20 Bab 20: Wajah Tersembunyi

Ginnan berkata lagi. "Aku komikus beratus chapter yang hampir debut sukses sampai draft-ku dicuri si Shunsuke brengsek sialan…" nafasnya putus-putus. "Kau lihat kan? Sekarang mukanya menghiasi berbagai tempat diantara selebrita penerbitan? Yeah… meski belum mengalahkan pamor Yuki dan dirimu. Jujur saja aku seperti ini karena mungkin terlalu sial… dan ya! Kau boleh menyebutku menjijikkan karena cuma bisa bertahan dengan menjual kelaminku! Puas?!"

Lucunya, Ginnan tak tahan untuk menangis dan segera mengodel kotak tisu mungil di sebelah nampan sarapannya. Dia tidak sesenggukan… tentu saja! Dia pria sejati! Tapi kalau sudah bercerita soal masa lalunya yang satu itu, dia tidak tahan untuk mengeluarkan emosi paling besar.

Tetes-tetes bening terus berjatuhan di wajahnya. Dan selama itu, Ginnan juga terus mengusapnya hingga kering meski terus jatuh lagi. Sampai-sampai tak merasa cukup dengan usap pakai tisu. Ginnan bahkan menarik syal Renji yang digantungkan di sisi kursi dan menggunakannya seperti handuk mandi saja.

Kehilangan akal.

Ginnan baru menatap Renji lagi setelah air matanya benar-benar bersih. "Tidak mengatakan apa-apa, ha? Seperti yang diharapkan… kau memang cuma suka mengaduk-aduk kehidupan orang lain…" dumalnya. Lalu melempar syal cokelat gelap itu asal tanpa peduli. Dia melengos lagi ke jendela. Mengambil jus kotakan dan menyedotnya seperti tak pernah minum saja. "Ya ampun… sial… aku jadi ingin makan lagi…"

Melihat berbagai reaksi aneh itu, Renji mendadak justru tersenyum. Bibirnya melengkung disertai suara dengusan geli yang tak biasa. "Kau baru meledak seperti kembang api…" katanya. Geleng-geleng kepala. Lalu memungut syalnya dan meletakan benda itu ke atas meja makan dorong yang digunakan pramugari saat menyambangi penumpangnya.

Tepat di samping nampan kosong Ginnan, benda itu lalu dibawa pergi setelah Renji mengizinkan pramugari itu untuk membuangnya.

Jelas, pramugari itu sempat bingung. Matanya melotot melihat brand yang melekat di syal itu. Namun dia segera pergi setelah diperintahkan.

Renji membuka botol air putih dan meminumnya. "Sayang kau cerita saat penawarannya sudah batal… hmm…"

Dada Ginnan mencelus mendengarnya. "Terserah kau saja…" katanya kesal.

Bukannya iba, Renji justru menyandarkan kepala di bahu Ginnan. Sengaja. Dan mulai menutup mata dengan nyaman.

"Tetap disana," kata Renji. "Bagaimana pun fungsimu adalah perintahku 2 minggu ini."

Ginnan memutar mata dan tetap diam.

Renji memperbaiki posisi kepalanya beberapa kali di bahu itu. Tampak tak nyaman sebelum benar-benar terpejam tenang.

"Kau agak terlalu kurus," komentarnya pelan. "Aku bahkan sempat berpikir akan meniduri bocah."

Ginnan tampak ingin mengumpat tapi berusaha dia tahan.

Renji dibiarkan bermonolog sesuka hati. "Oh... ngomong-ngomong masakanmu semalam juga enak. Aku tidak menolak dibuatkan lagi lain kali."

Ginnan tetap diam.

"Aku juga sempat berpikir menebusmu saja sekalian. Dari bosmu—"

"Apa?"

Ginnan refleks menjauh hingga kepala Renji nyaris terantuk punggung kursi. Renji terbangun. Jarak wajah mereka hanya sejengkal saat itu. Ginnan langsung mendorong muka itu sejauhnya.

"Terlalu menakutkan..." kata Ginnan kesal.

Renji hanya menyeringai tipis sebelum membuat Ginnan lebih emosi. Pria itu menidurkan kepalanya di paha kurus Ginnan kali ini. Separuh badannya bersandar. Sementara separuh yang lain dibiarkan lurus di bagian lain yang masih kosong. Sepertinya benar-benar ingin tidur disana selama perjalanan.

"Pria setampan aku menakutkan?" tanya Renji. Padahal matanya sudah terpejam secara sempurna.

Ginnan ingin tertawa, tapi miris. Dia mengayun tangan di depan wajah seolah sedang mengusir bau busuk. "Astaga... narsis sekali..." katanya, makin jengkel. Dia membuang muka ke jendela.

"Aku memang sangat tampan," tegas Renji.

Ginnan menggeretakkan giginya tanpa sadar. Dia mendesis. "Ya ya ya... terserah saja...," katanya malas. "Walau aku heran hari ini kau kenapa..." suaranya memelan.

Suara Renji ikut memelan. Seolah-olah akan segera lelap tidur. "Kau tidak pernah benar-benar kukasari. Jadi sebenarnya apa yang menakutkan..." gumamnya, dan tentu saja tak mendapat sahutan dari Ginnan. Hingga nafasnya mulai lambat-lambat, tanda dia benar-benar sudah masuk ke dalam alam mimpi.

Saat itu, Ginnan baru sudi menatap ke wajah tidur Renji. Tentu, pria itu terlihat seperti manusia biasa seketika. Tidak menyebalkan, tidak memancing emosi, justru membuatnya penasaran.

Ginnan bahkan baru sadar Renji memiliki tahi lalat mungil di kening kanannya setelah memperhatikan agak lama. Tahi lalat itu terletak dekat alis, tersembunyi jika poninya diturunkan, dan menarik tangan Ginnan menyibaknya pelan-pelan.

Jujur saja, Renji memang sangat tampan. Pria itu tidak narsis atau apa, tapi sungguh Ginnan tak pernah bermaksud mengenal pelanggannya lebih jauh selama ini. Yang menyewa beberapa kali pun tidak pernah.

Ginnan lantas berkata pelan. Nadanya menyesal. "Kenapa melihat buku profil di depanku," katanya. "Kau pasti sudah melihat tahun kelahiranku. Aku jadi merasa tua dan sangat payah sekali..."

Oh, ya... siapa yang tidak tahu tentang Renji. Pria itu, di umurnya yang lebih muda satu tahun dari Ginnan dan segala kesuksesannya yang berantai... dia jadi sangat sebal dan merasa rendah diri.

Bertemu dan bersama Renji beberapa kali, jujur itu membuat Ginnan mendadak berpikir... betapa kehebatan itu ingin ia saingi secepat mungkin. Padahal keinginannya menjadi komikus sudah dikubur dalam sejak memutuskan menjadi pelacur didikan Madam Shin. Tapi kini... dia jadi berpikir sekali lagi mengenai mimpi-mimpi.

Ah, bukan...

Ini bukan mimpi.

Ini mungkin hanya halusinasi dari masa lalu yang menyebalkan... Iya, kan?

"Hhh..." desah Ginnan pelan. Dia melepaskan poni berantakan itu dan melipat tangan di depan dada. Mendadak menguap. "Aku mungkin harus tidur juga..." katanya. Lalu menyusul pergi ke alam penuh halusinasi.

.

.

.

[Milan, Italia]

Perjalanan Tokyo ke Milan menghabiskan waktu sekitar 4 jam. Di kursinya Renji terbangun dua jam kemudian. Dia menatap langit-langit pesawat. Badan kendaraan itu bergoyang pelan saat menabrak awan. Cuaca di luar sangat cerah, namun dia justru mendudukkan diri hanya untuk menarik tirai jendela.

Harusnya mudah, tapi Ginnan menghalangi tarikannya. Kepala lelaki itu bersandar di sana. Poninya agak berantakan dan jatuh ke sisi pipi-pipinya.

Renji menghela napas dan menatap wajah itu. Wajah yang berkilau samar. Kulit putihnya berpendar lembut karena minyak-minyak yang keluar. Bibirnya pun agak terbuka sebelum digigit sendiri tanpa sadar. Ginnan tampak risih. Lelaki itu mengernyitkan kening selama beberapa detik sebelum menggertakkan gigi-gigi. Seperti bocah yang baru umur 6 tahun, mungkin dia memimpikan hal tak biasa hari ini.

Renji beralih memperhatikan leher jenjang itu. Leher yang berjakun samar dan sangat sesuai dengan kalung yang dipakai. Renji tak perlu menebak kalau harga benda itu tak lebih mahal dari syalnya, namun kilau putih yang berpendar jadi tampak beda disana. Membuatnya mendekat tanpa sadar, menarik lembut benda itu dengan jemari, dan baru menyadari tanda-tanda merah yang mengintip di kerah. Tandanya, yang ditinggalkan kepada orang lain juga. Semua yang pernah dia sentuh, tapi tak pernah terlihat semenarik ini.

"Ugh..." keluh Ginnan. Eskpresinya risih ketika jari Renji mengusap satu tanda di selangka. Bagusnya, lelaki itu tak bangun. Dia hanya menggeleng beberapa kali sebelum kembali tidur pulas.

"Eh? Tidak apa-apa kami masuk?" tanya salah satu cleaning service pagi tadi. Keduanya berpandangan setelah mengintip sosok Ginnan yang masih bergumul dalam selimut.

"Masuk saja."

"Anda yakin?"

"Nanti dia kubangunkan."

"Oh... baik."

Furi dan Takano. Kedua cleaning service itu bukan sembarang pekerja dalam hotel. Renji secara khusus menyewa mereka untuk membersihkan penthouse-nya tiap hari. Namun jika ada seseorang di dalam, Haru pasti memberitahu untuk menunggunya keluar. Sebab tak perlu ditebak... mereka adalah teman-teman seks semalamnya. Dengan berbagai identitas, Furi dan Takano juga dikontrak untuk tetap tutup mulut demi menjaga privasi Renji.

Jenis orang-orang itu bervariasi. Terkadang perempuan. Terkadang lelaki. Terkadang juga perempuan dan lelaki sekaligus. Yang pasti tak satu pun dari mereka yang bangun dalam kondisi berpakaian. Itu mungkin alasan mereka heran pagi ini. Sebab Jean dan Haru sekalipun, dirinya tak pernah mencoba menahan diri.

"DEMI APAPUN TIDAK!" bentak Ginnan saat di taman. Renji masih ingat seberapa merah warna kulitnya. "Kan sudah pernah kukatakan... aku bukan gigolo umum! Aku lurus! Aku sangat-sangat lurus! Tapi kau—lancang sekali menyentuhku..."

Selama ini, merekalah yang datang kepadanya. Mendekat seperti kupu-kupu, mengajaknya bermain, membuat kesenangan gila, tapi juga memburamkan ingatannya. Wajah mereka datang dan pergi. Berganti-ganti tiap saat. Lalu meninggalkan aroma-aroma parfum yang berbeda. Pendek kata, selain kenikmatan, tak ada kesan yang mendalam. Haru dan Jean jelas beda, tapi mereka bukan termasuk yang bisa dimiliki. Mereka selalu bisa mengerti. Sayang sampai kapan pun akan menjadi orang lain.

Harusnya Ginnan tak masuk dalam kriteria. Lelaki ini bertempramen sangat buruk. Dia mungkin baik, tapi hanya peduli keinginannya bertahan hidup. Kemana pun kakinya melangkah, disana dia mencoba mengambil kesempatan. Entah beruntung, entah sial... Renji justru bertemu dengannya setelah merasa sangat lelah.

"Tuan..."

Renji menoleh ke suara seorang pramugari. Wanita berseragam merah itu tersenyum. Dia mendorong sebuah meja beroda yang diisi penuh camilan.

Renji biasanya tak pernah mengambil sesuatu. Kalau bersama Haru atau Jean, mereka yang kadang melakukannya. Tapi setelah melirik ke Ginnan, dia pun mengangguk. "Berikan beberapa," katanya. "Tiap jenis, tiap rasa—"

Renji mendadak berhenti berbicara. Tercekat. Ingat keluhan Ginnan tadi malam.

"Kau memesan porsi sebanyak ini untuk apa?"

"Makan saja yang kau suka. Aku hanya tidak tahu seleramu."

"Apa?"

"Kau tidak lapar rupanya—"

"Tidak! Bukan begitu! Aku lapar kok. Aku sangat-sangat lapar. Jadi, terima kasih..."

"Hn."

"Tapi... tapi lain kali sebaiknya kau bertanya dulu. Maksudku, lihat semuanya. Mana mungkin kita sanggup menghabiskan. Walau kau tak perlu cemas, kalau daging pasti kumakan."

"Tuan?" tanya pramugari itu lagi. "Jadi, tiap jenis tiap rasa?"

Renji menatap deretan camilan itu. Sejenak kemudian, si pramugari heran melihatnya mengambil semua yang berasa daging. Labelnya BBQ Beef dengan varian asin, manis, dan pedas. Lalu meletakannya di meja kecil Ginnan.

"Terima kasih..."

"Sama-sama"

Pramugari itu pun berlalu.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter