10 Pertemuan yang Canggung

Pada akhirnya, kami bertiga memutuskan untuk mengakhiri sesi mengobrol dan pergi ke musholla yang untunglah juga tersedia di lantai 2 kafe ini, sehingga kami tidak perlu memutar jalan untuk pergi ke Masjid di dekat kampus.

Hari ini sangat menyenangkan. Semoga kedepannya, akan banyak hal baik lainnya yang menunggu kami di depan. Yah, semoga..

---

Keesokan paginya, Dean tampak sudah tiba di depan halaman rumahku. Menurunkan kaca jendela mobilnya dan tersenyum melihatku yang sudah siap, menunggu kedatangannya sambil duduk di kursi panjang samping pintu rumahku. Semalam, sepulang mengantar Jihan kembali ke kos-nya, Dean sempat menghubungiku dan mengatakan ingin menjemputku untuk berangkat kuliah bersama. Karena, kebetulan pagi ini ada mata kuliah kami yang sama. Awalnya aku menolak, karena tak ingin Dean jadi kerepotan harus berangkat lebih pagi, karena jarak rumahku yang lebih jauh. Padahal, jarak apartemen Dean jauh lebih dekat kalau langsung ke kampus. Tapi, bukan Dean namanya kalau menyerah begitu saja. Dia selalu memiliki berbagai cara agar aku menyerah dan berakhir meng-iyakan ajakannya.

Hari ini Dean tampak lebih rapi, mengenakan kemeja hitam polos dan menggulung lengan kemejanya agak sampai ke siku, dipadu dengan celana jeans yang sedikit longgar. Dia tetap setia dengan sepatu slip-on hitam andalannya, sehingga membuat penampilannya sangat mempesona. Aku sampai sempat terpana dan mengerjap beberapa kali saat melihatnya turun dari mobil. Sangat mirip dengan adegan-adegan di drakor. Sedangkan aku? Rasanya ingin merutuki diriku sendiri yang berpenampilan biasa saja dan monoton. Hanya memakai kemeja kebesaran berwarna cokelat dengan hijab senada, berpadu celana palazzo hitam yang kupakai kemarin, ditambah sneakers converse putih yang warnanya kini telah pudar karena kupakai hampir setiap hari. Benar-benar seperti langit dan bumi. Ah tapi sudahlah, biasanya aku juga tidak pernah peduli dengan penampilanku. Akhirnya setelah berpamitan dengan ibu, kami berdua pun segera pergi ke kampus.

---

Sesampainya di parkiran kampus, kami turun dari mobil dan berjalan menuju ke kelas. Hiruk pikuk di kampus pagi ini sangat terasa, meskipun akan lebih ramai saat menjelang siang hingga malam. Seperti biasa, tatapan kagum dan aneh masih saja tertuju ke arah Dean dan aku yang berjalan beriringan. Padahal sudah sebulan lebih Dean berada di kampus ini, tapi memang aura ketampanannya selalu dapat menghipnotis ber-pasang mata untuk menikmati keindahannya. Bahkan, sudah ada fans club untuk Dean yang 90% berisi para gadis yang meng-idolakannya. Sisanya, ada ibu-ibu kantin, cleaning service, hingga dosen yang berusia paruh baya. Katanya, mereka ingin menjadikan Dean sebagai menantu untuk anak-anak gadisnya. Dean hanya tertawa dan berkilah dengan sopan tiap kali ada yang memintanya untuk menikahi putri mereka. Bahkan nyaris setiap hari ada saja gadis yang menyatakan perasaannya pada Dean, namun ia selalu menolaknya dengan halus.

"Nanti pulang kampus jam 1, kan? Temenin aku makan siang ya, Ra? Aku traktir deh, mau ya?", tiba-tiba Dean menawariku.

"Gak usah ditraktir lah, mau makan siang dimana dulu? Bareng Jihan juga?", tanyaku.

"Nope, pokoknya kutraktir, hehe. Ada deh, nyaman kok tempatnya. Kita berdua doang. Jihan seharian ini sibuk katanya. Gimana?", ujar Dean berjalan mundur sembari memposisikan tubuhnya berhadapan denganku.

"Nanti aku ijinin ke ibu deh, please mau ya, Ra?", Dean kekeh agar aku menyetujui ajakannya.

"Aku kok mencium sesuatu yang fishy, ya? Yakin makan siang doang, kan?", ujarku yang tiba-tiba membuat Dean kaget, nyaris membuatnya terjatuh setelah menabrak pelan tong sampah di belakangnya.

"E-eh, enggak kok. Beneran cuman ma-makan siang.", Dean mendadak tergagap tak berani menatap mataku sambil menggaruk tengkuknya. Posisinya kini sudah kembali di sebelahku.

"Kalau aneh-aneh, aku langsung pulang pokoknya.", kataku bernada ancaman. "Gak bisa lama-lama juga, nanti sore aku janji nemenin ibu belanja bahan kue soalnya.", sambungku. Hanya tawa kikuk Dean yang terdengar setelahnya.

"Ah, ..hm, kalau gitu aku anterin sekalian belanja bahan kuenya sama ibu, ya? Hitung-hitung tanda terima kasih udah mau nemenin makan siang bareng.", tawar Dean kali ini.

"Gak usah, makasih. Nanti kamu malah muter-muter. Aku naik taksi online aja pulangnya.", tolakku.

"Lho pulangnya tetap kuantar dong, Ra. Tadi aku kan udah janji sama ibu, bakal nganterin kamu pulang lagi. Pokoknya gak ada penolakan, oke? Oke.", final Dean dengan senyum kemenangannya.

Telak. Lelaki berparas dewa ini entah kenapa seringkali sangat sulit dibantah. Kadang aku suka heran dengan Dean yang tidak bosan berada di dekatku. Padahal, teman-temanku yang lain tidak ada yang betah selalu menempel padaku seperti Dean. Mereka bilang, aku orang yang membosankan karena tidak terlalu banyak bicara. Aku pun selalu menolak ajakan mereka untuk sekedar kumpul bareng. Itu yang membuatku tampak seperti seorang anti-sosial. Padahal nyatanya, aku jauh lebih nyaman seorang diri. Tapi kini, ada Dean yang nyaris selalu tampak bersamaku. Dengan segala aura dan energi positif yang ia bawa untuk hidupku. Entah kenapa, aku pun membiarkannya begitu saja. Mungkin karena selama ini, Dean tak pernah membuatku risih atau tidak nyaman. Dia selalu menghargaiku sebagai teman, perempuan dan juga mampu menjaga batasan saat bersamaku. Aku sungguh bersyukur karenanya.

---

Sepulang kuliah, seperti yang telah disepakati, aku menemani Dean untuk pergi makan siang di salah satu restoran yang katanya terletak di tengah kota. Dean menjadi irit bicara kali ini, sangat berbeda dengan dia yang ceria dan biasanya tak pernah kehabisan topik pembicaraan. Ia tampak beberapa kali mengernyitkan dahi sambil menatap lurus ke arah jalanan. Dari arah samping, aku melihat raut wajahnya yang tampak tidak nyaman. Seperti ada yang mengganggu pikirkannya, atau mungkin sesuatu yang ia coba sembunyikan dariku? Entahlah. Tatapannya saat ini benar-benar sulit untuk diartikan. Bahkan saat mencoba menegurnya, ia tampak tersentak kecil, seolah baru tersadar dari lamunannya. Kemudian mencoba tetap tersenyum yang justru tampak dipaksakan dan sesekali menjawab pertanyaan yang kuberikan sekenanya.

Jalanan siang ini cukup lengang, karena hari ini masih weekday dan untuk kebanyakan pegawai kantor sudah kembali dari jam istirahatnya. Hanya lantunan lagu yang bergantian terdengar di pendengaran, memecah sunyi serta menemani perjalanan kami. Setengah jam kemudian, akhirnya sampai di restoran yang dimaksud oleh Dean. Aku sempat dibuat terkejut melihat eksterior bangunannya yang tampak sangat mewah. Awalnya aku ragu untuk masuk ke dalam restoran mewah ini, tentu saja karena outfit-ku yang tampak seperti salah kostum untuk menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Tapi, Dean terus meyakinkanku dan meminta agar aku mengikutinya saja. Dan benar saja, begitu memasuki bagian dalam restoran, aku makin dibuat terkesima dengan desain interior ala Eropa yang terkesan tak kalah mewah dan elegan. Yang terlintas dibenakku langsung kepada menu-menu disini. Aku yakin sekali, harganya juga pasti fantastis dan tak mungkin ramah dikantong mahasiswa biasa sepertiku.

"Ma, kenalin ini Tara, teman dekat Dean.", ujar Dean dihadapan sang mama. "Ah ya, siang juga Tante Vera, Cindy. Apa kabar?", lanjutnya.

'Oh, tidak', gumamku dalam hati.

Atmosfer disekitar ruangan ini seketika menjadi berat. Firasatku tepat. Keputusanku menyetujui tawaran Dean adalah salah satu kesalahan besar yang mungkin pernah kubuat. Ini bukan sekedar makan siang biasa, aku sudah menyadarinya sejak awal, tapi kenapa aku tidak menolaknya? Hingga berakhir pada situasi yang semestinya tak boleh ku-intervensi ini. Lalu, apa yang sebaiknya kulakukan sekarang? Bagaimana caranya untuk pergi ditengah situasi seperti ini? Apakah aku hanya akan mengikuti alur yang dibawa oleh Dean? Bagus. Sejuta pertanyaan tiba-tiba berputar bergantian di kepalaku dan rasanya membuatku ingin muntah. Sejak kedatangan Dean yang membawaku kemari, tatapan seorang wanita paruh baya yang kemudian kuketahui bernama Bu Liana, beliau adalah ibu dari Dean, terlihat menegang dan tak bersahabat. Begitu pula dengan kedua orang lainnya, Tante Vera dan Cindy, mereka tampak mengernyitkan dahi melihatku dan jelas sekali menunjukkan tatapan tak suka.

Dean tampak tenang menarik kursi untukku, sialnya, tepat disebelah Bu Liana, sang mama. Aku sempat melotot ke arah Dean, tapi ia justru tersenyum dan menganggukkan kepala mantap, tanda kalau tak apa aku duduk disana. Ia pun kemudian menarik sebuah kursi dan memposisikan dirinya ditengah, seperti seorang kepala keluarga. Aku hanya bisa menunduk karena merasa sesak, seolah pasokan udara disekitarku seperti diserap habis sampai tak tersisa sedikit pun untukku. Kepala dan perutku seperti memberikan sinyal negatif yang membuatku semakin tak nyaman. Tubuhku terus mengeluarkan keringat dingin. Dean menepuk pundakku sekilas dan tersenyum, sepertinya berusaha menenangkanku. Tapi sayangnya, itu sama sekali tak membantu dan malah membuatku semakin gugup.

"Sepertinya tak perlu lagi basa-basi, ya? Dean, mama dan Tante Vera ingin menjodohkanmu dengan Cindy. Kalian akan bertunangan bulan depan dan menikah akhir tahun ini."

avataravatar
Next chapter