webnovel

Kucing Malang

Sore itu, langit menawarkan keindahan alam yang begitu rupawan. Keindahannya mampu membuat setiap hati yang melihatnya berseri gembira. Ditambah hembusan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan tubuh, membuatku dan teman-temanku yang baru saja pulang sekolah merasa disegarkan kembali sehabis memeras otak dan tenaga untuk belajar.

Setelah pulang sekolah, aku dan empat temanku : Roli, Trisno, Kelvin dan Belsindo memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan daerah yang berada tepat di persimpangan jalan. Kami semua meminjam masing-masing satu buku bacaan. Roli dan Trisno meminjam buku novel tentang percintaan remaja SMA, Kelvin meminjam buku Sejarah Jawa Kuno, Belsindo meminjam buku Cara Belajar Bahasa Jerman Yang Baik, dan aku sendiri meminjam sebuah buku novel berjudul Missy. Betapa senangnya hati kami ketika bisa memegang satu buku di tangan kami masing-masing untuk dibawa pulang dan dibaca.

"Aku harus segera kembali ke rumahku sekarang!" kata Roli kepada kami berempat yang lain. "Kalian harus kembali ke rumah kalian masing-masing, bukan?"

"Ya," jawab Trisno sambil melirik ke Roli. "Kita harus berpisah di sini."

"Aku sudah sangat tidak sabar untuk membaca buku ini!" ujar Kelvin yang sedari tadi terus melihat sampul bukunya tersebut.

"Selamat tinggal kalian semua. Sampai jumpa besok di sekolah," teriak Belsindo yang sudah berbelok ke tikungan jalan di perempatan jalan itu.

Kami pun berpisah dan mulai berjalan pulang menuju ke rumah kami masing-masing.

Dalam perjalanan pulang, aku melihat seekor kucing kecil berbulu hitam yang berkeliaran di sekitar tempat sampah. Kucing kecil itu terlihat seperti sedang mencari makanan dari sisa-sisa sampah yang dibuang di situ. Tiba-tiba, tergeraklah hatiku oleh belas kasihan. Aku segera mendekati kucing tersebut dan dengan sangat hati-hati dan penuh kasih sayang kuraih kucing tersebut dengan kedua tanganku. Dengan pelan, aku mulai meletakkannya di depan baju seragam sekolahku. Tak peduli, jika nanti baju seragamku menjadi kotor. Yang terpenting adalah sekarang kucing tersebut sudah berada di dalam dekapan hangat tubuhku.

Aku pun mulai mengayunkan langkah dengan sedikit mempercepat tempo langkah kakiku karena kini cahaya senja telah kembali ke peraduannya tanpa menyisakan seberkas cahaya sedikitpun.

Dari kejauhan, dapat kulihat rumahku. Lampu neon 50 watt dipasang ayah seminggu yang lalu kini telah menyala menerangi halaman pekarangan rumah. Rumah-rumah tetangga sebelah pun mulai terlihat terang disinari cahaya lampu. Lampu-lampu jalan yang berderet rapat pun telah memancarkan cahayanya.

Sudah menjadi kebiasaan ibuku jika salah seorang anaknya belum pulang hingga lampu depan rumah dinyalakan maka ia akan menunggu di depan pintu rumah. Sambil berkacak pinggang, ia mulai mondar-mandir di sekitaran pekarangan rumah. Pikirannya dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Hatinya merasa cemas berlebihan. Sampai-sampai, jika ada tetangga atau orang yang lewat depan rumah dan memberi salam kepada beliau maka beliau tidak akan membalas salam orang tersebut.

Yang sudah kuduga dari tadi kini akan terjadi secara nyata kepadaku. Aku pasti akan dimarahi oleh ibuku. Dan setelah mendengarkan segala perkataannya yang membuatku diam seribu bahasa, sudah tentu aku akan menerima berbagai macam pukulan. Mulai dari pukulan dengan menggunakan rotan, sampai dengan pukulan yang menggunakan hanger baju. Belum cukup sampai di situ, aku masih harus menerima begitu banyak hukuman yang sudah dipastikan ibuku akan membuatku bersujud di bawah kakinya sambil memohon agar tidak melanjutkan hukuman berikutnya.

Next chapter