancurkan karier keduanya. Namun bagi Sarah karier modelnya atau keartisannya sama sekali tak ada guna di bandingkan mendapatkan putra kedua Dichter. Tentu saja hal ini bertolak belakang dengan Bram, yang mencintai pekerjaannya.

Menikah dengan pewaris kedua saja bisa membuatnya berkali-kali lipat lebih terpandang dibanding menjadi putri seorang pengacara kondang sekalipun–ayah Sarah adalah pengacara yang sering menangani kasus-kasus selebriti tanah air-.

"baik lah sayang mari kita mulai permainan ini," Sarah berkata layaknya tengah mengucapkan mantra ajaibnya.

Hendak melintasi tubuh Bram untuk meraih tasnya. Sarah berniat yang memotret pria tersebut, sesuai rentetan kejadian yang sudah tersusun rapi di dalam otaknya.

Tiba-tiba saja terdiam, beberapa detik perempuan ini bergeming. Sebelum Berangsur-angsur menggerakkan tangannya, memberanikan diri menyentuhkan jemarinya pada wajah Bram.

Perempuan itu tersenyum, dia tersipu. Sedangkan Bram masih tak sadarkan diri. Lebih-lebih tatkala Sarah menyentuhkan bibirnya pada pipi pria berdarah campuran die herrenrasse atau bahasa lainnya ras unggulan (ras keturunan murni germani) pada konsep ideologi Nazisme yang menyatakan bahwa ras Nordik, dalam taksonomi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 disebut-sebut sebagai ras Arya, yakni ras yang paling ideal dan murni.

Awalnya pipi, lama kelaman perempuan tersebut merambah ke berbagai sisi. Sarah mulai memberanikan diri menghirup bau etanol yang menguar dari dalam bibir Bramantyo. Sarah menyesapnya dan kaki sang model mengusai tubuh Bram dengan duduk di atas perut yang membentuk enam peck otot kuat nan kencang.

"rena.. hentikan!" Pria ini sempat menggeliat sekali-sekali. Dan lagi-lagi nama rena dia ujarkan. Sarah sempat terhenti. berharap gadis yang di bawa Bram ke pesta malam ini bukan bernama rena atau dia bersumpah akan menjambak gadis itu.

Sarah merendahkan tubuhnya, itu artinya keduanya kian tak berjarak, "bagaimana kalau rena menginginkan pelukanmu?" bisik Sarah di telinga lelaki itu sembari mendesah, "kita tak boleh melakukan ini, kamu tahu itu," naik turun. Antara sadar tidak sadar Bram membalas Kalimat tanya Sarah.

"tapi rena mau pelukanmu Bram," Sarah mendekap dada* terbuka tersebut, mulai menyesapi* leher Bram. Di mana lelaki tersebut hanya mampu menyajikan kegelisahan samar di wajahnya, matanya terbuka sesaat. Sempat Menyingkirkan kepala di atas tubuhnya kemudian terkantuk lagi. Dan tak sadarkan diri.

Sampai pada suatu titik yang kian meresahkan. Bahkan Bram tak mengingat apa pun kecuali suara dobrakkan pintu dari arah luar.

Kemudian ia bangkit sesaat, setengah sadar. Samar-samar, Mendengar suara perempuan marah dan itu benar-benar mirip suara Renata. Dalam ingatan samar tersebut Bram meyakini Renata asli Menarik tubuh perempuan yang menguasai tubuhnya, si perempuan di atas tubuhnya. Lalu suara jeritan hebat terdengar menyakitkan di telinga, sebab bukan lagi tangannya yang di tarik melainkan rambut perempuan tersebut.

Lalu gambaran lain yang dia ingat selain semua itu ialah penampakan gadis berpakaian serba putih yang terdiam di tengah-tengah kegaduhan. dia sekedar mengamati pergulatan dua orang yang lain. Dia tertegun, tak bergerak dan bingung, sebelum ia akhirnya berlari dan Bram kehilangan kesadarannya seratus persen.

.

.

"kamu harus mengingatnya Bram!"

"aku tak ingat apa pun Sofia. Kepalaku masih pening. Jangan membuatnya tambah parah,"

"kamu tahu -kan. Sarah! Dia perempuan serba nekat. Dia bisa menjebakmu dan tamatlah riwayatmu andai satu saja laman gosip pagi ini menampilkan skandalmu, ah! kau membuatku Frustrasi,"

"aku lebih Frustrasi darimu!" Bram berusaha keras melawan rasa nyut-nyutan di kepalanya. Saat ini sudah pagi atau lebih tepatnya pukul 8 pagi. Sang CEO tidak berada di kantornya melainkan di dalam penthouse nya bersama Sofia. Keduanya sibuk berburu berita, baik dari laman Online termasuk pada televisi yang menayangkan stasiun yang di kelola dan di pimpin oleh Bram sendiri.

Sekian detik lagi program gosip pagi di mulai. Sofia menggigiti ujung kukunya, perutnya ikut mulas merasakan kondisi yang di hadapi Bram. Tahu begini semalam ia menyamar saja dan pura-pura sebagai orang lain lalu menyusup ke dalam pesta tersebut untuk menjaga makhluk bernama Bram. Alih-alih menerima kenyataan bahwa ia di blacklist pada acara pesta tersebut.

"aku yakin kamu akan di lempar ke lumpur paling hina oleh keluarga Dicther kalau sampai," kalimat Sofia terhenti, "ah! Kau harus sujud syukur Bram!" Tiba-tiba berseru bahagia, "Pagi ini Ayu sendirian," mendengar pekikan Sofia, Bram mendongak. Ayu adalah Host program gosip pagi, rekan duet Sarah.

Ayu dengan suara centilnya, memberitahukan bahwa host Sarah sakit dan izin pagi ini.

"jangan senang dulu," Bram sendiri yang menimpali, "mau tidak mau, aku harus melobi Sarah, atau..." Kalimatnya tertahan, "Sial... aku tidak ingat siapa yang datang malam itu ke kamar," Bram mengacak-acak rambutnya.

Keduanya sempat ter jingkat tatkala suara bel pintu terasa lebih nyaring di bandingkan biasanya, "Sofia, bukankah wartawan tidak di izinkan menembus pintu penthouse kita?" Bram bertanya dan berharap Sofia mengangguk.

"kecuali mereka berhasil mengelabuhi petugas gedung ini," balas Sofia turut prihatin. Siapa yang datang? tak ada yang tahu? Entahlah.

"Ah' Sial! Sial!!" Bram enggan bangkit dari duduknya. "coba Kamu lihat Sofia!"

Next chapter