1 Prolog

"Ayah nggak bisa gitu dong, Bella tau Ayah benci yang namanya wanita, bahkan termasuk Bella. Tapi Ayah nggak bisa telantarin mereka gitu aja, itu salah, Yah. Mereka itu anak Ayah."

"Jangan nasihati Ayah! Tau apa kamu! Kamu sama saja seperti ibu kamu, sama-sama selalu bikin Ayah emosi!" Setelah mengatakan itu Ayah pergi. Aku mengembuskan napasku dengan berat, lalu beralih menatap dua keranjang bayi yang berjajar tak jauh dariku. Aku mendekatinya.

"Kalian Adikku, meski bukan dari satu Ibu. Kalau Ayah nggak mau nganggep kalian, biar Bella yang jaga dan rawat kalian."

Aku menatap ke arah dua anak itu. Usia mereka baru dua bulan, aku tidak mungkin merawat mereka karena aku belum pernah merawat anak kecil, apalagi aku masih sekolah. Aku harus bisa membagi waktu antara belajar, bekerja, dan merawat mereka.

"Bi Nur!"

Aku menatap seorang wanita paruh baya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah ayah. "Ada apa, Non?" Tanya Bi Nur. "Bi, Bibi bisa gendong bayi yang satunya nggak? Soalnya repot kalau Bella yang gendong dua-duanya." Bi Nur mengangguk. Dia menggendong bayi perempuan itu dengan hati-hati, sangat berbeda denganku yang masih takut dan kamu. Aku membawanya menuju ke lantai dua, lebih tepatnya ke kamarku. "Baringin mereka di sini aja, Bi," ucapku sambil merapikan bantal agar tidak terjadi sesuatu jika mereka bergerak.

Akhirnya mereka berdua tidur di atas kasurku. Aku menatap mereka. Kalian tahu kenapa Ayah tak menganggap mereka? Sebenarnya ini bukanlah kesalahan mereka atau kesalahan ibunya, tapi ini kesalahan waktu.

Setahuku, dulu ayah pernah di khianati oleh cintanya, dia berselingkuh. Sejak saat itu ayah benci pada wanita. Dan saat ibu dan ayah dijodohkan, ayah menjadikan ibuku sebagai pelampiasan. Waktu umurku sepuluh tahun, saat itulah aku kehilangan ibu. Ibu terkena serangan jantung waktu tiba-tiba saja Ayah membawa selingkuhan dan anaknya. Tapi selingkuhan Ayah hanya menginginkan harta Ayah. Setelah mendapatkan apa yang dia mau, dia meninggalkan Ayah. Aku tidak melihat kekecewaan sedikit pun di mata ayah. Dia justru terlihat senang. Ini sudah yang kesekian kalinya, sudah banyak wanita yang ayah tiduri. Syukurlah tidak semuanya mengandung anak ayah. Dan ini yang ketiga kalinya, sebelumnya aku sudah memiliki dua adik dari masing-masing Ibu yang berbeda. Usia mereka sekarang tujuh tahun. Mereka berdua mewarisi dominan gen Ayah, terlihat dari wajah mereka yang 85℅ mirip dengan ayah. Tapi bulan lahir mereka berjarak dua bulan. Mereka berdua laki-laki. Mereka sudah aku anggap seperti adikku sendiri.

Aku tidak tahu yang lain, yang aku ketahui Ayah sudah memiliki anak dari tiga wanita berbeda. Aku pikir hanya ketiga wanita itu yang berani tampil di hadapan ayah. Selebihnya mungkin menggugurkan kandungannya atau membuangnya.

"Non, mau di kasih nama siapa dedek bayinya?" suara Bi Nur membuatku tersadar. Aku menggeleng kecil, "Entahlah, Bi. Bella juga bingung." Bibi hanya mengangguk.

"Baiklah, Bibi ke dapur dulu ya, Non."

Aku mengangguk, berbaring di samping twins. Mereka tidak berdosa, tapi orang tuanya menyalahkan mereka, menganggap mereka sebuah kesalahan yang harus di basmi. Mereka gila.

Tak lama, aku mendengar keributan dari luar kamarku. Aku segera keluar sebelum kedua bayi itu terbangun. Aku membuka pintu dan melihat Revan dan Rifqi sedang beradu mulut.

"Sssttt ... kalian kenapa?" tanyaku. Revan dan Rifqi menghentikan aksi mereka lalu menatap ke arahku. "Hehe, Kakak lagi ngapain?" tanya Rifqi. "Nggak lagi ngapa-ngapain. Oh iya, kalian udah makan?" tanyaku. Mereka berdua menggeleng. "Ya udah yuk, turun. Kakak masakin makanan kesukaan kalian." Mereka bersorak, "Yeay, ayo!"

Aku terkekeh melihat mereka yang begitu bersemangat. Kami bertiga turun ke lantai satu. Aku menuju ke dapur, sementara Revan dan Rifqi duduk di meja makan. Aku membuatkan mereka nasi goreng seafood, itu kesukaan mereka. Jarang-jarang aku memasakkan sesuatu untuk mereka, mungkin karena terlalu sibuk dengan pekerjaanku.

Setelah masakannya siap aku menaruhnya di piring. Lalu meletakannya di atas meja. Revan dan Rifqi tersenyum ke arahku, mengambil piring masing-masing. "Kakak nggak makan?" tanya Revan. Aku menggeleng. "Kakak nggak laper."

"Gimana sekolah kalian?" tanyaku setelah lama hening. Revan dan Rifqi saling tatap. Sepertinya ada sesuatu. "Ada apa? Ngomong aja sama Kakak," ucapku. Revan mengembuskan napasnya perlahan, "Em ... Kemarin Revan sama Rifqi ikut olimpiade, sekolah kami menang jadi juara pertama. Sebagai penghargaannya ...." Revan tak melanjutkan ucapannya. Dia melirik ke arah Rifqi. "Kepala sekolah mengundang kedua orang tua kami buat hadir ke sekolah besok," sambung Rifqi. Aku tersenyum. "Bagus dong, itu artinya Adek Kakak kan pinter. Nanti Kakak bujuk Ayah buat dateng ke sekolah kalian," ucapku sambil tersenyum. Revan dan Rifqi menatap ke arahku tak percaya. Mereka berdua langsung turun dari kursinya lalu memelukku.

"Kakak serius?"

Aku mengangguk. "Itu hal paling membanggakan buat Ayah."

Apapun akan aku lakukan untuk kalian.

ⓂⓄⓃⒹⒺⓁⓁⒶ

avataravatar
Next chapter