12 My Mother, My Hero

Dean segera melajukan mobilnya keluar dari halaman restoran tadi. Sebelumnya, ia sempat merapalkan kata 'Maaf' beberapa kali, hingga akhirnya melajukan mobil SUV miliknya dengan kecepatan cukup tinggi kemudian membelah jalanan sore itu.

Tuhan, kenapa jatuh cinta terasa menyesakkan seperti ini? Apa ini memang takdirku, yang tidak beruntung dalam hal percintaan?

---

Saat ini pukul 8 malam. Selepas makan malam dengan ibu, aku segera merapikan piring dan gelas yang tadi kami gunakan dan membawanya ke dapur untuk dicuci. Ibu kemudian menghampiriku dan mengelus puncak kepalaku penuh sayang. Jantungku berdesir merasakan kasih sayang ibu yang selalu beliau tujukan padaku. Hal itu sekaligus membuat hatiku berdenyut nyeri, hingga mataku pun kembali terasa panas karena mengingat kejadian tak mengenakkan di restoran tadi siang. Dengan sekuat hati, aku menahan gejolak emosi sejak kepulanganku yang diantar Dean tadi sore. Dan masih seperti biasa, dia tetap turun dari mobilnya lalu berpamitan pada ibu sebelum kembali ke apartemen. Aku mati-matian menahan tangis yang sudah berada diujung mata, agar ibuku tak menaruh curiga. Bahkan, aku tetap mengantarkan ibu membeli bahan kue sesuai rencana. Aku bersyukur masih bisa bertahan sampai detik ini. Meskipun saat ini, rasanya aku benar-benar hancur. Sudah tak kuasa lagi menahan air mata yang sedari tadi ingin menerobos keluar.

"Sayang, sudah bisa cerita belum sama ibu? Hutang cerita yang kemarin belum kamu penuhi, lho.", ujar ibu masih dengan belaian sayang di kepalaku.

"Kayaknya, hutang ceritanya nambah deh, ya? Sudah, jangan ditahan lagi, menangislah, nak. Kalau ditahan nanti jadi penyakit, gak baik.", seketika pertahananku runtuh, suara lembut ibu menyentak kalbu-ku.

Aku segera berbalik dan memeluk ibu dengan begitu erat, seraya meluapkan segala emosi yang sejak tadi kutahan sampai membuat dadaku terasa sangat sesak. Karena demi Tuhan, aku sangat bersyukur memiliki ibu sebaik beliau. Pelukan ibu selalu menjadi obat terbaik ketika aku mengalami masa sulit. Akhirnya, malam itu aku menceritakan semua keluh kesahku, berurutan dan satu persatu agar ibu mudah memahaminya. Jujur saja, aku merasa sangat lega begitu mencurahkan isi hatiku pada ibu. Awalnya, aku masih enggan menceritakan kejadian tadi siang, karena tak ingin pandangan ibu terhadap Dean berubah. Tapi sepertinya ibu menyadari ada hal yang masih mengganjal dibenakku. Dengan sabar, beliau memberikan kalimat penenang agar aku tak perlu merasa sungkan atau terbebani untuk berbagi cerita. Karena ibu tak ingin aku menyimpan semuanya sendirian, seperti yang selama ini kulakukan semenjak ayahku tiada.

Ibu, sosok wanita kuat yang membesarkanku seorang diri sepeninggal ayah 5 tahun silam karena kecelakaan mobil tunggal. Ibu juga selalu tersenyum dihadapanku, tak pernah mengeluh barang sedikit pun, walau aku sangat yakin beliau pasti merasakan lelah yang teramat sangat. Tapi, ibu tetap berusaha memberikan yang terbaik yang bisa beliau lakukan untukku. Syukur Alhamdulillah, usaha catering kue ibu berjalan lancar. Sedikit banyak, ibu menurunkan ilmunya padaku tiap kali aku membantu beliau menyelesaikan pesanan. Pelanggan lama maupun baru tetap mempercayakan ibuku untuk membuat pesanan kue basah dan kering, entah dalam jumlah sedikit maupun banyak. Juga tak sedikit yang meminta ibu untuk membuatkan kue-kue cantiknya agar disuguhkan pada acara pernikahan.

"Tiap orang memiliki hal baik dan buruk dalam dirinya. Ibu yakin, sebenarnya mama Dean hanya ingin yang terbaik untuk anaknya, makanya beliau memilihkan jodoh yang sesuai untuk menjadi pendamping hidup Dean. Meskipun ibu juga kecewa pada Dean dan tidak membenarkan sikap mamanya. Tapi percayalah nak, waktu akan menjadi penyembuh atas rasa sakit yang kita terima. Anggaplah rasa sakit itu menjadi cambuk untuk kita, agar menjadi pribadi yang lebih bijak ke depannya. Asal kita mau memaafkan dan memohon bantuan Allah untuk berdamai dengan segalanya."

Bak diguyur dengan air surgawi, tiap kalimat bijak yang ibu tuturkan padaku seketika meluruhkan segala beban dalam benakku. Seolah semua keraguan dan gundah yang selama ini terasa mengikat, kini perlahan terlepas. Rasanya setelah malam ini, aku bisa menyapa hari esok dengan lebih ringan dan bersemangat.

"Ibu harap, setelah ini kamu tidak perlu berkecil hati ya, sayang. Ibu percaya, Tara anak ibu, adalah anak yang tangguh. Janji sama ibu ya, nak, kamu harus bahagia dan terus menggapai impianmu. Gak usah khawatirkan apa pun, ibu akan melakukan sebisa ibu untuk selalu mendukungmu. Dan yang terpenting, yakin ada Allah yang akan selalu memberikan perlindungan serta jalan keluar terbaik-Nya."

Ibu kemudian memberikan pelukan hangatnya sembari mengusap perlahan punggungku yang bergetar karena menahan tangis. Kali ini bukan karena sedih, tapi justru tangis haru dan bahagia. Selama ini, kupikir dengan menyimpan segalanya seorang diri, itu akan dapat mengurangi beban pikiran ibu. Dengan berusaha tidak menunjukkan kesedihan, tadinya aku berharap ibu akan lebih tenang karena aku bisa bertanggung-jawab atas diriku sendiri. Kuharap ibu dapat mengandalkanku agar tidak berusaha keras seorang diri, apalagi tujuan ibu agar aku dapat mewujudkan impianku menjadi seorang photographer handal yang memiliki galeri seni sendiri. Ternyata, pikiranku keliru. Justru dengan berbagi rasa dengan ibu, membuatku jauh lebih tenang. Begitu pula dengan ibu, beliau mengatakan, justru kalau aku memendam masalah sendirian, ibu akan merasa gagal menjadi ibu yang baik untukku. Karenanya, kuputuskan kedepannya untuk lebih jujur dan perlahan membuka diriku pada ibu dan juga sekitarku.

Malam ini, aku benar-benar dapat tidur dengan lelap. Bersyukur karena sudah mengutarakan isi hatiku yang disambut baik oleh ibu. Beliau selalu penuh pengertian dan seringkali mengajarkan banyak hal, salah satunya perihal memaafkan. Jujur saja, rasa sakit yang tadi ditorehkan oleh Bu Liana masih sangat membekas dan belum sepenuhnya hilang. Sepertinya butuh beberapa waktu untuk menyembuhkan lukanya. Tapi tak apa, aku yakin dapat melaluinya dengan baik. Aku memiliki ibu terbaik yang akan selalu ada untukku. Begitupun aku, akan berusaha agar menjadi sandaran ketika ibu lelah. Kami berdua sudah berjanji untuk selalu memberi dukungan dan saling menguatkan satu sama lain. Jadi, aku tak memiliki alasan lagi untuk menyimpan dendam atau menyerah dalam menggapai impianku. Justru aku harus bangkit, agar kelak menjadi orang sukses dan menepis semua anggapan remeh yang pernah mereka sematkan padaku.

'Bu, aku sayang ibu. Terus berada disisiku, ya? Jangan pergi dan meninggalkanku sendirian. Ya Tuhan, jagalah ibuku. Karena hanya ibu, satu-satunya keluarga yang kumiliki di dunia ini'

Sesaat sebelum aku terlelap, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Dean. Kubiarkan saja hingga panggilan itu berhenti. Gawaiku saat ini mode getar, jadi suaranya tidak akan menganggu. Entah sudah berapa kali Dean mencoba menghubungiku. Sejak tadi mengantarkanku pulang, ia terus saja melakukan panggilan telepon dan spam chat-nya tampak memenuhi layar notifikasi. Sekilas aku melihat ia menulis, 'Maafkan aku'. Hal itu terasa menyakitkan. Terlebih karena eksistensi Dean yang mulai meng-intervensi hati dan pikiranku. Maaf Dean, aku butuh waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Terus terang, aku sangat kecewa padanya yang telah membohongiku dan mendadak membawaku ke acara pertemuan keluarganya seperti tadi. Dia seolah memanfaatkan-ku untuk dapat menghindari rencana pertunangan yang diputuskan secara sepihak oleh ibunya. Ditambah pengakuan cinta yang sempat Dean lontarkan tadi rasanya hanya sebagai dalih saja, guna memperkuat penolakannya terhadap rencana pertunangan itu.

Ah, apa yang sebaiknya kulakukan saat besok bertemu dengan Dean di kampus? Untung saja besok kami tidak ada mata kuliah yang sama, setidaknya aku tak perlu berada di satu kelas dengannya dan membiarkannya duduk bersebelahan denganku seperti dulu. Jujur saja, aku belum siap melihat Dean. Tapi mau bagaimana lagi, besok akan diadakan ujian praktek untuk mata kuliah Illustrator Corel Draw, sehingga aku tak mungkin bolos dan melewatkannya. Seperti janjiku pada ibu, aku harus menggapai impianku. Maka dari itu, kuputuskan untuk belajar lebih serius dan menekuni bidang yang telah kupilih saat ini. Semoga semesta kali ini berpihak padaku agar mulai besok bisa menghindari Dean untuk sementara waktu, sampai aku bisa memulihkan rasa kecewa dan sakit hatiku padanya.

Ya Tuhan, kumohon bantulah aku kali ini. Aku tahu ini kekanakan dan tak menyelesaikan masalah. Tapi aku hanya butuh waktu untuk berdamai dengan hatiku.

avataravatar
Next chapter