7 Patah Hati / Menata Hati ?

Bukan hanya kepala, tapi dadaku rasanya seperti diremat dengan kuat. Kupejamkan kedua mataku sambil menyandarkan kepala di bantalan kursi penumpang mobil Dean. Kuatur nafas se-normal mungkin, seraya menyamankan posisiku agar menghalau air mata yang sudah sejak tadi ingin menerobos keluar. Keadaanku benar-benar sedang tidak baik saat ini. Dari nada suaranya, Dean tampak begitu panik saat menanyakan keadaanku. Sesekali ia juga melontarkan kata-kata penenang.

Maafkan aku, Dean. Saat ini aku benar-benar butuh waktu untuk sendiri dan tidak ingin berbicara dengan siapapun.

---

Malam harinya sepulang dari mall sore tadi, aku masih merebahkan diri di atas tempat tidur. Karena jujur saja, untuk mengangkat tubuhku barang sebentar, rasanya berat sekali. Kepalaku pun masih terasa berdenyut, tapi sudah tidak separah saat kembali dari mall tadi. Lalu, bagaimana dengan kabar hatiku? Porak poranda. Rasanya, 2 kata itu sangat mewakili apa yang sedang kurasakan saat ini. Aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Mungkin benar jika aku terlalu naif, karena hanya melihat dari sudut pandangku sendiri. Tanpa pernah berusaha sedikit pun. Tak mau berusaha mencari tahu lebih tentang Kak Bima. Yang kulakukan selama ini hanya tenggelam di dalam anganku sendiri yang tak bertepi. Lalu, bagaimana bisa aku berharap Kak Bima memiliki rasa yang sama? Bahkan, tipe gadis idealnya saja aku tidak tahu.

Aku menyadari apa yang terjadi padaku murni karena kesalahanku sendiri. Tapi kenapa air mata ini tak mau berhenti? Tiap kali teringat kejadian di mall tadi, hatiku rasanya tercekat dan tak ingin percaya. Aku sama sekali tak menyangka kalau Kak Bima bisa melakukan hal se-berani itu di depan umum. Walaupun ia dan kekasihnya duduk agak di dalam, tapi posisi kedai kopi itu ada di tengah mall dengan konsep terbuka dan tak ada satu pun sekat penutup disana. Adegan mesra yang mereka tampilkan tadi tentu saja bisa terlihat dengan jelas. Bahkan, Dean juga menyadari hal itu dan sempat berusaha menutupi area pandanganku dengan telapak tangannya. Tapi sayangnya, terlambat. Aku terlanjur melihat lelaki yang telah mengisi hati dan pikiranku selama 2 tahun terakhir ini, sedang bercumbu mesra dengan seorang wanita.

"Ra, turun yuk, kita makan malam dulu.", lamunanku seketika buyar saat mendengar ketukan dibalik pintu kamarku, disusul suara lembut ibu yang menyapa setelahnya.

"Ibu duluan aja ya, aku gak lapar.", balasku sekenanya.

"Tapi ada Dean disini, masa ibu makan berdua aja sama dia?", ujar ibu yang seketika membuatku terbangun dari posisi rebahanku.

Segera kusambar handphone yang kuletakkan asal di atas tempat tidurku. Kondisinya mengenaskan karena aku lupa mengisi daya baterainya. Ah, sepertinya Dean berusaha menghubungiku sedari tadi. Karena saat kusambungkan ke pengisi daya dan kunyalakan, notifikasi di handphone-ku segera bermunculan satu persatu dan memenuhi layar utama. Sebagian besar notifikasi panggilan tak terjawab dan chat dari Dean. Dan benar saja, saat kubuka ruang obrolannya, dia bilang akan mampir ke rumah untuk mengecek langsung keadaanku. Astaga, tanpa sadar aku telah membuatnya sangat khawatir akan keadaanku. Saat Dean mengantarku pulang tadi, aku memintanya untuk langsung pulang karena ibu sedang diluar dan baru akan pulang nanti malam. Mungkin, dia berpikir sesuatu terjadi padaku dan ibu masih belum pulang. Panik tak mendapat satu pun balasan chat dariku, ditambah aku juga tak mengangkat panggilan darinya, ia pun memutuskan untuk mendatangiku lagi ke rumah.

"Maaf bu, aku siap-siap dulu sebentar lalu turun, ya.", ucapku berhadapan dengan ibu, sesaat setelah kubuka pintu kamar.

"Lho, sayang? Kamu habis nangis, ya? Kenapa?", raut cemas seketika tampak di wajah ibu.

"Gak ada apa-apa, bu. Pas jalan sama Dean, aku mendadak pusing, terus langsung dianter pulang.", jawabku sedikit menunduk, tak bisa menatap mata ibu.

"Kamu hutang cerita ya, sama ibu. Pasti ada sesuatu tadi.", ibu lalu menangkup wajahku, membuatku bersitatap dengan beliau. "Kalau udah tenang, oke?"

Hening sesaat, sebelum akhirnya aku mengangguk.

"Yaudah, cepetan siap-siap nya ya, kasihan nak Dean tuh udah lama nungguin.", balas ibu seraya mengelus pipiku.

"Lho, udah daritadi emangnya?", tanyaku heran.

"Iya, tadi ibu udah manggil-manggil kamu dari bawah, tapi gak ada jawaban. Ibu pikir kamu ketiduran, makanya ibu susulin ke kamar."

"Ya Allah, maaf bu. Yaudah aku cuci muka bentar dan pakai jilbab terus turun, kok.", ujarku tergesa.

Ibu pun tersenyum dan mengangguk paham. Beliau kemudian turun dan menemui Dean di lantai dasar. Hanya butuh 10 menit untukku bersiap, kemudian menyusul ibu dan bertemu dengan Dean.

"Kok kamu pakai kacamata, Ra? Matamu kenapa?", tanya Dean keheranan begitu melihatku yang berjalan menghampiri meja makan.

"O-oh, ini.. Iya, tadi mm... Gak tahu kelilipan apa, terus aku ...kucek sampai merah.", kelakarku gugup.

"Yakin kelilipan, Ra?", sahut ibu sekembalinya dari dapur sambil membawa mangkuk sayur. Ibu tampak tersenyum jahil dan langsung kuhadiahi pelototan tajam ke arahnya, hingga beliau terkekeh.

"Iya nih, kok sampai bengkak gitu matanya? Kamu gak habis nangis, kan?", selidik Dean mengamati wajahku.

Aku langsung terbatuk dan tampak salah tingkah mendengar ucapan Dean yang sayangnya tepat sasaran. Aduuh, apa benar-benar terlihat jelas habis menangis, ya? Alasan apa lagi yang akan terdengar masuk akal untuk kukatakan, agar tidak membuatnya makin curiga? Bagaimana ini, bukan hanya kepalaku yang tiba-tiba berdenyut kembali, tapi jantungku juga berdebar anomali. Bukan lagi karena perkara patah hati, tapi ini karena tatapan Dean yang sejak tadi tak juga ia lepaskan dariku. Ia masih menatap penuh tanya dan terselip khawatir juga disana.

"Mungkin kepalanya tadi pusing banget, Dean, sampai nangis si Tara.", sahut ibu terdengar sedikit membantu.

"Eh, beneran Ra? Sakit banget, ya? Tapi udah minum obat, kan?", Dean pun langsung membanjiriku dengan pertanyaan.

"Ah? Oh, i-iya, udah kok tadi. Tapi ya hmm, karena pusing banget, jadi ya gitu..", jawabku lebih terdengar seperti mencicit dengan kalimat yang menggantung.

"Hehehe iya, Tara sepertinya udah baikan kok. Apalagi sampai disamperin nak Dean kayak gini, pasti langsung sembuh.", gurau ibu sambil mengerlingkan sebelah matanya ke arahku.

Mendengar ucapan ibu yang menggoda seperti itu, membuat wajahku seketika menghangat dan rasa malu menjalar ke seluruh tubuhku. Ibu benar-benar sangat senang membuatku salah tingkah di depan Dean seperti sekarang ini. Aku seketika tak dapat berkutik dengan kata-kata ibu barusan. Apalagi mendengar suara tawa ringan dari Dean, entah kenapa tubuhku meremang dibuatnya. Merasa semakin sulit mengontrol rasa gugup, aku segera menyela dan beralasan untuk mengambil air putih di dispenser sudut ruangan untuk kami bertiga. Awalnya ibu tak mengijinkan, tapi aku berkeras dan langsung berjalan memunggungi mereka. Setelah beberapa saat, aku pun kembali dengan dua gelas air putih di tangan. Dean tampak berdiri dan membantu mengambil gelas ditanganku. Kemudian, ia menyuruhku duduk saja dan mengambil gelas terakhir yang masih kuletakkan di nakas sebelah dispenser.

Kami pun kemudian memulai kegiatan makan malam dengan khidmat. Interaksi ibu dan Dean terdengar sesekali mendominasi ruang makan. Sedangkan aku hanya fokus dengan makanan yang ada dihadapanku. Masih belum mampu bersuara, karena entah kenapa sulit menyesuaikan diri. Padahal, ini bukan kali pertama Dean ikut menyantap makan malam bersama kami. Biasanya, kami bertiga selalu berbincang dengan santai, berkat ibuku yang humoris dan sangat pandai mencari topik pembicaraan, ditambah Dean yang tampak antusias mengimbangi sekaligus pendengar yang baik. Membuat suasana di ruang makan ini terasa begitu hangat. Tapi, malam ini rasanya berbeda. Aku tak tahu, apa yang sebenarnya terjadi padaku saat ini. Debaran jantungku terasa tidak biasa. Entah kenapa, ada gugup yang luar biasa menguar disekelilingku. Hanya dengan sesekali mencuri tatap ke arah Dean yang duduk di depanku, tampak tertawa riang berkat ungkapan-ungkapan konyol ibu. Bahkan juga sesekali, tatapan mata kami bertemu. Yang sejurus kemudian disapa senyum lembut dari Dean. Rasanya, ada berjuta kupu-kupu beterbangan di perutku.

Astaga, sebenarnya aku ini kenapa?

avataravatar
Next chapter