webnovel

KAYU-KAYU

Aku tunggu di Acacia Hotel kamar 96 jam 20.00.

Ivanka membaca pesan itu dari seseorang lalu segera menghapusnya. Ia mengambil bodycon dress merah yang sedikit mengumbar dadanya dan panjang di atas lutut. Rambutnya yang kecoklatan dan panjang sepunggung, tergerai indah seperti model iklan sampo. Mengandalkan kecantikan alami, Ivanka hanya memoles tipis makeup di wajahnya agar tidak terlihat pucat. Penampilannya memang masih terbilang wajar—tidak seseksi wanita-wanita di klub. 

Tujuan Ivanka malam ini memang bukan mengunjungi klub, tapi menemui seseorang yang ia kenal melalui kawannya tiga hari yang lalu.

Setelah tiba di basement dan menaiki mobil miliknya yang dibeli dua tahun lalu, Ivanka melajukannya dengan kecepatan sedang meninggalkan area apartemen sederhana di kawasan Jakarta Selatan menuju tempat yang berjarak 20 kilometer.

Tiba di gedung hotel yang memiliki 25 lantai, ia melangkah menuju lift dan menekan tombol lantai 9. Sialnya satu lift dengan sepasang kekasih yang sejak dirinya masuk, mereka berciuman dan tidak memedulikan kehadirannya di sana. Hal yang Ivanka lakukan—mengabaikan mereka, sampai akhirnya pintu lift terbuka dan mengeluarkan bunyi ting.

Sepasang stiletto hitam yang membalut kaki Ivanka melangkah melintasi lorong sepi. Kakinya terhenti di depan kamar 96. Ia menekan bel sebanyak dua kali lalu tak lama pintu terbuka dan terkejut. Di depannya berdiri pria tampan—berambut hitam, memiliki bola mata coklat muda, di kedua rahangnya ditumbuhi bulu-bulu halus, bertubuh tinggi dengan kedua bahu lebar dan pria itu mengenakan kimono handuk hotel.

Sambil tersenyum tipis, Ivanka berkata, "Hai, aku Ivanka Lauren. Ternyata kau berbeda dari foto yang kau kasih kemarin, Michael," katanya to the point lalu berdehem melihat respon pria di depannya hanya terdiam mengerutkan dahi. "Kau tidak menyuruhku masuk? Apa aku terlambat?" Melirik singkat arlojinya dan menyadari dirinya terlambat sepuluh menit.

Pria itu terkesiap dan cepat-cepat memasang senyum. Tangannya membuka lebar pintu dan memberi jalan Ivanka untuk memasuki kamar tipe superior— memiliki sofa  tidak jauh dari ranjang dan pemandangan gedung-gedung bertingkat yang mengeluarkan aneka warna dari lampu neon. "Masuklah," katanya dengan suara berat.

Sambil melangkah, pandangan Ivanka sempat melihat beberapa kertas tergeletak di meja dan sebuah notebook. "Apa seperti ini kau biasa melayani klienmu?" tanyanya merasa aneh. Seperti mengunjungi kamar pekerja kantoran.

"Tidak." Pria itu berjalan di belakang Ivanka. "Sebenarnya kau—"

Ivanka berbalik. "Maksudku, apa kau selalu menyambut setiap wanita hanya mengenakan kimono?" Ia melangkah mendekati pria itu. Menengadahkan kepalanya karena tubuh pria itu lebih tinggi darinya. Mungkin 180 sentimeter atau 10 senti di atasnya. Tangannya mengusap singkat bahu tegap itu. "Kau menginginkan kita langsung melakukannya? Tanpa tarian? Atau hal yang lain?"

Lagi-lagi pria itu mengernyit.

Ivanka tertawa. "Baiklah. Jika kau ada janji dengan wanita lain. Kita lakukan sekarang. Tapi …," Ia membuka tas yang tersandang di bahu lalu mengeluarkan sesuatu. "Kau harus melakukan dengan ini. Aku ingin kita aman," katanya memperlihatkan sebuah kemasan kondom gerigi.

Pria itu tertawa walaupun tangannya menerima dan melihat seksama kondom yang berwarna biru muda. "Kau biasa melakukan dengan ini?"

Bahu Ivanka terangkat singkat. "Dulu. Dengan mantan suamiku. Kenapa? Kau tidak menerima janda sepertiku?" Ia meletakkan tas di meja.

"Tentu aku mau," jawab pria itu cepat sementara tatapannya kini menatap Ivanka dari kepala hingga ujung kaki. Sempurna dan cantik. Tidak menyangka wanita di depannya seorang janda.

Ivanka berjalan menuju ranjang lalu duduk di tepinya dengan kedua tangan terjulur ke belakang dan menyilangkan kedua kaki hingga membuat dress bagian bawahnya terangkat. Pahanya yang mulus terlihat jelas dalam pandangan pria itu. Siapa pun pria yang melihatnya akan menelan ludah dan berhasrat. Terlebih lagi Ivanka cantik dan dianugerahi tubuh seksi laksana gitar Spanyol. Meskipun usianya sudah memasuki 35 tahun ini. 

Senyum Ivanka melebar. "Kalau begitu, lakukan tugasmu. Buat aku puas malam ini." Lalu sebelah matanya berkedip nakal.

Tiba-tiba pria itu menyeringai dan berdiri santai di depan Ivanka. "Tentu. Aku akan membuatmu puas." Lalu membungkuk dengan kedua tangan mengusap paha Ivanka ke atas dan menyusup masuk ke dalam dress bagian bawah.

Kepala Ivanka terkulai ke belakang merasakan lembut usapan tangan pria itu dan mendarat di G-string lalu berhenti di sana. Tak lama tubuhnya menggelinjang merasakan jari tengah pria itu mengusap lembut spot miliknya yang sudah basah.

"Michael …," Nama itu terlontar merasakan jari pria yang ia tahu bernama Michael terus menggesek-gesek miliknya dari balik G-string. Di detik berikutnya Michael menarik ke bawah G-string hitam itu dan mengeluarkannya. 

Tubuh Ivanka kini terbaring pasrah meski melirik Michael tersenyum dan menghirup aroma G-string lalu melemparkannya ke lantai.

Masih menyeringai menatap Ivanka, Michael merangkak ke arah wanita itu. Jejak-jejak bibirnya menyusuri salah satu kaki Ivanka lalu kedua tangannya bergegas menekuk dan membuka lebar-lebar kedua kaki jenjang itu.

Ivanka mengerang merasakan sesuatu hangat, licin dan basah mendarat di spot kelemahannya. Hampir saja mendapatkan kepuasan, Michael bergerak cepat melucuti pakaian yang masih melekat lalu tak lama tubuhnya terlonjak ke atas.

Kedua mata Ivanka membulat merasakan milik pria itu memasuki penuh tubuhnya setelah melaluinya dengan beberapa entakan yang cukup membuatnya meringis. Ia melihat tatapan sayu Michael dan deru napas pria itu semakin cepat. Bahkan Michael membisikkan sesuatu. "Kau menyukainya, Sayang?" 

Kalimat itu terdengar lembut dan sudah lama Ivanka tidak mendengarnya dari mulut pria. 

"Ya." Ivanka menjawabnya dengan nada dan tatapan yang sama. "Aku beruntung bertemu denganmu." Wajahnya hanya berjarak sepersekian detik. Ia bisa menghirup aroma rokok dari napas Michael, tetapi di detik berikutnya aroma itu berada di dalam mulutnya. Bibirnya terasa hangat saat Michael mengulum dan melesakkan lidahnya. Ia juga merasakan sebelah tangan pria itu membelai lembut dadanya dan memainkan puncaknya.

Ivanka membalas. Ia tidak bisa menahan gejolak hasrat yang selama dua tahun ini terpendam dan hanya melakukannya sendiri. Kali ini, ia luapkan semua dan tidak memikirkan yang lain. Tujuannya hanya satu—mendapat kepuasan. Dan, ia mendapatkannya.

Di balik kaca jendela hujan turun daras dibarengi petir yang menggelegar dilangit. Hawa dingin pun menyeruak masuk ke dalam ruangan. Namun, Ivanka tidak merasa kedinginan. Pria bernama Michael itu kini terbaring dan tidur terlelap memeluknya dari belakang setelah mereka mendapatkan kepuasan setengah jam yang lalu.

Dengan pelan-pelan sekali Ivanka bangkit dari ranjang lalu memunguti satu persatu pakaiannya yang tercecer di lantai dan mengenakannya. Setelah rapi dan mengoles bibirnya dengan lipstik. Ia melirik arloji lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari tas. Tak lupa ia juga menulis sesuatu di secarik kertas lalu menaruhnya di atas nakas.

Senyum Ivanka mengembang melihat Michael tidur lelap laksana bayi tanpa dosa. Terlihat tenang dan damai. Merasakan ponselnya bergetar di dalam tas, ia berbalik dan setengah berlari menuju pintu lalu keluar dari kamar itu.

Tiba di depan pintu kamar, ia meraih ponsel dan melihat tiga kali panggilan tidak terjawab dan satu pesan dari nomor asing. Ivanka membaca pesan itu seksama.

 Kau di mana? Aku sudah menunggumu sejak tadi. By the way, maaf aku salah menulis nomor kamar. Bukan 96 tapi 69.

Lalu, di akhir kalimat tertulis sebuah nama. Michael.