1 Suara Lamat-lamat

Suara itu terdengar lamat-lamat seperti seorang yang jauh dariku, dan begitu khawatir. Aku mencoba memalingkan wajah, mencari tahu keberadaan suara yang memanggilku, lalu seorang wanita datang memeluk dan menggeretku yang hampir menceburkan diri ke tengah laut selatan.

Selanjutnya, alam di sekitarku menghitam, tak ada apapun yang bisa dilihat, semua hilang dan menyisakan mimpi yang familiar.

Di dalam mimpi itu ada aku yang memandang ke dua orang tuaku yang terlihat dua kali lebih tinggi. Ada tawa riang yang tak ku tahu karena apa, yang ku rasa hanya tubuhku yang berayun di tangan-tangan mereka. Aku bahagia. Sampai sebuah masa dimana ku lihat ibu menangis memeluk adik, lalu ayah yang menghancurkan perabotan rumah kami satu-satu. Semua kebahagiaan itu hancur, dan menciptakan sesengguk di dada. Dan suara yang memanggilku kembali terdengar bersama tepuk di pipi.

"Kau tak apa, Ri?" Reina membantuku yang saat itu masih lemas dan sembab karena air mata untuk duduk. Ku lihat sekelilingku yang terlihat asing.

"Dimana aku?" Ada pemandangan pada rumah yang berperabot tua, dan seorang bapak yang usianya melebihi apa yang ada di rumah itu. Ku lihat ia duduk sembari menyesap kopi hitam, dan menyuguhi aku segelas air putih untuk ku minum.

"Ini di rumahku." ujar Reina, "Kau hampir mati dibawa air laut selatan."

Aku terkejut, memang aku merasa tengah menuju sebuah tempat, namun itu karena seorang wanita yang entah mengapa begitu mempesona yang membawaku ke tempat semegah istana. Aku pikir itu mimpi yang biasa ku alami.

Ku jelaskan apa yang terjadi padaku, dan kedua bapak anak itu hanya bisa saling pandang.

"Kalau ini ulah ratu pantai selatan, harus ada penjelasan mengapa dirimu yang dibawa." aku terkejut. Tak pernah sekalipun aku menceritakan tentang sang ratu kepada siapapun kecuali Bimbim.

"Bagaimana kau tahu soal ini?" Aku begitu penasaran hingga degub jantungku terasa begitu cepat.

"Maaf jika aku melanggar privasimu," mulai Reina. "Ini terjadi semenjak pertama kali aku mengenalmu. Auramu berbeda, dan begitu tak biasa. Dan beberapa kali ku amati, kau tidak pernah sendiri. Maksudku, kau selalu punya teman gaib yang mengiringi kemanapun langkahmu pergi."

Aku dibuat tak mengerti, apa yang Reina jelaskan begitu diluar nalar.

Wanita cantik itu lantas menceritakan bahwa ia memiliki kemampuan spesial yang telah diturunkan generasi ke generasi dalam keluarganya, juga tentang beberapa pengawal demitnya yang tak ada satupun yang mampu mencari tahu tentang siapa sebenarnya diriku.

Aku sendiri merasa tak terlalu penting. Aku pria biasa dari lampung yang sedang menimba ilmu di Yogyakarta. Tak ada yang aneh dalam hidupku, kecuali keadaan keluarga yang memburuk karena dilanda perceraian. Selain itu, tak ada sedikitpun ingatanku tentang hal klenik, apa lagi jika itu nenyangkut Nyi Roro Kidul.

Ku lihat ayah Reina bangkit, memohon maaf sebelumnya padaku, dan memegang kening sembari melafalkan sesuatu yang aku tak tahu.

Pak tua itu lalu menatapku. Ia menyarankan agar aku mandi, dan memerintahkanku untuk melakukan apa yang ia suruh.

"Ada hal besar yang telah kau lakukan, sesuatu yang menyinggung sang Ratu." ujar ayah Reina. Ia lalu memejamkan mata,memohon pada alam untuk diberikan jawaban.

"Larungkan beberapa hal yang ku tulis pada kertas ini, nak Ari." ia menyodorkan selembar kertas berisi daftar sesaji yang harus ku larung ke laut pada hari tertentu, dengan berteman Reina yang akan memberitahuku langkahnya.

"Jangan memakai pakaian hijau, jangan berkata buruk, dan jangan melakukan apapun yang tujuannya buruk." Begitu petuah si bapak. Lalu saat hari yang ditunggu tiba, sebuah kapal yang khusus ku beli beserta isinya berlayar menuju tengah samudra.

Aku menaruh harap lebih, karena bagaimanapun, ada hal lain yang masih ingin ku lakukan ketimbang menjadi pengabdi sang ratu.

Aku dan Reina pun berpisah, Reina menuju rumahnya, dan aku kembali ke kesendirian di dalam kamarku.

Dan suatu waktu, dalam diam, lamunanku kembali pada sosok hijau yang sempat menyambangi mimpiku dengan pesonanya. "Benarkah semua selesai sampai di sini?" Dan pertanyaanku terjawab dalam hitungan detik ketika bayang itu muncul.

Suara ombak berdebur gaib di kamarku yang seharusnya jauh dari pantai. Ada bisik, kadang terkikik, dan semuanya melunturkan kelegaan yang ku pikir akan selamanya.

Lalu lampu di rumahku meredup, dan sosok ayu berkemban hijau muncul dihadapanku. Ia mendekat, tapi tak seperti berjalan. Kedua tanganya yang halus menempel ke pipiku, membuatku limbung, dan jatuh dalam ingatan lampau akan keluargaku.

Sebuah bayangan muncul, tentang aku, dan adikku, yang sedang bermain di tengah taman di temani orang tua kami, dimana kami masih bahagia dengan keadaan sederhana kami.

Itu kisah kanak-kanak kami dulu.

Kedua orang tua kami sangat menyayangi kami, mereka tak pernah membedakan, dan mengajari kami tentang hidup dengan cara yang bijaksana.

Ayahku seorang pegawai di perusahaan terkemuka. Gajinya ia habiskan untuk keluarga, dan hanya keluarga yang ada pada prioritas utamanya. 

Aku dan adikku selalu dapat apa yang kami mau, selalu bahagia dengan keadaan kami, dan selalu punya ayah yang jadi panutan kami.

Tapi semua itu berubah tepat setelah terjadi phk masal di perusahaan ayah.

Beliau berubah secara perlahan menjadi sosok yang mudah marah. Dirinya bahkan mudah sekali melayangkan pukulan hingga lebam yang hilang di tubuhku dan adikku hanya terganti dengan lebam yang baru.

Aku begitu tak kuat dengan situasi ini, hingga doaku terijabah untuk pergi dari rumahku, untuk kuliah dan menetap di suatu tempat di Yogyakarta.

Aku harap hal ini mengubah hidupku. Tapi hidupku benar-benar berubah justru karena satu hal lain yang terjadi.

Ayah menceraikan ibu.

Bagaimanapun rusaknya keluarga kami, aku masih berharap jika keluargaku akan baik-baik saja kemudian. Namun perceraian itu benar-benar membuatku jatuh selamanya.

Aku menangis begitu menerima berita itu. Dadaku sesak, nafasku tak beraturan, ada kejang di kepalaku yang diakibatkan rasa murka. Dan hal itu membuat lidahku tak lagi bisa ku kontrol.

"Siapapun kalian, Tuhan, atau setan, aku mengutuk kalian akibat musibah yang menimpaku." lidahku menari laknat. "Aku tak takut pada apapun yang kalian lakukan, tidak saat aku hidup, pun saat aku mati, aku minta kalian membusuk saja dan menjadi abu di neraka yang kalian buat."

Aku menjerit, dan meneriakkan sumpah serapah bagai orang gila. Laknat telah jatuh padaku, dan petir yang meledak terasa menjadi titik sah bagi kejatuhanku.

Lalu bayang-bayang itu meredup, membangkitkan kesadaran yang membuatku takut. Bagaimana aku bisa melakukan hal di luar nalar itu? Dan bagaimana pula aku bisa melupakannya? Sungguh, bila waktu bisa berputar, ingin ku sumpal saja mulut bodohku itu.

Ku lihat bayangan hijau itu masih ada di hadapanku. Ia tersenyum, namun senyum itu lama kelamaan berubah jadi seringai yang menakutkan.

*

"Rei, kamu lihat Ari? Apa masih sakit dia?" Bimbim nampak panik menerobos kelas Reina. Sudah beberapa hari ini Ari tak masuk, pun tidak di rumahnya.

"Aku tidak bertemu dengannya akhir-akhir ini." Reina menghentikan aktivitas menulisnya dan menatap Bimbim. Keningnya berkerut dan nampak gusar. Ia berharap jika apa yang terjadi pada Ari bukanlah hal klenik yang lain. Kegusaran itu hilang saat smartphonenya berdering. Ada nama dan gambar Ari di sana. "Ari telpon." Reina tersenyum dan mengangkat panggilan itu.

"Rei...." suara Ari terdengar jauh. "Aku tak akan bisa lagi menemui kalian."

Reina mengernyit. "Tunggu, apa maksudmu, Ri?"

"Sampaikan salamku ke Bimbim. Mungkin ini akan jadi panggilanku yang terakhir."

"Tunggu, Ri...!" panggilan itu terputus. Dan tak ada guna lagi bagi Reina untuk mengulang panggilan. "Bim?"

Bimbim dan Reina saling bertatapan. Sebuah misteri yang berakhir dengan perpisahan dari sahabatnya terasa begitu ganjil.

*

Ada suara langkah yang berbaris, diiringi suara gamelan dan beberapa pasang derap kuda yang menarik kereta kencana.

Sang ratu pemimpin barisan itu berdiri anggun memimpin karnaval gaib yang membawa mereka ke tengah laut selatan.

Suara gamelan mengalun lamat-lamat, menambah kesan mistis dan menjadi salam selamat datang bagi Ari yang berada di barisan paling belakang. Ia nampak menyeret langkahnya dalam untaian rantai yang membuatnya terbelenggu di pantai selatan selamanya.

Tamat

avataravatar