17 Bab 17: Tentang Ketulusan

Ginnan masak, dan menahan dirinya untuk tidak salah tingkah setiap waktu. Di layar ponsel, Nana tetap tenang memberikan instruksi. Namun Ginnan yakin, saat dia fokus merngaduk-aduk kuah kari di dalam panci, ibu Renji itu mengawasi perawakannya dengan senyuman penuh arti.

Apa?

Kenapa?

Apa wanita itu benar-benar menganggap dia kekasih putranya?

"Bibi, terima kasih…" kata Ginnan. Dan Nana mengucapkan hal yang sama sebelum menutup sambungan video call mereka. Sejujurnya, Ginnan tak mengerti… mengapa di dunia ada jenis ibu seperti Nana. Dia kira sosok itu hanya akan ada di dalam novel atau komik BL, tapi ketika dia sampai di titik ini… pikiran yang dulu jadi jungkir balik seketika.

"Ya ampun… makanan ini harum sekali…" gumam Ginnan. Memandangi kare khas India yang kata Nana adalah menu favorit Renji ketika kecil. Kare itu kental. Diselimuti kuah bumbu warna kuning seperti bubur dan dihiasi dengan garnish dari kayu manis dan brokoli muda. Nana bilang, Renji dulu pernah diajak jalan-jalan ke India. Ke rumah mantan suami Deby, namanya Sameer.

Saat itu, Renji kecil menghabiskan kare hingga piringnya terlihat sangat bersih. Nana mengaku tidak melihat seberapa lahap Renji makan, tapi Sameer bilang bahwa Renji tak pernah memperlihatkan senyuman paling bahagia kecuali saat menguyah makanan berempah tinggi itu.

Ginnan menghela nafas panjang. "Semoga dia suka," katanya. Lantas melepas apron dan segera ke kamar Renji untuk membangunkan.

Ginnan belum ganti baju. Dan dia tak peduli Renji akan berkomentar apa soal aroma dapur dari tubuhnya. Tapi jujur, dia kaget saat pria itu mendadak membuka mata dan meliriknya.

"Eh? Kau belum tidur?!"

Renji menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Pipimu kenapa?

Refleks Ginnan langsung mengusap pipi dengan tangan kiri. "Eh? Pipi?" dan memang ada saus sedikit muncrat disana. "Oh… ini…"

"Kau baru memasak sesuatu?"

Ginnan memandang nampannya. "Bukan apa-apa," katanya. Terlihat tenang di wajah tapi jari-jari kakinya mengejan diam-diam di dalam sandal lantai. "Mn, kau belum makan lagi kan? Tadi bilang mau coba sesuatu."

"Apa itu."

Sembari tersenyum masam, Ginnan mendekat. Nana bilang Renji memang sangat pemilih dalam hal makanan. Dia tak suka, pasti akan diludahkan. Dan kalau bisa, Ginnan tak ingin melihat hasil karyanya diperlakukan sehina itu. "Ini kare. Mungkin bisa membuatmu lebih baik."

Ginnan meletakkan nampan itu di sebelah Renji dan langsung mundur. Mukanya ketar-ketir, apalagi saat Renji bangun. Pria itu menatap nampan, lalu kepadanya. "Kau tahu kare ini dari mana?"

DEG

"…"

Renji mempertegas pertanyaannya. "Hidungku pengar belum lama ini. Aku tidak bisa mencium sesuatu. Tapi kau tidak bisa membohongiku. Kau tahu tentang kare ini dari mana?" tanyanya sekali lagi.

Ginnan mengusap tengkuk. "Anu… aku…" bingungnya. Dia lalu menjawab jujur tapi dengan melengos ke sembarang arah. "Ibumu tadi menelpon…" suaranya memelan di akhir. "Maksudku, tadi saat kau tidak sadar… dan yeah… aku mengangkatnya dan… kita bicara beberapa hal. Termasuk soal kondisimu. Ah! Ya! Aku siap dimarah-marah nanti! Tapi sekarang kau bisa makan dulu kare ini. Ibumu bilang kau makan itu saat merasa tidak baik."

Renji bangun. Menatap nampan itu dan mengambil satu sendok.

Ginnan kira, Renji akan memakannya. Tapi pria itu justru menyodorkan sendok itu kepadanya. "Coba."

"Eh?"

"Aku yakin kau belum mencobanya."

Glek!

Itu benar.

"Apa harus?"

Renji tak berkedip samasekali. Jemari pucatnya gemetar lemah dan tetap bersikukuh ada disana. "Kau memintaku makan sesuatu yang rasanya tidak dipastikan pembuatnya?"

Ginnan keki. "Ahaha… oke-oke. Aku tahu…" katanya agak sebal. Dan dia lebih sebal lagi ketika Renji menjauhkan sendok itu saat dirinya akan meraih. "Apa lagi?"

"Buka saja mulutmu."

Ginnan mengepalkan tangannya tanpa sadar. "Orang ini sakit saja masih banyak tingkah! Demi tuhan!" jeritnya dalam hati. Mau tak mau mencoba suapan itu dari tangan Renji. Menahan diri diawasi dengan jenis tatapan itu. "Dia lapar makanan atau seks sih?! Kenapa sangat menakutkan?!" Meskipun begitu, Ginnan tetap mencobanya.

"Enak?"

Ginnan merasai kare itu dan menelannya diam-diam. "Mn… enak kok! Kenapa kau tidak mencobanya?"

"Tapi manis!" batin Ginnnan. "Apa-apaan kare satu ini! Tadi Bibi Nana tidak salah kan menyuruhku memasukkan gula sebanyak itu?"

Belum selesai Ginnan mengkhayal, tengkuknya sudah ditarik mendekat hingga Renji bisa merasai kare itu langsung dari bibirnya.

DEG

Ginnan melotot lebar, tapi terlalu kaku untuk bereaksi macam-macam. Bibirnya dipagut bibir lain yang sangat panas. Suhu parah Renji sampai mengalir jatuh ke tenggorokkannya. Pria itu memiringkan kepala. Mengecap lidahnya seperti sedang mengunyah permen membal. Ginnan berkedip-kedip sesekali dan refleks berpegangan ke kedua bahu pria itu. Gugup.

Anehnya, Ginnan tidak se-insecure kapan hari ketika Renji melecehkannya di batang pohon.

Ah, bahkan jujur tak jujur sentuhan bibir pria itu terasa nikmat meski agak aneh untuk mulai diterima.

Mungkinkah itu reaksi keputusannya menerima kenyataan disewa pria ini?

"Kau benar…" kata Renji. Begitu melepaskan Ginnan. Mereka bertatapan dari mata ke mata. Sangat dekat. "Sangat manis. Aku mengenal resep masakan ini. Jadi, terima kasih."

Tanpa sadar, saat itu Ginnan masih terbengong saat Renji mulai menikmati masakannya. Suapan pertama dan kedua tandas cepat dari sendok. Renji terlihat begitu antusias mengunyah daging sapi lembut yang dilumur saus kari itu meski wajahnya tetap saja tanpa ekspresi.

"Oh… ya…" kata Ginnan. Dia menatap pemandangan itu dengan takjub. Nana benar. Renji sangat suka kare itu. Dan Nana juga bilang… baru kali ini dia benar-benar memberitahukan resep itu kepada orang lain. Ah, lebih tepatnya… mungkin Haru juga akan diberitahu jika bertanya. Tapi selama ini… Haru tak pernah menemui kondisi Renji hingga pada tahap ini.

Renji menatapnya lagi saat kare di piringnya sisa sedikit. "Bajumu juga kotor."

"Eh? Iyakah?"

Ginnan menunduk, Renji melanjutkan makan. "Di kerahmu. Ada saus juga, jika kau tak tahu. Tapi besok kubelikan gantinya. Kau bisa ambil berapapun yang kau mau…" katanya seringan angin. Tanpa memandang sedikit pun.

"Apa?"

"Baju. Aku akan membayarnya."

Ginnan menjumput sedikit kerahnya. "Tapi ini kan piama darimu."

"Besok kau akan pergi bersamaku," kata Renji. Kali ini piring itu mendadak bersih tanpa sempat Ginnan sadari. Renji meletakannya di atas nampan. "Ke Milan. Ingat?"

"Y-Ya Tuhan… itu bukannya batal?" kata Ginnan heran.

"Siapa yang bilang?"

"Tapi, kan… kondisimu begitu…"

"Kau mengkhawatirkanku?"

DEG

Ginnan yakin dia sudah merona tipis saat ini. Tidak! Tidak!

"S-Siapa bilang?!"

"…"

Renji diam. Dan Ginnan ikut terbisu meski terlihat bersungut-sungut.

Mendadak Renji meraih wajahnya dengan jari. Dari kening… telunjuk pria itu turun hingga mencapai ke bibirnya. Baru sedetik disana, dia mengusap lembut dengan ibu jari. "Aku yang memutuskan…" katanya pelan.

Ginnan sampai tak tahan buang muka dan menampik tangan itu kemudian. "Apa-apaan sih…" protesnya kesal.

"Apa yang apa," kata Renji. "Kau pelacurku. Dan aku ingin menyentuhmu."

DEG

Kepalan tangan Ginnan mengerat tanpa sadar. "Iya aku tahu… tapi kalau mau sentuh, sentuh saja. Tidak perlu membuatku gugup segala!" decaknya kasar.

"Oh, kau gugup?"

Y-YA TUHAAAN!

Ginnan memaksa diri untuk memelototi Renji. "Lupakan saja…" katanya. Walau setelah itu kembali membuang muka. "Cepat minum tehmu. Aku kembalikan semua kalau sudah."

Anehnya, kali ini Renji meminum teh itu tanpa bicara lagi. Begitu tinggal separuh, dia meletakkan gelasnya dan berebah seperti sedia kala. "Ganti piamamu setelah ini," katanya. Lalu memunggungi Ginnan. "Dan tidur saja di sebelahku. Tempatnya masih luas. Besok kita bangun pagi-pagi. Selamat malam."

Ginnan pun terbengong disana selama beberapa saat.

Luar biasanya, Renji tidak marah sedikit pun. Tapi jika ada kemungkinan pria itu masih terjaga, Ginnan ingin mengatakan sesuatu. "Um, maaf soal ponselmu tadi. Aku ini orang yang mudah penasaran…" gumamnya lamat-lamat. "Aku tidak bermaskud melanggar privasimu atau apa. Apalagi aku orang luar. Tapi, sumpah. Kalau ada tulisan 'jangan diangkat', bagiku itu malah godaan besar… hahah… begitulah… kau mengerti kan…"

Terjaga atau tidak, Ginnan lega telah mengatakan semuanya.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter