5 Mahasiswi Pindahan itu...

Untunglah tak perlu menunggu lebih lama, atensi Dean akhirnya tertuju pada kedua netraku. Awalnya dia mengernyit sejenak, tapi kepekaannya membuatku sungguh bersyukur. Sedetik kemudian, senyum pun menghiasi bibir indahnya. Ia menatapku dengan lembut seraya mengangguk, meng-isyaratkan kami sudah bisa pergi dari tempat ini sekarang. Aku membalas anggukannya mantap. Tentu saja, inilah yang kutunggu sejak tadi. Ah, akhirnya aku bisa lepas juga dari tatapan menyesakkan disana.

---

Saat ini, aku dan Dean telah sampai di pelataran Masjid dekat kampus untuk melaksanakan kewajiban sholat Dzuhur. Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Kami berpisah menuju ke tempat pengambilan wudhu, lalu sepakat untuk mengikuti sholat berjamaah. Tampak beberapa orang jamaah yang sudah mengisi shaf sholat yang telah disediakan dan telah berbaris dengan rapi. Walaupun tak mengikuti sholat jamaah tepat waktu, karena jam kuliah kami hari ini baru selesai pukul 12.30 siang dan memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu, tapi Alhamdulillah masih banyak orang yang biasanya berinisiatif untuk melakukan sholat jamaah seperti saat ini. Tak lama kemudian, imam sholat telah mengisi tempatnya dan kami pun memulai sholat berjamaah dengan khidmat.

Seusai sholat, Dean langsung pamit pulang duluan karena dimintai tolong mamanya untuk menjemput sahabat sang mama di bandara. Sahabat mama Dean ini baru saja pulang dari Korea, beliau menjemput putri semata wayangnya yang baru saja merampungkan program exchange student selama setahun disana. Sungguh beruntung bisa menapakkan kaki di negeri ginseng yang merupakan tujuan destinasi wisata bagi sebagian besar wisatawan asing. Terutama bagi fans K-pop sepertiku, hal itu adalah salah satu impian yang ingin sekali kuwujudkan beberapa tahun mendatang. Bukan hanya karena ingin bertemu dengan para Oppa Korea, tapi ada banyak hal yang ingin ku-eksplorasi disana. Yah, semoga saja Tuhan bersedia meng-ijabahi segala niat baik yang telah lama kupanjatkan ini.

---

Aku berjalan menuju ke perpustakaan untuk mencari beberapa buku yang akan kugunakan sebagai panduan literasi, guna menyelesaikan tugas makalah yang tadi diberikan oleh Pak Jun, dosen mata kuliah Sinematografi Dasar. Perpustakaan terlihat cukup ramai siang ini, tampak beberapa mahasiswa dari berbagai jurusan sedang duduk sambil membaca. Sebagian lain tampak sibuk diantara rak buku untuk mencari buku yang mereka butuhkan. Suasana tenang khas perpustakaan selalu memberikan efek nyaman yang melegakan. Setelah beberapa waktu yang lalu aku berkutat dengan tugas Desain Editing yang tiba-tiba waktu pengumpulannya dipercepat. Hingga mengharuskanku begadang 2 malam untuk dapat menyelesaikannya tepat waktu.

Tiba-tiba atensiku dipaksa beralih ke arah pintu masuk perpustakaan, karena suara "Whoaa" yang meskipun tidak terlalu keras namun terdengar cukup nyaring. Dilanjutkan dengan suara "Sstt, psst" yang bersahutan setelahnya, karena tentu saja, ini perpustakaan. Ketenangan menjadi hal utama yang harus dijaga. Tatapanku masih terkunci pada sosok seorang gadis yang sangat cantik, yang membuat atensi dan decakan kagum seisi perpustakaan barusan. Wajahnya terasa asing, sepertinya baru kali ini aku melihatnya di kampus. Karena meskipun ada banyak sekali gadis cantik dan menawan di kampus ini, tapi level kecantikan gadis itu berbeda. Dia seperti titisan dewi kecantikan, Aphrodite. Kau tidak akan pernah bosan memandangnya. Dia mengingatkanku pada Dean. Tentu saja sosok lelaki tampan juga tak sedikit yang dapat memanjakan mata kaum hawa di kampus ini. Tapi paras rupawan milik Dean yang bak pahatan dewa Yunani, membuat sosoknya sangat mencuri perhatian dimanapun dan kapanpun dia berada.

Betapa terkejutnya aku saat gadis itu menarik kursi yang berjarak hanya 1 meter di arah jam 9 dari posisiku saat ini. Lagi-lagi, tatapanku terkunci pada wajahnya yang sangat menawan. Gadis cantik pemilik rambut panjang berwarna dark brown yang sedikit ikal di bagian ujungnya itu tampak menyadari tatapanku dan balik menatapku sejenak. Namun, sejurus kemudian mengembalikan atensinya penuh pada lembar buku yang berada dihadapannya. Merasa tidak sopan karena telah menatapnya begitu intens, saat kedua netra kami bertemu, aku seketika salah tingkah, namun segera memberikan gestur menunduk dengan tubuh yang gelisah. Ah, rasanya gelagatku sudah seperti maling yang ketahuan mencuri saja. Meski demikian, sesekali aku masih saja mencuri tatap padanya. Dari arah samping begini, aura kecantikannya terasa menguar dengan kuat. Wajahnya oval tapi terkesan mungil. Onyx nya indah dengan bulu mata yang lentik, hidungnya bangir tapi tak berlebihan, ditambah bibir tipis yang menawan sewarna cherry.

Bukan hanya aku saja, lihatlah berpasang mata dari segala arah di ruangan ini. Terutama para kaum adam. Mereka berlomba-lomba memandangi manusia titisan dewi itu dengan tatapan kagum dan rasa ingin tahu yang tinggi. Sedangkan para gadis? Sebagian dari mereka tampak melihatnya dengan tatapan takjub, dan sebagian lainnya menatap remeh dan tak suka. Kurasa gadis-gadis itu hanya merasa iri karena mereka memiliki saingan dengan paras yang bak seorang dewi. Meskipun menurutku, kecantikan adalah suatu hal yang relatif. Penilaian seseorang akan tampilan visual juga beragam. Orang yang memiliki kecantikan hati dan berwawasan lah yang akan lebih bertahan lama serta membekas, daripada hanya mengelukan sisi visual yang nantinya akan termakan usia juga.

---

"Mahasiswi pindahan?", suara tanya dari seberang telepon terdengar mengalun di telinga.

"Iya, mungkin jadwal kepindahannya sama denganmu. Hanya saja dari kampus dan jurusan yang berbeda.", balasku menjelaskan.

"Hmm, bisa jadi sih. Tapi kenapa dia baru kelihatan sekarang? Harusnya dia kan, sudah ada di kampus ini sejak seminggu yang lalu?"

"Entahlah, kurang tahu juga. Tapi epic banget sih tadi, keadaan di perpustakaan sempat riuh sebentar kan, sebelum penjaga perpus memberi tanda untuk tetap tenang.", lanjutku menjeda. "Vibes nya sangat mirip denganmu--"

"Vibes apa?", Dean segera menyahut ucapanku.

"Itu lho, dia kayak idol Korea gitu, tinggi juga udah mirip model. Coba deh, saking cantiknya banyak cowok yang gak berkedip melihatnya.", ujarku sambil tertawa mengingat kejadian di perpustakaan tadi.

"Haha tipikal cowok kayak gitu, sih. Padahal cantik rupa gak selalu menjamin apa yang ada di kepala dan hatinya, kan? Kalo cantik atau ganteng tapi hatinya busuk, sama aja bohong kan?", rentetan ucapan Dean membuat jantungku tiba-tiba berdebar anomali.

Ucapannya barusan seperti menyiratkan sesuatu. Entah kenapa aku merasa nada bicaranya mendadak muram dan gelap. Ingin sekali aku bertanya padanya, tapi ada rasa segan yang masih terasa. Karena pertemanan kami juga baru terhitung 1 minggu ini. Aku menjaga batas-batas privasi saat berbicara dengan orang lain, bahkan pada teman-temanku. Sebelum orang itu yang dengan keinginannya sendiri membuka dirinya, aku tidak akan meng-intervensi. Baru kusadari, setelah seminggu bersama Dean, ternyata kami memiliki beberapa kesamaan pemikiran. Dean juga begitu dewasa dan membuatku kagum. Meskipun lebih muda dariku, tapi aku merasa dia lebih cocok disebut "kakak", karena sesungguhnya dibalik segala sikap cerianya, kedewasaan Dean akan sangat terasa saat kau melakukan deep-talk dengannya.

"Siapa tahu, gadis itu cantik rupa dan hatinya, kan?", aku menambahkan.

"Ya semoga saja, sih. Soalnya kalo standar penilaian seseorang dari parasnya doang, sayang banget sama potensinya, dong? Orang bakalan lebih fokus ke visual dan abai sama apa yang ada di diri orang itu.", lagi-lagi ucapan Dean membuat kedua ujung bibirku terangkat sempurna dibalik panggilan telepon ini.

Lihatlah, meskipun dianugerahi dengan paras yang tampan nan rupawan, namun Dean bukan tipikal orang yang hanya mementingkan visual. Ia juga tidak suka memandang remeh orang lain. Contohnya saja, dia masih mau berteman denganku yang lebih mirip seperti kentang ini. Warna kulit Dean memang tan eksotis, tapi aku bahkan sedikit lebih gelap. Postur tubuhku cukup tinggi, namun sedikit berisi. Tapi, Dean tak pernah melakukan body shamming dan aku sangat bersyukur akan hal itu. Mungkin itu juga yang membuatku merasa nyaman dan tak risih saat bersama dengannya, karena dia juga sangat menghargaiku sebagai perempuan yang berhijab.

Seperti yang Dean katakan tadi, menilai seseorang itu bukanlah semata dari segi visual, tapi poin utamanya adalah pada apa yang ada dihati dan kepalanya. Hanya saja, saat ini standar penilaian kebanyakan orang dari segi visual memang terlalu tinggi. Hingga seringkali mematikan potensi yang ada pada sebagian besar orang yang merasa tak percaya diri dengan kondisi visualnya. Hanya karena visual mereka yang tak sesuai dengan ekspektasi secara garis besar.

avataravatar
Next chapter