6 Bertemu Dengannya

Seperti yang Dean katakan tadi, menilai seseorang itu bukanlah semata dari segi visual, tapi poin utamanya adalah pada apa yang ada dihati dan kepalanya. Hanya saja, saat ini standar penilaian kebanyakan orang dari segi visual memang terlalu tinggi. Hingga seringkali mematikan potensi yang ada pada sebagian besar orang yang merasa tak percaya diri dengan kondisi visualnya. Hanya karena visual mereka yang tak sesuai dengan ekspektasi secara garis besar.

---

Tak terasa, hari ini sudah hampir 1 bulan sejak awal pertemuanku dengan Dean. Hubungan pertemanan kami pun terjalin dengan sangat baik. Meskipun seringkali jantung ini berdebar hebat saat bersama dengannya, aku tetap menganggap Dean seperti adikku sendiri (meskipun secara kedewasaan aku baru mengakuinya sebagai kakak :p). Tentu saja, karena perasaanku masih kujaga baik-baik hanya untuk sang penakluk hati, Kak Bima. Maka dari itu, kuputuskan untuk mengontrol segala gejolak rasa yang ditimbulkan oleh kebersamaanku dengan Dean. Karena seperti pepatah Jawa yang mengatakan, "Tresno jalaran soko kulino", atau jika diartikan adalah "Cinta dapat tumbuh karena terbiasa". Saat kau terbiasa dengan seseorang dan merasa nyaman di dekatnya, maka cinta akan timbul dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Hari minggu ini, aku berencana pergi dengan Dean. Saat ini dia tengah diperjalanan menuju ke rumahku. Katanya, kurang lebih 15 menit lagi dia akan sampai. Awalnya aku menolak ajakannya, tapi semalam entah kenapa dia terus saja merengek meminta tolong padaku menemaninya membeli atribut tambahan untuk kamera SLR nya. Ditambah dia mengancam untuk menerorku dengan membuat panggilan video sampai aku mau menurutinya. Bayangkan saja, melihat paras dewanya yang penuh dengan sejuta pesona selayar HP dengan durasi yang dipastikan akan lama, karena dia pasti akan menampilkan beragam ekspresi memelas andalannya. Oh tidak, tidak. Itu jelas tidak baik untuk jantung kecilku. Akhirnya aku pun menyerah. Karena kalau sifat manja Dean sudah keluar seperti kemarin, entah kenapa aku merasa tidak tega untuk menolaknya.

Ya, sisi lain Dean yang satu ini baru kuketahui 2 minggu terakhir ini. Saat itu, dia mendadak terserang demam tinggi dan pingsan karena kelelahan setelah melakukan hunting foto diluar kota selama 3 hari. Dari cerita yang kudengar, kakak pembimbingnya merasa kesal (atau iri lebih tepatnya) dengan Dean yang selalu dikerumuni oleh anggota kelompok perempuan mereka. Hingga dia selalu melimpahkan tugas berlebih yang tidak semestinya pada Dean dan memaksanya untuk tetap mengambil foto ditengah hujan. Mendengar hal itu membuat darahku serasa mendidih. Aku segera menegur kakak pembimbing kelompok Dean, yang tak lain adalah teman satu angkatanku. Perlakuan mereka sungguh sangat tidak profesional. Yang dikhawatirkan jika tindakan semena-mena seperti itu dibiarkan, maka akan menjadi hal yang biasa dan ditiru oleh adik tingkat ketika mereka telah menjadi senior nanti.

Dean akhirnya sembuh dari demamnya setelah dirawat intensif selama 3 hari di rumah sakit. Selama 3 hari itu aku bolak-balik RS untuk melihat perkembangannya. Dari situlah, sifat manja Dean mulai muncul. Ternyata, selama ini Dean tinggal seorang diri di apartemen. Dia bilang, jarak dari apartemen yang ia tempati jauh lebih dekat ke kampus daripada harus pulang pergi dari rumahnya yang memakan waktu hampir dua kali lipat lebih lama. Saat aku meminta ijin menghubungi keluarganya, Dean segera menolak. Katanya, dia tidak ingin membuat mereka khawatir. Jadi, aku berinisiatif untuk menungguinya selama di rumah sakit. Dean tidak menyetujui awalnya, tapi karena aku bersikeras akhirnya ia mengalah. Dengan syarat, aku harus mendapat ijin dari ibuku dan tetap masuk kuliah meski harus berangkat dari RS.

---

Saat ini, kami sedang menikmati makanan di restoran siap saji di salah satu mall yang ada di kota ini. Setelah satu jam yang lalu menyelesaikan niat awal membeli atribut kamera di toko langganan Dean. Pada akhirnya, aku pun ikut membeli memori card tambahan karena tergiur dengan diskon sebesar 30% yang diberikan oleh sang owner, yang ternyata masih kerabat dekat Dean. Aku bersyukur telah menyetujui ajakan Dean hari ini, karena berkatnya aku jadi punya referensi toko kamera yang lengkap dengan harga yang lebih terjangkau.

Penampilan Dean hari ini tampak kasual dengan topi dan kacamata yang membuatnya terlihat sangat keren. Sejak kedatangan Dean ke rumahku tadi dengan mobil SUV nya, rasanya jantungku hampir melompat dari tempatnya. Kebiasaan Dean saat ke rumahku, sesaat sebelum berangkat dan saat memulangkanku ke rumah lagi, dia selalu turun dari kendaraannya untuk sekedar berpamitan dengan ibuku. Hal itulah yang menimbulkan kesan yang sangat baik terhadap Dean, hingga membuat ibu memanggilnya "Calon Mantu". Untunglah sebutan itu hanya ibu lontarkan saat sedang bersamaku saja dan selalu kubalas dengan pelototan tajam. Ibu pun kemudian akan tertawa puas setelah berhasil mengerjaiku.

Huft, ibu tak tahu saja, siapa yang sebenarnya putrinya ini sukai sejak lama. Lelaki tampan dan baik hati, yang hanya menunjukkan sisi hangat dan manisnya pada orang-orang terdekatnya. Andai saja sejak dulu aku berani mengambil langkah untuk mendekati Kak Bima, mungkinkah hubunganku dengannya bisa sedekat seperti aku dan Dean saat ini? Apakah ibu akan menyukai Kak Bima dan menyematkan sebutan "Calon Mantu" itu padanya? Ah, membayangkannya saja membuat hati dan wajahku menghangat.

"Senyum-senyum sendiri, lagi kesambet ya?", ledek Dean yang segera kuhadiahi pukulan ringan di lengannya. Ia pura-pura mengaduh sambil tertawa.

Kami pun keluar dari restoran setelah menyelesaikan acara makan siang. Dean menawarkan untuk sholat Dzuhur di musholla yang ada di lantai paling atas mall ini dan segera ku-iyakan. Aku bersyukur memiliki teman yang taat beribadah seperti Dean. Meski ditengah kesibukan, kami selalu bergantian saling mengingatkan jika sudah masuk waktu sholat. Saat ini, waktu telah menunjukkan pukul setengah 2 siang. Setelah selesai menunaikan kewajiban, kami pun berjalan menuju lantai bawah menggunakan eskalator yang tersedia.

"Mampir sebentar ke toko buku, mau?", tawar Dean.

"Oh kebetulan, aku juga mau nyari novel terjemahan yang baru rilis kemarin lusa.", balasku antusias. Dean pun tersenyum lembut dan mengangguk dua kali.

▪︎Ya Tuhan, kumohon kuatkanlah hati hamba melihat manusia setengah dewa yang bersama hamba ini▪︎

Kalimat itu sudah seperti mantra yang selalu kurapalkan dalam hati, tiap kali aku merasakan debaran yang muncul saat bersama Dean. Karena makin kesini, pesonanya benar-benar sangat sulit untuk ditolak. Sangat tidak baik untuk kesehatan jantungku. Semakin aku mengenalnya, semakin banyak hal baik pula yang kuketahui tentang Dean. Sisi jahil dan manis nya pun tak segan lagi ia tunjukkan padaku. Kesamaan hobi dan pola pikir membuat komunikasi kami menjadi semakin intens. Rasanya, perlahan sisi-ku yang dulu sangat tertutup dan hanya nyaman dengan diriku sendiri, kini sedikitnya membaik berkat Dean. Tembok pertahanan yang kubangun sejak lama itu perlahan runtuh. Banyak hal baik yang terjadi padaku semenjak aku mengenalnya. Karenanya, aku sangat bersyukur Tuhan menghadirkan lelaki sebaik Dean di hidupku.

DEG!!

Oh..? I, itu... Bukankah itu...

"Eh, itu bukannya Kak Bima, ya? Wah, gak lihat tempat banget sih mereka.", Dean mengarahkan telapak tangannya tepat di depan wajahku hingga menutupi pandangan, agar aku tak perlu melihat kejadian yang terjadi di seberang sana. "Bentar deh, kok ceweknya kayak pernah lihat dimana gitu--"

"Maaf Dean, kita langsung pulang aja, gak apa-apa? Aku mendadak pusing.", sela-ku berkelakar.

Tak kuperhatikan lagi ekspresi Dean setelahnya, karena aku sudah lebih dulu menundukkan kepalaku. Yang kuingat, kami berjalan menuju ke parkiran dan segera meninggalkan tempat itu. Kuharap juga meninggalkan serpihan hati yang terluka dan tercecer disana. Apa yang tadi kukatakan pada Dean sebelum kembali tak sepenuhnya bohong. Karena memang benar, saat ini kepalaku terasa berdenyut dengan hebat. Bukan hanya kepala, tapi dadaku rasanya seperti diremat dengan kuat. Kupejamkan kedua mataku sambil menyandarkan kepala di bantalan kursi penumpang mobil Dean. Kuatur nafas se-normal mungkin, seraya menyamankan posisiku agar menghalau air mata yang sudah sejak tadi ingin menerobos keluar. Keadaanku benar-benar sedang tidak baik saat ini. Dari nada suaranya, Dean tampak begitu panik saat menanyakan keadaanku. Sesekali ia juga melontarkan kata-kata penenang.

Maafkan aku, Dean. Saat ini aku benar-benar butuh waktu untuk sendiri dan tidak ingin berbicara dengan siapapun.

avataravatar
Next chapter