14 Penasaran dan Partner Kolaborasi

Ah, harusnya aku merasa senang karena pada akhirnya permohonanku dikabulkan, kan? Hari ini aku tidak jadi membahas soal kejadian kemarin dengan Dean. Tapi entah kenapa, rasanya seperti ada yang mengganjal dan membuatku gelisah. Aku penasaran sekaligus khawatir dengan apa yang terjadi, hingga membuat Dean sebegitu paniknya tadi. Sebenarnya ada masalah apa? Lalu, kenapa pula dengan hatiku ini?

---

Akhirnya ujian praktek hari ini selesai dengan lancar. Aku bersyukur karena bisa mengerjakannya dengan baik dan tak ada hambatan yang terlalu berarti. Saat istirahat sholat maghrib tadi, aku sempat menghubungi balik Jihan tapi ponselnya tidak aktif. Akhirnya aku pun mengiriminya pesan singkat. Aku baru saja mendapat notifikasi kalau ada telepon masuk darinya tadi siang. Entah karena sinyal atau apa, notifikasi yang masuk di gawaiku jadi terlambat seperti itu. Saat ini sudah pukul 7 malam, aku bersegera ke parkiran motor bermaksud untuk pulang. Tapi, tiba-tiba terdengar suara temanku yang memanggil dari arah seberang parkiran. Sambil melambaikan tangannya padaku, memintaku untuk ke tempatnya. Akhirnya aku pun urung menyalakan mesin motor dan mengembalikan motorku ke tempat semula.

"Eh Ra, maaf ya tadi aku lupa ngasih tahu kalau kakak tingkat untuk proyek kolaborasi peminatan Fotografi Model dan Arsitektur kita akhirnya udah dapat.", ujar Mita, temanku. "Dia Kak Ghani, kating yang seangkatan sama Kak Bima.", lanjutnya.

"Kak Ghani yang mana, ya? Aku gak tahu orangnya.", balasku mengernyit heran.

"Iya, dia emang jarang kelihatan di kampus sih. Sempat ngambil cuti 2 semester juga, karena setahun yang lalu mengalami kecelakaan dan kakinya patah tulang yang lumayan serius. Nah, baru 2 minggu yang lalu dianya kelihatan lagi di kampus.", jelasnya panjang lebar.

"Waduh, yakin itu kating beneran udah gak apa-apa, Mit? Kok aku khawatir nanti kakinya belum sembuh total tapi harus berkeliling kesana-kemari untuk riset dan pengambilan foto. Apa gak masalah?", tanyaku ragu.

"Hahaha tenang aja kali, Ra, dia udah sembuh total kok sekarang. Katanya malah udah main futsal lagi tuh, minggu lalu bareng Kak Bima.", jawabnya riang sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Lagian, Kak Ghani tuh orangnya asik lagi, Ra. Fleksibel juga, gak ribet. Dia termasuk list incaran kating untuk partner kolab lho, karena kredibilitas-nya yang tinggi setelah Kak Bima.", lanjutnya sumringah. Yang kubalas anggukan 2 kali setelahnya.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang dan pasrah dengan keputusan yang sudah diambil. Yah, cukup sulit memang untuk meminta bantuan kakak tingkat dalam proyek kolaborasi seperti ini. Apalagi, hanya kakak tingkat yang telah ditunjuk oleh dosen saja yang dapat diminta sebagai partner kolaborasi. Mereka dengan tingkat kompetensi yang baik dan berpengalaman di lapangan. Kebanyakan dari mereka memang lelaki, karena akan bertanggung jawab penuh selama proyek berlangsung, tentunya tetap di bawah pengawasan dosen pembimbing. Biasanya, para kakak tingkat ini sangat pemilih dan meminta berbagai syarat, sebelum memutuskan setuju atau tidak untuk menjadi partner kolaborasi. Salah satunya ialah dengan menunjukkan beberapa hasil foto yang pernah diambil, untuk melihat seberapa baik kemampuan membidik target foto.

Dan sepertinya, aku harus bersyukur karena di proyek ini berpasangan dengan Mita, salah satu cewek hits dari jurusan fotografi yang namanya lumayan terkenal dikalangan fakultas. Meminta bantuan pada kakak tingkat bukanlah perkara yang sulit untuknya. Dia juga merupakan fans berat Kak Bima, yang kemarin secara terang-terangan memintanya untuk menjadi partner kolaborasi kelompok kami. Aku yang sempat shock, akhirnya berkali-kali mengucap syukur, karena sudah ada kelompok lain yang berhasil mengajak Kak Bima untuk bergabung dengan mereka. Jadi aku tak perlu merasa canggung selama proyek ini, terlebih setelah melihat kemesraan Kak Bima dan kekasihnya di sebuah mall sebulanan yang lalu.

Kami akhirnya mendudukkan diri di bangku depan Fakultas Hukum, yang berada tak jauh dari parkiran motor. Mita membuka laptopnya dan meng-klik inbox email yang berisi formulir pendataan nama kelompok untuk peminatan fotografi. Kami hanya diberi waktu 2 hari untuk mencari kakak tingkat yang telah ditunjuk sebagai partner proyek kolaborasi. Dan batas deadline pengiriman formulirnya besok siang. Tapi karena besok jadwal kuliah Mita dan aku berbeda, kami memutuskan untuk submit formulir malam ini saja agar besok tidak ada tanggungan lagi. Setelah selesai, akhirnya kami saling berpamitan untuk pulang. Mita berlalu ke arah parkiran mobil, karena dia sudah ditunggu pacarnya untuk pulang bersama. Sedangkan aku kembali menuju parkiran motor dan melajukan motorku untuk pulang.

---

Seusai makan malam dengan ibu, kami berbincang sejenak di ruang keluarga. Bukan kegiatan yang baru sebenarnya, tapi semenjak semalam aku mencurahkan isi hatiku pada ibu, kualitas obrolan kami jadi lebih hangat dan akrab. Ibu sempat menanyakan soal Dean, tapi aku berkilah belum bertemu dengannya hari ini. Sepertinya ibu menyadari ada yang kusembunyikan darinya, tapi beliau hanya tersenyum sambil mengelus rambutku sayang. Meskipun terkadang suka kepo, tapi ibu tak pernah memaksakan kehendaknya dan akan menunggu hingga aku siap untuk bercerita, seperti kemarin. Setelah hampir 1 jam mengobrol, kami pun memutuskan untuk beristirahat dan kembali ke kamar masing-masing. Tak lupa ucapan selamat tidur serta kecupan hangat di puncak kepalaku yang selalu ibu berikan, rasanya seperti obat mujarab di penghujung hari yang panjang dan melelahkan ini.

Sesampainya di kamar, aku memutar spotify dengan playlist lagu-lagu BTS favoritku. Dengan volume kecil, kubiarkan suara para member terdengar mendayu menyapa runguku melalui speaker bluetooth yang ada di sudut nakas sebelah tempat tidur. Selalu berhasil membantuku menenangkan pikiran yang sedang kalut seperti saat ini. Kemudian kucoba mengecek ponselku lagi, untuk melihat apa ada notifikasi baru yang masuk. Ternyata nihil. Bahkan Dean belum mengabariku sama sekali, sejak terakhir tadi siang kami berpisah di kafe Kalamanda. Ditambah pesan yang kukirimkan pada Jihan juga belum sampai, tanda gawainya masih belum aktif. Sepertinya Jihan memang sibuk sejak kemarin. Makanya saat tadi melihat ada notifikasi panggilan tak terjawab darinya, pasti ada sesuatu yang penting, pikirku. Kuharap Jihan dan Dean baik-baik saja.

Ah, sudah lama aku tidak merasakan perasaan seperti ini. Dulu aku sosok yang mudah bersosialisasi, meskipun tak sebaik teman-temanku yang lain. Tapi, sepeninggal ayah, aku jadi lebih pendiam dan terkesan menutup diri. Mungkin karena mengalami kehilangan yang teramat dalam hingga membuatku terpuruk saat itu. Entah kenapa, aku jadi mulai lebih nyaman sendirian. Tak pernah membiarkan seorang pun mengusikku. Dan hanya saat aku sedang nge-bucin, pikiranku dapat terdistraksi serta membuatku melupakan kejadian pahit yang terjadi di masa lalu. Tapi sejak bertemu Dean dan Jihan, mereka seperti menarik kembali berbagai emosi dalam diriku yang menghantarkan perasaan hangat, serta warna baru dalam hidupku.

Sudah setengah jam sejak aku kembali ke kamar tapi belum juga ada kabar yang masuk dari kedua teman dekatku itu. Aku jadi khawatir pada Jihan dan juga atas kepanikan Dean tadi siang. Membawa pikiranku pada hal yang tidak-tidak. Sebenarnya jika menuruti gengsi, aku ingin berusaha tidak peduli dan membiarkan Dean yang mengabariku duluan. Terlebih mengingat rasa kecewa pada Dean yang masih belum terobati dengan sempurna. Tapi entah kenapa, saat mengingat raut wajahnya yang tadi terlihat sangat panik, ada rasa nyeri dihatiku. Rasanya, tak kuasa membayangkan ada sesuatu yang membuatnya sedih atau kecewa. Akhirnya setelah melakukan pergulatan batin, aku memutuskan menekan ego-ku dengan mengiriminya pesan singkat.

"Assalamu'alaikum. Kamu baik-baik aja, Dean? Tolong kabari kalau ada sesuatu, ya."

Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur, berguling ke kanan dan ke kiri dengan ponsel yang masih di dalam genggaman. Berharap aku telah mengambil keputusan yang tepat dengan mengirimi Dean pesan. Sambil sesekali melihat layar gawaiku, menanti adanya pesan masuk atau mungkin panggilan telepon, entah itu dari Dean atau Jihan. Tanpa terasa, 10 menit, lalu 20 menit, bahkan sudah 1 jam berlalu sejak aku mengirim pesan pada Dean, tapi masih belum ada jawaban. Waktu kini menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Meskipun masih diliputi rasa khawatir dan penasaran, tapi kantuk pun mulai menyerang dan akhirnya kuputuskan untuk istirahat. Karena besok aku juga ada jadwal kuliah jam 7 pagi.

Yah, mari tutup hari yang cukup melelahkan ini dengan menjemput bunga tidur. Berharap esok akan ada kabar baik serta menjadi hari yang lebih baik.

avataravatar