13 Haruskah Menemuinya?

Semoga semesta kali ini berpihak padaku agar mulai besok bisa menghindari Dean untuk sementara waktu, sampai aku bisa memulihkan rasa kecewa dan sakit hatiku padanya.

Ya Tuhan, kumohon bantulah aku kali ini. Aku tahu ini kekanakan dan tak menyelesaikan masalah. Tapi aku hanya butuh waktu untuk berdamai dengan hatiku.

---

Keesokan harinya, aku pun berangkat ke kampus agak siang, karena mata kuliah pertama berlangsung pukul 10 pagi. Dan disinilah aku, di dalam kelas yang tampak mulai ramai berdatangan para mahasiswa lain yang juga mengikuti mata kuliah Antropologi Visual. Begitu sampai di kampus tadi, aku tidak mampir kemanapun dan langsung memilih untuk memasuki ruang kelas. Aku sengaja berangkat tidak terlalu cepat seperti yang biasa kulakukan. Salah satu upayaku untuk mengurangi kemungkinan bertemu dengan Dean di area kampus. Mau bagaimana pun, kami berada di fakultas dengan prodi yang sama pula. Otomatis kemungkinan untuk bertemu juga jadi sangat besar, ditambah Dean adalah mahasiswa tingkat awal dengan jadwal mata kuliah yang lebih padat. Tentu sosoknya akan sering terlihat di sekitar kampus ini. Beberapa saat kemudian, dosenku pun memasuki kelas dan perkuliahan dengan jumlah 3 SKS itu akhirnya dimulai.

Awalnya, semua berjalan dengan lancar, sampai ekor mataku menelisik keluar kelas dan menemukan entitas Dean sedang melewati koridor depan kelasku dengan seorang mahasiswa lain yang tidak aku kenal. Refleks, aku menundukkan kepala sambil berpura-pura sibuk membaca buku panduan materi di atas meja. Untung saja, sepertinya Dean tidak menyadari keberadaanku di dalam kelas itu. Aku segera menghela nafas lega saat sosoknya sudah berlalu dan tidak terlihat lagi. Saat kupikir keadaan sudah aman terkendali, fokusku beralih pada sebuah notifikasi chat yang tiba-tiba muncul di layar gawaiku. Nama Dean ada disana dengan isi chat tampak bertuliskan, "Kutunggu di depan kelasmu, Ra.", yang segera membuat kedua mataku terbelalak ketika membaca notifikasi singkat itu.

'Aduuh, kenapa dia tahu aku ada disini, sih.'

Ini baru hari pertama semenjak kejadian kemarin dan sepertinya, aku tak bisa menunda bertemu Dean untuk meluruskan apa yang terjadi. Lebih tepatnya, mungkin aku akan mendengar penjelasan Dean atas tindakan impulsif yang kemarin dilakukannya. Sebenarnya, aku masih belum siap untuk berhadapan dengannya, tapi kalau sudah terlanjur ketahuan begini, mau tidak mau aku harus menghadapinya dengan lapang hati dan kepala dingin, kan? Mungkin semakin cepat masalah ini diselesaikan, akan membuat kami berdua merasa lebih baik. Walau untuk hubungan pertemananku dengan Dean ke depannya, aku masih belum tahu bagaimana untuk menyikapinya.

---

Saat ini waktu menunjukkan pukul 1 siang, kelasku baru saja berakhir dan beberapa mahasiswa sudah tampak berhamburan keluar kelas setelah sang dosen pergi meninggalkan ruangan. Aku masih terdiam di tempat dan bermaksud untuk keluar belakangan, agar dapat sedikit saja mengulur waktu bertemu dengan Dean. Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya dengan langkah ragu dan enggan beranjak dari kursi untuk mengikuti yang lain keluar dari kelas. Detak jantungku makin kencang tiap aku berjalan satu langkah menuju pintu keluar kelas ini. Berkali-kali aku merapalkan doa dalam hati, berharap mungkin akan ada keajaiban kecil yang terjadi, agar aku tidak perlu bertemu dengan Dean sebentar lagi. Demi apapun, hatiku belum siap. Lebih dari rasa kecewa dan marah, entah kenapa aku sangat berdebar. Rasanya seperti saat akan bertemu dengan seseorang yang spesial (yah, Dean memang spesial sih :').)

Tapi ternyata aku salah. Saat melenggang melewati pintu kelas, aku terkesiap kaget karena sosok Dean telah berada persis dihadapanku. Jantungku serasa ingin lompat dari tempatnya saat merasa tubuh Dean menunduk untuk menyetarakan tinggi badan kami. Saat ini, jarak wajah kami berdua hanya kurang lebih satu kilan jari. Sangat dekat, hingga membuatku refleks memundurkan kakiku 2 langkah ke belakang sampai menabrak pintu kelas, meskipun tidak terlalu kencang. Dean tampak terkejut saat melihatku sedikit oleng karena berat tubuhku mendadak tak seimbang setelah menabrak pintu kelas. Aku pun mengaduh kecil dan dengan sigap Dean menahan lenganku, agar aku tidak terjatuh. Setelah posisiku sudah kembali berdiri dengan benar, ia tampak terkesiap lagi dan segera melepaskan genggamannya. Atmosfer kecanggungan terasa begitu menguar, hingga tak terasa membuatku menundukkan kepala dengan kikuk. Dean yang menyadari itu segera berdeham berusaha menetralkan keadaan.

"Mau sholat dulu atau makan siang dulu?", tawar Dean kemudian.

"Sholat dulu aja.", balasku masih berusaha menghindari bersitatap dengan Dean. Akhirnya dibalas anggukan olehnya.

Saat ini suasana di koridor dan area sekitar kampus sedikit sepi. Tampak beberapa mahasiswa yang masih ada di dalam kelas sedang mengikuti mata kuliahnya siang ini. Sedangkan bagi para mahasiswa yang telah menyelesaikan jadwal mata kuliahnya, atau yang masih menunggu jadwal selanjutnya sepertiku biasanya akan berkumpul di kantin kampus, joglo yang biasa menjadi lokasi meeting point atau perpustakaan. Ada juga yang memilih pulang sebentar bagi mereka yang rumah atau kosnya dekat dari kampus. Hanya segelintir mahasiswa yang tampak mendatangi Masjid dekat kampus untuk sholat atau duduk bersantai dipelataran masjid. Ujian praktek yang kukatakan semalam akan berlangsung pukul 4 sore nanti, jadi masih ada cukup waktu untuk beristirahat sejenak.

Kini Dean dan aku berjalan bersisian, dengan jarak yang sedikit lebih jauh dari biasanya. Saling berdiam satu sama lain dan tak ada sepatah kata pun yang berhasil meluncur dari kedua belah bibir kami berdua. Padahal biasanya, Dean-lah yang selalu menemukan topik pembicaraan untuk kami berdua dan berakhir mengobrol dengan seru. Canggung. Itulah kata yang tepat menggambar situasi diantara kami saat ini. Jujur, aku tak tahu harus bersikap seperti apa saat nantinya Dean mengangkat topik tentang kejadian kemarin. Aku hanya tidak ingin melampiaskan kekecewaanku secara egois dan berujung menyakiti perasaannya. Karena saat melihat Dean tadi, tiba-tiba hatiku terasa seperti diremat dengan kuat. Bak memutar kembali ingatanku atas kata-kata yang dilontarkan oleh Bu Liana, mama Dean, yang teramat menyayat hati.

---

Kami berdua telah menyelesaikan kewajiban sholat Dzuhur di Masjid dan saat ini akan beranjak pergi ke kafe Kalamanda. Setelah tadi Dean kembali dengan tawarannya untuk makan siang bersama sebelum ia menjelaskan semuanya. Seperti dejavu, aku seketika teringat saat kemarin ia mengajakku pergi makan siang dan berakhir dengan menyakitkan. Tapi, buru-buru aku mengenyahkan pikiran burukku dan menghela nafas panjang untuk menenangkan hatiku yang sedari tadi tak berhenti berdebar anomali. Setelah tadi sempat berargumen, karena aku bersikeras ingin membawa kendaraan masing-masing, tapi Dean menolaknya dan lagi-lagi ia berhasil membuatku mengikuti kemauannya untuk menggunakan mobilnya saja. Dalam perjalanan ke kafe, hanya suara radio yang terdengar mengalun ditengah kesunyian yang melanda.

Sesampainya di kafe Kalamanda, kami memasuki kafe itu dengan Dean yang berjalan di depanku. Ia pun memilihkan tempat yang nyaman dan tidak terlalu banyak dilewati orang, agar kami bisa duduk santai menikmati makan siang serta rileks berbincang tentang masalah kemarin. Setelah memesan menu makanan dan membayar ke kasir, Dean kembali ke meja kami yang berada dilantai 2 kafe ini dengan sofa empuk sebagai kursinya. Biasanya, aku memilih duduk di spot favoritku untuk nge-bucin seperti kemarin di lantai 1, tapi sayang sudah ditempati lebih dulu oleh orang lain. Beberapa saat kemudian, pesanan kami sudah tiba. Waiter yang mengantarkan pesanan kami tampak segan dihadapan Dean, saat ia pamit untuk kembali. Aku merasa sedikit aneh akan sikap waiter itu, tapi tak terlalu memusingkannya. Akhirnya kami berdua segera menyantap makanannya dengan khidmat.

Baru beberapa saat kami menikmati santapan siang, tiba-tiba terdengar suara handphone Dean berdering dengan cukup nyaring. Awalnya Dean mendengus kecil, tapi setelah melihat layar gawainya dan mengetahui siapa yang ada diseberang telepon, ia pun segera mengangkatnya.

"Apa!? Iya aku segera kesana! Tolong jaga dia dulu ya.", wajah Dean seketika panik sesaat setelah menerima panggilan telepon itu.

Dean pun memohon maaf padaku karena harus pergi sekarang, katanya ada hal genting yang harus segera diurusnya. Dengan langkah tergesa, ia pun pergi meninggalkanku sendirian dan dibuat kebingungan di tempat. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa Dean tampak panik dan terburu-buru pergi? Berkat itu, selera makanku mendadak hilang. Untunglah hanya sisa sedikit, tapi aku benar-benar tak bisa melanjutkan acara makanku. Karena tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak dan pikiranku berputar pada hal-hal yang buruk, membuat perutku terasa tidak nyaman hingga ingin muntah. Menyeruput lemon ice tea milikku hingga habis dan segera beranjak untuk kembali ke kampus. Aku memutuskan untuk kembali ke kampus saja dan mampir ke perpustakaan guna mencari tambahan literasi bahan ujianku nanti.

Ah, harusnya aku merasa senang karena pada akhirnya permohonanku dikabulkan, kan? Hari ini aku tidak jadi membahas soal kejadian kemarin dengan Dean. Tapi entah kenapa, rasanya seperti ada yang mengganjal dan membuatku gelisah. Aku penasaran sekaligus khawatir dengan apa yang terjadi, hingga membuat Dean sebegitu paniknya tadi. Sebenarnya ada masalah apa? Lalu, kenapa pula dengan hatiku ini?

avataravatar
Next chapter