9 Teman Baru yang Menyenangkan

Berkat kejadian itu, membuat beberapa pasang mata yang ada di dalam kafe pun jadi tertuju ke arah meja kami. Bisik-bisik dan tatapan memicing dari seberang sana tak terhindarkan. Sungguh, aku sendiri benar-benar tak tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Aku juga tak tahu harus bereaksi seperti apa, karena jujur saja, otakku belum mampu memproses kejadian apa yang terjadi disini. Dan, siapa gerangan gadis yang tengah memeluk Dean ini?

Ya Tuhan, adegan macam apa yang sedang tersuguh di hadapanku ini? Kenapa aku harus menyaksikan hal seperti ini lagi?

---

"Wah, aku gak nyangka bisa ketemu kamu disini lho.", ujar gadis yang akhirnya kuketahui bernama Jihan itu antusias. Dia kini mendudukkan diri di kursi sebelahku. Setelahnya, menyesap ice frappucino yang tadi sudah ia pesan.

"Semenjak nih anak pindah dari Jogja pas lulus SMA, aku gak pernah dengar kabarnya lagi. Dia kayak hilang ditelan bumi! Ya kan, Dean?", sambungnya menatap ke arahku, sejurus kemudian memicingkan matanya pada Dean.

Dean tertawa mendengarnya. Mereka berdua tampak sangat akrab. Interaksi keduanya pun terlihat natural. Dean juga kelihatan sekali nyaman saat mengobrol dengan Jihan, begitu pula sebaliknya. Jihan merupakan sosok yang periang dan mudah bergaul dengan orang baru, mirip dengan Dean. Pembawaannya juga sangat luwes dan menyenangkan. Aku yang berada diantara mereka berdua tidak merasa seperti diabaikan sama sekali. Karena baik Jihan maupun Dean, mereka selalu berusaha melibatkanku dalam obrolan santai mereka. Sehingga aku pun terlarut di dalamnya. Aku jarang sekali merasa nyaman saat dekat dengan orang lain. Tapi, semenjak bertemu dengan Dean dan sekarang Jihan, rasanya aku seperti menemukan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

"Jihan ini temenku dari jaman SMP. Anaknya emang sok akrab dan bawel kayak gini, maklumin aja ya, Ra.", ujar Dean memperkenalkan Jihan sambil tertawa, yang dibalas tatapan sinis dari Jihan.

"Enak aja, situ ngaca dong. Nih cowok juga suka sok akrab sama orang baru, terus kalau ngomong suka gak difilter dulu, asal nyeplos aja gitu.", balas Jihan sambil menjulurkan lidahnya ke arah Dean.

Aku dibuat tertawa melihat interaksi kedua sahabat yang baru saja dipertemukan kembali ini. Kalau saja aku tidak ada diantara keduanya, mereka akan terlihat seperti sepasang kekasih. Sungguh sangat serasi. Yang cowok tampan melebihi rata-rata, sedangkan si gadis berwajah cantik rupawan. Ya, Jihan memiliki wajah yang mungil, bermata sedang dengan onyx berwarna hitam pekat. Kulitnya kuning langsat, tipikal kulit kebanyakan wanita Indonesia. Ditambah rambut coklat panjangnya yang tergerai lurus menambah daya pikat dari gadis yang berpostur tubuh cukup mungil ini. Gayanya juga sangat fashionable, mengenakan perpaduan dress putih sewarna gading di atas lutut dengan jaket denim sandwash oversize yang membalut tubuh indahnya. Sungguh sangat kontras jika bersebelahan denganku, yang terlihat sangat biasa saja dengan balutan kemeja kotak-kotak kebesaran dan celana palazzo hitam.

"Terus, gimana ceritanya kalian bisa saling kenal? Kamu kok bisa betah sih bareng sama cowok ngeselin kayak gini, Ra?", tanya Jihan sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Dean kan mahasiswa pindahan dari kampus sebelah, gak sengaja ketemu pas Dean lagi jalan-jalan muterin kampus sebelum dia mulai ngampus.", aku mengenang pertemuan pertamaku dengan Dean.

"Dan aku setuju sama kata-kata Jihan tadi, Dean nih tipikal orang yang spontan banget kalau ngomong.", lanjutku terkekeh.

Tawa Jihan seketika pecah mendengar ucapanku barusan. Dia sampai memegangi perutnya karena sulit mengendalikan tawanya. Dean yang jadi bahan gosip hanya memutar matanya malas melihat tingkah Jihan di depannya.

"Gak komplit tuh penjelasannya. Aku ketemu si Tara pas dia lagi nge-bucinin BTS di taman belakang kampus. Asik sendiri gitu dianya, sampai gak sadar kalau ada orang yang manggilin dia. Ya gak, Ra?", timpal Dean membalas ucapanku tadi.

"Eeh, seriusan kamu juga ARMY, Ra?? Astagaaa, gak nyangka banget ketemu sesama fans Bangtan!", Jihan memekik girang. Wajahnya tampak sumringah seraya menggapai kedua tanganku, kemudian dengan riang mengayunkannya ke kanan dan kiri. Saking senangnya, sampai abai dengan segala tatapan terganggu dari pelanggan lain di kafe ini.

Aku yang mendengar pengakuan Jihan barusan juga tak kalah antusias-nya. Seperti bertemu dengan teman lama, tak terasa tubuh kami berdua saling berpelukan saking bahagianya. Tanpa sadar mengabaikan entitas Dean di depan kami yang seketika terdiam melihat kami berdua dengan tatapan tak percaya. Niatnya sih ingin membuatku malu, tapi sekarang justru Dean-lah yang malah senjata makan tuan. Eh, bukan sih. Tapi secara tidak langsung telah menjembatani pertemuan antara aku dengan Jihan, yang ternyata juga sesama ARMY, sebutan untuk fans BTS. Sebelumnya, aku tak pernah menyangka bertemu dengan sesama fans dari idola yang sama akan se-menyenangkan ini. Tadinya, nge-bucin seorang diri saja kupikir sudah cukup. Tapi ternyata, memiliki teman perbucinan seperti ini terasa jauh lebih menyenangkan. Aku benar-benar bersyukur karena sudah bertemu dengan Jihan hari ini. Lagi-lagi, semuanya berkat Dean.

"Ehem, maaf nih, di depan kalian masih ada manusia lain, lho. Mau kalian cuekin-nya sampai kapan?", Dean menginterupsi keseruan Jihan yang asik menceritakan pengalamannya saat pernah menonton konser BTS di Singapura setahun yang lalu.

"Ih kamu berisik deh, gangguin aja aku lagi asik cerita ke Tara nih! Sana kamu nge-game atau main sosmed aja dulu. Sho, sho.", ketus Jihan sambil memberi gestur seperti mengusir pada Dean, membuatnya mendengus.

Aku yang sedari tadi menyadari Dean yang menatap kami berdua dengan malas, hanya bisa tersenyum kecut. Sebenarnya, aku tidak enak dan kasihan dengan Dean yang seperti diacuhkan sejak tadi. Tapi anehnya, dia tetap bertahan untuk duduk ditempatnya sambil sesekali menatap lurus ke arah Jihan. Entah kenapa aku merasa tatapan Dean pada Jihan tampak berbeda. Entahlah, mungkin seperti tatapan sendu? Melihat itu, seperti ada perasaan asing yang terasa meremat di sudut hatiku. Aku agaknya dapat memahami tatapan Dean pada Jihan, tapi aku tak ingin asal mengambil kesimpulan. Bagaimanapun, aku adalah orang baru di kehidupan mereka yang tak tahu menahu perihal keseharian dan kedekatan mereka saat masih di Jogja dulu. Aku juga bukan seseorang yang selalu ingin tahu dengan urusan orang lain, walau jujur saja aku merasa penasaran. Jadi baiknya, untuk saat ini biarlah mengalir seperti ini saja.

"Oh, Dean juga suka dengerin Mic Drop lho, Ji. Katanya sampai masuk di playlist spotify-nya tuh.", ujarku saat Jihan mulai memutar video BTS di laptop-ku. Dean tampak ter-distraksi dari kegiatan pada gawainya.

"Hah!? Gak salah Dean suka lagunya BTS?? Perasaan, dulu dia nih kayak anti K-pop gitu, tahu, Ra. Masa kalau aku lagi bucinin Bangtan atau nonton drakor, eh dianya sewot, kelihatan banget tuh gak sukanya.", sahut Jihan tampak tak percaya. "Sejak kapan kamu suka Korea??"

"Tara kalau bucin gak seheboh kamu, Ji. Pas dia nonton MV yang Mic Drop kebetulan aja genre musiknya sesuai seleraku.", Dean menjelaskan.

"Toh kalau suka lagunya belum tentu nge-fans, kan?", tambah Dean menghela nafasnya panjang.

Pandangan Jihan masih tampak penuh selidik ke arah Dean. Ia terus memicing keheranan melihat Dean yang justru tampak santai memainkan kembali gawainya.

"Bagus kan, Ji. Lagu-lagunya Bangtan jadi bisa dikenal orang yang tadinya gak interest sama K-pop.", aku pun berusaha menetralkan suasana. "Siapa tahu nih ya, suatu saat Dean bakalan jadi ARMY juga, hehe.."

Dean kemudian melirik ke arahku dengan mengangkat ujung bibirnya tipis, lebih tampak seperti seringaian.

"Ya tergantung siapa dan gimana caranya ngenalin BTS aja sih. Who knows, kan?", timpal Dean mengendikkan bahunya santai.

Jihan tampak berdecih dan menggelengkan kepalanya. Sedangkan aku hanya terkekeh mendengar penuturan Dean barusan. Kami pun kemudian menghabiskan beberapa saat di kafe, sampai aku menyadari kalau belum memenuhi kewajiban untuk sholat Ashar. Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul lima sore lebih 35 menit, yang tandanya tak lama lagi akan memasuki waktu Maghrib. Aku yang kelabakan segera meminta ijin pada mereka untuk pamit. Ternyata, Dean juga tersadar akan kealpaan kami. Pada akhirnya, kami bertiga memutuskan untuk mengakhiri sesi mengobrol dan pergi ke musholla yang untunglah juga tersedia di lantai 2 kafe ini, sehingga kami tidak perlu memutar jalan untuk pergi ke Masjid di dekat kampus.

Hari ini sangat menyenangkan. Semoga kedepannya, akan banyak hal baik lainnya yang menunggu kami di depan. Yah, semoga..

avataravatar
Next chapter