2 Perkenalan

Dia yang sedari tadi masih setia menatapku, tampak mengernyit dan menaikkan sebelah alisnya. Ujung bibirnya tampak terangkat seperti tersenyum remeh, tapi tak lalu membuatnya terlihat menyebalkan dimataku. Justru dengan ekspresinya saat ini, aura dominannya seketika menyeruak dan membuatku semakin membatu di tempat, tak dapat berkutik.

Ya Tuhan, apakah lelaki di hadapanku ini benar-benar titisan dewa??

---

"Hei, apa kau anak kampus ini juga? Dari jurusan mana?", ucapnya memulai obrolan. "Biasa disini, ya? Sedari tadi aku mencoba memanggilmu, tapi tak ada jawaban."

"Oh, apa kau menggunakan earphone sepertiku?", lanjutnya sembari menunjuk-nunjuk telinganya.

Aku masih diam mematung dan belum bergeming karena saking terkejutnya.

"Haloo, apa kau mendengarku?", ia pun mengernyitkan alis. Kali ini ia melambai-lambaikan tangan kirinya tepat dihadapanku.

"Ah? Oh! Hmm, tidak, tidak. Ini pasti mimpi, aku pasti sedang berhalusinasi. Ahahaha." aku bermonolog pada diri sendiri seraya mengalihkan pandanganku darinya.

Aku masih berusaha mengumpulkan kewarasanku dan mengesampingkan entitasnya. Kutepuk pipi kanan dan kiriku dengan cukup keras, hingga menimbulkan suara yang nyaring. Meyakinkan kalau apa yang sedang terjadi saat ini hanyalah mimpi ataukah kenyataan. Dan ya, kedua pipiku benar-benar perih. Astaga, jadi ini bukan mimpi! Kupandangi lagi lelaki berpostur tinggi itu berulang kali. Dengan tatapan penuh selidik seakan tak percaya akan sosoknya. Menatapnya dari atas ke bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Demi apapun, entah apa yang kulakukan saat ini. Tolong seseorang, siapapun, sadarkan aku. Jangan biarkan aku lebih lama lagi mempermalukan diriku sendiri dihadapan manusia setengah dewa ini :(

Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa yang menyapa indera pendengaranku. Tawa itu seketika menyadarkan atas kebodohan yang kulakukan sejak tadi. Hanya dalam hitungan detik, tubuhku kembali membeku saat lelaki itu dengan tanpa pemberitahuan mengikis jarak diantara kami berdua. Dia memberikan gestur seperti sedang mengendusku beberapa kali, sejurus kemudian segera menjauhkan tubuhnya kembali ke jaraknya yang semula. Lagi-lagi, ia kembali menautkan kedua alisnya. Kini, tatapannya yang seolah tampak tak percaya pada apa yang baru saja terhirup di indera penciumannya.

"Kau ...kau kok? Ah, kau sudah menikah dan memiliki bayi, ya? Oh, atau... mungkinkah kau baby sitter yang sedang beristirahat disini?"

Hei, tunggu! Apa katanya barusan? Menikah? Bayi? Baby sitter? Wah, lelaki ini sungguh tidak sopan. Berani sekali dia mengatakan hal itu pada orang yang bahkan belum dikenalnya. Sayang sekali, hanya parasnya saja yang rupawan. Tapi attitude nya? Hm, aku tidak yakin.

"Kenapa dia diem aja, sih!? Atau jangan-jangan, dia memang tidak bisa mendengarku?"

Berkat nada bicaranya yang sedikit meninggi membuat kesadaranku kembali pada tempatnya.

"Oh! Tolong ya, jangan bicara sembarangan! Aku masih berstastus mahasiswa disini.", akhirnya aku membuka suara. "Aku belum berkeluarga, apalagi memiliki bayi. Dan satu lagi, aku juga bukan baby sitter. Karena aromaku berbau bayi, apakah lantas dianggap seperti itu?", lanjutku dengan nada sedikit sarkastis.

"Ah, bu, bukan begitu maksudku. Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya penasaran, kenapa kau ber-aroma bayi.", balasnya tidak enak hati sambil menggaruk pelipisnya dengan kikuk.

Lagi-lagi, hening merambati atmosfer disekitar kami. Aduh, kenapa suasananya jadi canggung begini, sih? Aku juga kenapa malah menanggapi ucapannya dengan nada bicara yang tak bersahabat begitu!? Setelah ini, dia pasti menganggapku sebagai gadis aneh dan ketus. Padahal ini adalah pertemuan pertama kami, tapi aku malah memberi first impression yang kurang baik karena kebodohan yang kubuat sejak awal tadi. Ya mau bagaimana? Tiba-tiba saja muncul sosok lelaki super tampan sedang berdiri dihadapanmu dan mengajakmu bicara secara kasual. Dia tampaknya tidak menyadari efek yang ditimbulkan oleh wajah rupawannya pada jantungku yang malang ini.

Tapi, satu fakta mengejutkannya adalah, si manusia setengah dewa ini ternyata cukup blak-blakan dengan apa yang ada dipikirannya. Ia tak memproses terlebih dahulu kata-kata yang meluncur dari bilah bibirnya, sehingga ucapannya terdengar cukup frontal. Kupikir, kepribadian lelaki dengan paras dewa begini akan terkesan dingin dan irit bicara, seperti kebanyakan karakter utama pria di cerita fiksi yang kubaca. Atau tipe tsundere? Yaitu, pribadi yang sulit mengekspresikan dirinya dengan benar. Sosok yang tampak cuek dan dingin diluar, tapi sebenarnya memiliki kepribadian yang hangat jika kau sudah mengenalnya dengan baik.

"Hm, sudahlah lupakan saja. Ngomong-ngomong, aku sepertinya baru pertama kali melihatmu disini. Kau anak baru, ya?", syukurlah, akhirnya aku melanjutkan obrolan ke arah yang benar setelah tadi diselimuti keheningan yang canggung.

"Ah, bisa dibilang begitu. Aku baru saja pindah ke kampus ini. Kenalkan, aku Dean Kalandra, mahasiswa pindahan dari kampus D, semester 2." ia kemudian memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya ke arahku.

Aku segera menangkupkan kedua tanganku di depan dada, sebagai simbol untuk bersalaman tanpa saling bersentuhan. Dia pun menarik tangan kanannya kembali dan meletakkan di depan dadanya dengan sopan.

"Oh, ternyata kau adik tingkat, ya. Aku Taradya Prasasti, semester 4."

"Wah, maaf, maafkan aku. Aku sudah sangat tidak sopan denganmu tadi, hmm ...Kak Tara?", ia segera berujar dengan ragu. Kali ini sembari menggaruk kikuk area tengkuk lehernya.

"Haha, jangan dipikirkan. Panggil aku Tara saja, kita hanya beda setahun, kan. Dan maaf, aku juga sempat ketus padamu tadi.", kataku sudah lebih rileks. "Lalu, kau pindahan dari jurusan apa? Dan bagaimana kau bisa sampai disini?"

"Aku jurusan Fotografi. Tadi hanya mencoba berkeliling kampus dan sampai kemari. Kudengar ada suara dari belakang pohon, karena penasaran lalu kuikuti hingga mendapatimu disini.", jawabnya dengan nada ringan.

"Oh, kita satu jurusan, dong. Aku juga mengambil prodi Fotografi. Kalau ada yang ingin kau tanyakan, jangan ragu tanya saja padaku, ya.", tawarku ramah.

Ia pun segera tersenyum lebar. Raut wajahnya berubah menjadi sangat cerah. Astaga, senyumnya benar-benar sangat manis! Aura ketampanannya meningkat berkali lipat saat dia tersenyum seperti ini. Jujur, aku masih tak menyangka ternyata kami berada di satu jurusan yang sama. Senang tentu saja, karena mendapatkan teman baru di bidang yang sama untuk berbagi ide dan pemikiran. Tapi, aku juga tak bisa menampik keadaan jantung yang saat ini debarannya berpuluh kali lipat lebih berisik daripada sebelumnya.

Sungguh banyak sekali kejutan dari lelaki yang akhirnya kupanggil Dean ini. Dia ternyata adalah adik tingkatku. Entah bagaimana, kami jadi cukup banyak mengobrol, terutama tentang Fotografi. Ternyata, Dean tak seperti perkiraanku. Dia sungguh berwawasan dan sangat enak diajak berdiskusi. Harus kuakui, Dean juga pandai menemukan topik pembicaraan yang menyenangkan. Tak membutuhkan waktu lama, sampai kami bisa bertukar tawa seolah sudah saling kenal satu sama lain. Hingga terdengar kumandang adzan yang menandakan sudah memasuki waktunya sholat Ashar, yang akhirnya menghentikan obrolan kami.

Semoga saja ini menjadi awal yang baik untuk perkenalan kami selanjutnya, ya :)

avataravatar
Next chapter