18 Gio Si Tukang Adu

-Moirai Valentine-

Bagi anak-anak yang sekolah asrama pulang weekend itu bak berlian, mahal dan langka. Seperti kata orang rumah sendiri itu enak, mau apapun bebas tapi bagi Maura Magen rumah orangtuanya itu juah lebih menyenangkan. Bangun, makan , tidur sudah menjadi rutinitasnya.

------------------------------------

Tepat pukul tujuh pagi. Maura sebenarnya tidak ingin bagun dari kasur empuk dan selimut hangat yang menggulung tubuhnya. Cahaya mentari sudah lama menerobos di sela-sela gorden jendela kamarnya.

Hari ini weekend, waktunya bersantai. Itu yang selalu di sugestikan oleh Maura pada dirinya sendiri.

Cukup penderitaan lo di asrama selama lima hari berturut-turut. Tidur tidak nyenyak hanya karena teman sekamarmu teriak-teriak bak kesetanan saat menonton drama di laptopnya.

Tapi suara ibunya yang bolak balik di depan kamar membuatnya kesal setengah mati. Membuat hanyalan tentang tidur panjangnya hancur berantakkan.

Belum lagi kehadiran Fussy, kucing putih milik ibunya yang mengendus-enduskan ekor lebatnya ke wajah Maura.

Benar-benar pagi yang tidak sesuai dengan harapan.

"Maura, kamu mau sarapan apa? Bubur ayam apa nasi goreng?"

"Aarggh.."

Maura menggerutu pelan dan akhirnya terpaksa bangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa sakit di bagian belakang. Berapa lama dia tertidur?

"Maura!" seru ibunya lagi.

"Bubur ayam, Ma."

"Kebetulan itu ada di depan, kamu beli gih."

"Lah, Maura kira Mama yang buat."

Maura bangkit membuka pintu kamarnya. Penampilannya masih sama dengan piyama boneka lengkap dengan telinga kucing yang menutupi rambutnya.

Ia mengocek matanya pelan, sesekali menguap menahan rasa kantuk yang tidak pernah usai.

"Mama kan gak bisa masak bubur Maura sayang, kan kamu tau itu."

Ralat.

Bukan hanya memasak bubur tapi hampir semuanya tidak ada yang bisa dikuasai oleh Ibunya.

Mendapati Ibunya di dapur tanpa insiden itu merupakan sebuah keajaiban.

Bagi Maura Magen, ikan gosong dan sup varian rasa itu sudah biasa. Bersyukur saja selama tujuh belas tahun hidupnya hanya beberapa kali keracunan makanan, selebihnya masih aman.

Maura tidak habis pikir apa yang membuat ayahnya menikahi ibunya yang tidak bisa apa-apa. Satu-satunya kelebihan dari wanita yang melahirkannya itu adalah karirnya yang cemerlang sebagai bisnis women.

"Nasi goreng saja lah, Maura malas keluar rumah."

"Kamu yang masak ya, Mama sibuk. Bulan depan mau meluncurkan desain baru untuk musim panas."

Ibunya menangkap tubuh Fussy yang baru saja keluar dari kamarnya. Mengendongnya erat seolah itu anak keduanya.

Sama saja seperti biasa. Maura menghela pelan napasnya, "Papa mana?" satu-satunya harapan hanya ayahnya.

"Papamu sudah berangkat ke luar kota sejak semalam sayang. Jangan bawel masak saja sana, atau sekalian delivery saja."

"Tidak ada restoran yang buka pagi Ma."

"Ya sudah kamu masak saja, Maura biasanya juga begitu bukan?"

"Malas Ma. Tujuan Maura pulang rumah itu hanya satu bersantai, gak lebih dan gak kurang. Mama kebayang gak berat beban yang Maura pikul saat di asrama?" Maura mengedip-kedipkan matanya, sedih.

Drama..

Ibunya menghela panjang. Ditatapnya anak gadis satu-satunya yang baru saja bangun dari tempat tidur. Rambut kusut yang berlindung di balik tudung piyamanya.

"Ya sudah, nanti Mama belikan bubur ayam di depan. Kamu mandi gih, dandan yang cantik. Jangan kaya gadis gak keurus."

Ibunya mendorong pelan tubuh putrinya ke arah kamar mandi di lantai satu.

---------Maoirai Valentine-----------

Setelah selesai membersihkan diri, Maura kembali ke kamarnya dengan mengenakan kaos oblong putih dan handuk kecil yang menutupi rambut basahnya. Sesekali ia mengusapnya.

Kepala kecilnya merangkai semua hal yang ingin ia lakukan setelah ini, bersantai, bersantai dan bersantai. Stok anime dan drama di laptopnya sudah berteriak minta di tonton.

Weekend sama dengan hari sejahtera untuk anak-anak sekolah seperti dirinya.

Maura tersenyum tipis, matanya masih mengantuk, tapi telinganya masih bisa mendengar celotehan kecil dari arah ruang tamu.

Maura mengerutkan alisnya bingung. Dengan siapa ibunya bicara pagi-pagi buta? Bahkan terlalu sangat tidak sopan untuk tamu berkunjung.

"Tante bisa aja."

Itu suara Gio. Maura sangat hapal suara sepupu kampretnya itu.

Si tukang rusuh. Alasan Gio berkunjung ke rumahnya hanya dua, minta sarapan gratis plus wifi gratis.

Kebaca jelas di wajah tampannya.

"Ma.. bubur ayamnya sudah Mama beli?" tanya Maura yang sengaja menghampiri ibunya di ruang tamu. Siapa tau ibunya khilaf dan memberikan bubur ayam pesenannya pada Gio.

"Baru bangun Lo Ra!! Kalah dong sama ayam tetangga." Gio bergumam sambil menikmati semangkuk bubur di pangkuannya.

Maura mendenggus sambil melemparkan handuk setengah basahnya ke muka Gio

"Itu pasti bubur ayamku!!"

"Shiitt!! Jorok tau, damn it!!" teriak Gio.

Ia menggeser duduknya ke ujung kursi, menghindari Maura sambil melindungi bubur yang sudah ia habiskan setengahnya.

"Sudah-sudah, Maura punya kamu sudah Mama taru di meja makan. Mau mama ambilkan?"

Maura mengangguk, memperlihatkan senyuman termanis untuk Ibunya. Gadis itu melemparkan tubuhnya ke sofa saat Ibunya melangkah ke dapur.

Maura melirik Gio yang sedang asik dengan sarapannya.

"Tante Anit gak kasih lu makan ya? Kok tiap hari numpang sarapan di sini?" tanya Maura risih.

Bukan dia pelit hanya saja, Gio sering kali mengambil jatah makannya hanya karena dia terlambat bangun.

'Nasip Lo Ra, bangun kesiangan, makanya rezekimu di embat ayam.' Itu kata-kata legendaris yang sering diucapkan Gio saat kena marah.

"Gak tiap hari juga kali. Kan weekend doang gua kerumah lo."

"Sama aja itu.."

Gio menghentikan suapannya. Ia mendongkrak menatap Maura setengah kesal, "Dasar pelit, Mak lo aja gak larang gua datang kok."

Maura memutar matanya bosan. Jelas lah. Ibunya itu selain tidak bisa apa-apa dia juga kelewat baik, terlalu baik bahkan.

Jangankan makhluk sejenis Gio yang noteben keponakannya sendiri. kucing melarat di selokan saja ditampung sama ibunya itu, apalagi orang.

Alhasil rumahnya penuh dengan anak kucing yang berkembang biak. Lama-lama rumahnya lebih mirip tempat penitipan kucing dari hari ke hari.

Maura ingin kembali mendebat Gio, tapi ibunya sudah muncul dengan membawa semangkok bubur ayam kehadapannya.

"Tante kenapa manjain Si Maura mulu? Nanti tuh anak gak bisa ngapa-ngapain kaya tante." Seru Gio membuka suara.

Maura mendenggus pelan. Sekaligus mengajungi jempol untuk keberanian Gio mengatakan itu didepan ibunya.

Bukannya marah ibunya hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya. Pandangannya beralih pada sang putri yang memayunkan bibirnya kesal.

"Dimakan, terus setelah ini dandan yang cantik biar gak disangka anak laki sama tetangga." Seru Ibunya.

Gerr…

Maura mendenggus kesal, kemudian memakan sarapannya dengan perlahan.

"Jadi siapa itu Erlangga?"

"Uhukkk!!" Maura melotot dengan mulut ternganga habis tersedak.

Damn it!! Padahal ia baru memakan sesenduk. Dan sialnya maura bersumpah si kampret Gio sedang terkekeh samar menertawakannya.

"Pelan-pelan, Sayang." Ibunya mengambilkan segelas air putih sambil mengelus punggung putrinya.

Setelah semuanya beres, Maura bisa bernapas dengan benar. Ia mendongkrak, "Mama sih, orang putrinya lagi makan juga."

"Maaf, habisnya mama terlalu bahagia mendengar kamu mau berkencan. Mama kira kamu akan melajang sampai mati. Tapi ternyata ada juga yang mau sama putri mama yang pemalas ini."

"Astaga, mama berterimakasih sama Gio yang sudah menyampaikan berita bahagia ini, Mama terharu sekali."

Matanya berbinar-binar saat mengatakan hal itu, seakan sebuah keajaiban telah turun di tengah-tengah mereka.

Gio tersenyum lebar sambil mengacungkan jempolnya, "Apapun untuk tante, asalkan Gio di izikan sarapan di sini."

Maura menghela panjang napasnya. Seketika ia langsung tersadar, itu artinya ibunya juga menganggap dia tidak laku dong?

Bersambung…

avataravatar
Next chapter