webnovel

Mon destin

Mon Destin

Berkisah pergolakan batin saat memasuki bangku kuliah. Sampai akhirnya apa yang diinginkannya tidak sesuai dengan kenyataan sekarang

Aku bukanlah orang yang pintar di SMA. Sampai tiba saatnya ada pendaftaran SNMPTN. "Apakah cita-citaku? Aku ngga tau mau jadi apa kedepannya?" kataku sembari menatap jauh ke arah mentari senja dari balkon kelasku yang kebetulan berada di lantai dua. Dimana saat kita memandang ke bawah banyak anak yang latian basket dll. Aku dulu tidak tahu mengapa aku bisa masuk ke kelas IPA yang notabene adalah pelajaran yang aku benci saat aku SD. Yang mengharuskan aku dihukum karena tidak pernah mengerjakan PR, yang mengharuskanku tuk berbohong kepada ortuku. Kalau dilihat nilaiku dulu sangat buruk. Dimana saat itu maju satu persatu hafalan IPA hanya aku yang tidak bisa menjawab. Entah mengapa aku merasa dunia menjauhiku tak tau sebabnya. Beruntung guru yang mengajarku saat bel pulang berbunyi memanggilku.

"Kezia, kenapa tadi tidak bisa? Apa ada masalah ?" Kata guruku memulai pembicaraan.

"Ngga ko bu, hanya aku tidak suka IPA." Tandasku

"Bagaimana kalo setiap 5 menit sehabis pulang kezia ada jam tambahan?" katanya sambil menatapku dengan seri terpaut di matanya.

"Kezia, ko belum pulang? Ini sekolah dah mau ditutup lho" kata penjaga sekolah membuyarkan lamunanku.

"Oh ya pak saya sudah mau pulang." Kataku sambil mengambil tas dan mengeluarkan kunci motor di kantong tas.

Aku kurang tau mengapa aku tidak suka pulang duluan. Apalagi SNM itu penentuan masa depanku. Sampai sekarang aku belum tau apa yang menjadi tujuanku.

Saat dalam perjalanan pulang aku melaju dengan kecepatan rendah, dimana aku lihat sungai yang membiaskan cahaya senja menyusuri jembatan. Aku pun membelokkan motorku untuk makan mie ayam dengan harga 5 ribu dengan tempat yang kecil beratapkan terpal dan dinding anyaman bambu.

"Bu mie ayamnya satu ya makan disini," kataku memesan semangkuk mie ayam.

"Oh jam segini baru pulang dek?" tanya ibu penjual mie ayam sambil memandangku yang masih memakai seragam.

Sambil menunggu pesanan datang aku merogoh kantung jaketku untuk mengambil HP untuk mengecek chat yang masuk di HP ku. "Cuit" suara burung pipit yang hinggap di jok motorku.

"Ini mba mienya," kata penjual itu sambil menyodorkan mie yang murah nan lezat.Lalu aku memasukkan kembali HPku ke kantong jaketku.

Aku makan dengan lahap tak lupa ku seruput mie. Setelah selesai aku menyodorkan uang selebaran 5 ribu rupiah. Aku mengambil kunci motor dan mensarternya. Belum sampai ke tujuan terdengar azan maghrib berkumandang, maklum dijalan banyak mushola, tapi masih banyak orang yang berlalu lalang walaupun aku tinggal di kota kecil yang orang- orang menyebutnya kota Metro.

Hari berganti, aku menjalani rutinitasku yaitu berangkat ke sekolah. Tidak ada yang spesial, aku hanya menyusuri jalan yang lampu kuning yang menyorot begitu tampak indah menutupi sang surya itu sendiri. Melewati jembatan yang membentang kecil diatas sungai. Sungguh hening. Oh ya hari ini pelajaran biologi adalah praktik dan dijam pertama. Aku kurang cukup tidur karena harus merangkum materi dan mengerjakan PR. Bel pun berdenting aku segera mengeluarkan jas lab putih dari laci tas yang besar dengan banyak buku. Segera kuturuni anak tangga dengan teman sekelasku. Aku berlari kecil agar cepat sampai ke lab yang berdinding biru dengan kaca yang bersih memperlihatkan isi lab tersebut. Kami pun masuk.

"Hari ini kita akan praktik tentang respirasi pada mahluk hidup," Kata guru biologiku mengawali.

"Anak- anak alat untuk mengukur napas adalah respirator," Kata guruku memperkenalkan alat dan bahan percobaan.

"Ayo duduk sesuai dengan kelompok masing- masing ya!" Kata gurukuku

Aku segera berpindah tempat duduk ke kelompokku. Jam dinding usang mungkin jam dinding 5 taun yang lalu menunjuk pukul setengah delapan. Aku menguap tanpa sadar mukaku bertumpu pada ke dua lenganku. Tiba- tiba ada sesuatu di kepalaku.

"Ouch" Ringisku memegang tengkukku.

"Kezia ini praktik, eh ko malah tidur, ckckck. Coba kamu hitung skala pada respirator!" Kata guruku berkata sambil terheran- heran.

Aku hanya bisa meringis malu ditertawakan satu kelas. Padahal bentar lagi ke jenjang perkuliahan.