3 Chap 3

"Bagaimana kabarmu pagi ini? Apa pagimu menyenangkan di sana?" tanya sebuah suara menyapanya dari seberang telepon yang sengaja Reslie loudspeaker.

Saat ini ia tengah membumbui roti panggangnya dengan beberapa selai strawberry, kesukaannya.

"Tentu saja! Tidak ada pagi yang setenang dan semenyenangkan ini dalam hidupku," jawab Reslie sekenanya.

"Apa keadaan kantor aman?" tanya Reslie pada si penelepon. Yang adalah teman satu rekan kerjanya. Jordy. Pria yang sangat feminim dan juga lemah lembut. Tapi entah mengapa, hanya dia satu-satunya orang yang bisa dekat dengannya.

"Em.. apa kau bertanya soal Paula padaku?" tanya Jordy.

Reslie menimbang sejenak, kemudian menjawab.

"Apa dia masih sering membicarakanku di belakang?" tanya Reslie to the point.

"Ya, seperti biasanya. Wanita penyihir itu selalu punya seribu macam bahan untuk membicarakanmu di belakang maupun di depanmu. Karenanya, kau beruntung pihak kantor hanya memberimu skorsing satu bulan. Aku sudah sempat khawatir mereka akan memecatmu," balas Jordy menyebutkan kekhawatirannya.

Reslie tak lantas menjawab. Butuh beberapa detik untuknya berdiam diri. Baru ketika suara mesin kopi berhenti bekerja, Reslie melanjutkan kembali obrolannya.

"Dia jauh lebih beruntung dariku karena punya backing-an. Wanita itu hanya di skors selama satu minggu! Bukankah berbedaan kami sangatlah jauh terlihat??" Reslie meledek keputusan itu dengan tanpa niat.

"Ya, kau benar. Itu sebabnya banyak pekerja lain yang membicarakan aturan diskriminasi yang sangat ketara ini saat jam makan siang kantor. Katanya, jika bukan karena dia adalah simpanannya Kepala Editor. Lalu apa lagi alasan Paula begitu dibela?" balas Jordy santai penuh makna.

"..."

Reslie hanya diam. Ia sibuk mengaduk-aduk kopinya.

"Apa kau masih belum akur juga dengan beberapa saudara iparmu?" tanya Jordy mengorek-ngorek informasi.

"Apa kau pikir aku masih bisa berakur-ria dengan mereka?" tanya Reslie balik.

Jordy terdengar bingung harus menjawab apa. Ia sendiri tidak bisa terlalu ikut campur dalam urusan keluarga oranglain, apalagi urusan antara sesama adik ipar dan kakak ipar yang kurang akur.

Jika sudah menyangkut dua keluarga atau bahkan tiga keluarga yaitu keluarga Reslie, keluarga besar kakak iparnya, dan juga keluarga kecil kakak beserta istri dan anaknya, Jordy tidak tahu harus menyelipkan kata apa untuk melakukan pembelaan dan pembenaran untuk masing-masing pihak.

Ego manusia terlalu besar.

Karena itu, walaupun kadang masalah kecil bisa menjadi besar. Dan masalah besar bisa menjadi malapetaka. Jordy memilih untuk menjadi pendengar yang setia sekaligus memantau yang baik saja.

Jika mungkin nantinya melenceng jauh, baru setelah itu Jordy akan bertindak.

"Oke. Jika kau masih belum ingin menceritakannya padaku. Yang bisa aku lakukan untuk saat ini hanya satu. Mendoakanmu selalu sehat dan tetap baik-baik saja apapun masalahmu," seru Jordy mencoba menghibur.

Jordy kemudian teringat sesuatu.

"Oia, kapan kau akan mengundangku ke rumah barumu?" tanya Jordy mengganti topik.

Reslie mengamati keadaaan sekitar.

"Kurasa masih belum. Aku baru saja pindah, dan rumah ini masih sangat perlu untuk aku betulkan. Kau tahu sendiri, aku membeli rumah ini dengan keadaan terdesak dan rumah ini sendiri sangat-sangat.. tua," jawab Reslie tidak yakin.

Jordy langsung tertawa menanggapi.

"Oke. Oke. Baiklah. Jika kau sudah bisa memiliki kesempatan untuk menyambut seseorang di sana, segera hubungi aku. Karena aku akan langsung melesat menuju ke sana. Jangan lupa, aku ingin juga menginap di sana satu atau dua malam. Jadi siapkan segala hal yang aku butuhkan nantinya di sana. Oke, honey?" celetuk jordy melucu. Dan membuat Reslie mau tidak mau akhirnya tertawa kecil.

"Baiklah, baiklah. Aku akan menyediakan segalanya untukmu. Jangan lupa untuk membawakan cindera mata rumah baru ke sini. Jika tidak, aku tida bisa menjami rumah ini aku terbuka untukmu."

Reslie menyuguhkan sedikit gurauannya pada Jordy. Mereka pun mengakhiri obrolan mereka setelahnya.

***

Entah apakah waktu sebulan cukup untuknya merelaksasikan dirinya dari penatnya kehidupan. Atau malah waktu itu semakin membuatnya jenuh dengan segala rutinitasnya yang tidak berarti selama ini.

Reslie memutuskan akan tetap menyerahkan surat pengunduran dirinya pada perusahaan di hari waktu skorsingnya berakhir.

Ia bukan hanya sudah bosan dengan pekerjaannya. Tapi ia juga sudah mulai merasa lelah dengan segala hiruk-pikuk berita buruk tentangnya dari si nenek sihir bertopeng wanita cantik, Paula Milleas.

Wanita dengan lidahnya berbisa dan beracun yang sangat iri dengan segala keberhasilan Reslie. Serta seniornya yang sangat medengki karena Reslie selalu punya kemampuan yang lebih lebih unggul darinya dalam hal apapun padahal ia masih junior dan baru.

Jika bukan karena sifatnya dan mulutnya yang terburuk itu, Reslie mungkin hasil bisa bertahan di kantor yang sedikit mempemprihatinkan itu. Tapi karena kelakukannya yang jelek dan sikap mereka tidak cocok.

Reslie tidak menemukan adanya harapan ia bisa hidup dengan damai di lingkungan itu. Tidak peduli seberapa penting pekerjaannya. Seberapa besar gaji yang mereka berikan. Reslie tetap akan keluar dari pekerjaan yang mencekiknya itu.

Keputusannya sudah bulat dan itu tidak akan ia ganggu gugat.

Ditengah pergemulutan pikirannya yang rumit. Sebuah panggilan telepon kembali terdengar. Kali ini dari kakak ketiganya. Albert Hugo.

"Hallo, Res." Sapa Albert membuka panggilan.

Reslie dari seberang telepon ikut menyapanya.

"Hallo, Kak."

"Apa tidurmu menyenangkan di sana?" tanya Albert memastikan kondisi adiknya yang telah keluar dari rumah untuk pertama kalinya.

Reslie memang terkadang suka beberapa kali menginap di luar rumah untuk urusan pekerjaan atau untuk sekedar beristirahat di rumah temannya sekali-kali. Tapi baru kali ini, pertama kalinya Reslie benar-benar pindah dari rumah.

Sehingga Albert sebagai kakak yang paling dekat dengannya merasa sedikit perlu memberikan perhatian yang lebih pada suasa hati adik tercintanya itu.

***

avataravatar
Next chapter