3 Bab 3: Pedang Dua Mata

"Kartumu, kan?"

Renji menerima kartu itu. "Ya," lalu menatap senyum maksimal yang tampak khas di wajah Ginnan.

"Kau ingin barang apa dariku?" tanya Renji.

"Hah?" bingung Ginnan.

"Balas budi. Aku tidak suka berhutang." tegas Renji.

Ginnan justru cengengesan. "Apa sih. Serius sekali," katanya. Lalu mengibaskan tangan. "Tapi kalau kau memaksa, bagaimana kalau kita kenalan? Kau tadi sempat melirikku kan? Mengaku saja."

"..."

Ginnan tetap dengan senyumnya, meski diacuhkan. "Namaku Ginnan Takahashi. Dan—yeah... kerjaku memang jadi pelacur pria sih. Tapi aku lurus kok. Jadi sumpah tidak ada maksud apapun kepadamu. Tadi itu kerjaan dari teman-temanku. Mereka mendorongku ke mejamu sampai—pokoknya begitu," katanya. Membela diri. "Makanya jangan salah paham lagi, oke? Dan maaf soal parfumku. Haha... ini memang merek murahan," dia menunjuk Renji sekilas. "Coba kalau aku kaya sepertimu. Pasti beli yang bagus-bagus."

"Aku tak tertarik kenal pelacur."

DEG

"Wow—apa?" Ginnan garuk-garuk kepala. Dia memang pelacur pria tapi tak pernah merasa serendah ini. "Oh baiklah. Setidaknya kau pria jujur. Hahaha..." tawanya hambar.

"Tapi tolong ikutlah denganku."

"Heh?"

Renji berbalik. Berjalan masuk ke mobilnya dengan bunyi alarm dari sonar. Awalnya Ginnan mengira sudah tuli, tapi setelah duduk di belakang kemudi, Renji memandangnya dan menunggu.

"Masuk."

"Tunggu-tunggu-tunggu. Tapi aku sudah bilang kalau lurus!" jeritnya. Panik. Lalu menunjuk ke belakang dengan bujarinya. "Lagipula aku sudah dipesan wanita tadi. Mana mungkin ikut denganmu?"

"Apa aku harus menyeretmu?"

DEG

Ginnan membalas tatapan mata emas itu lebih jeli. Pria itu... jujur dia bingung menilainya. Dibilang baik, nyatanya omongannya tajam. Tapi dibilang buruk, kadang sikapnya jadi sopan.

Seperti pedang dua mata. Atau pedang yang mengancam lubang sucinya.

"Apa aku akan dikembalikan baik-baik saja?" tanya Ginnan. "Maksudku, kau ini... tidak sedang ingin menculikku kan? Soalnya gajiku bisa dipotong Madam Shin kalau sembarangan ikut orang."

Di luar dugaan, Renji malah keluar lagi. Pria itu meraih tangannya dan benar-benar menyeretnya masuk ke dalam.

"Duduk. Kukembalikan kau nanti dengan baik," kata Renji sebelum melajukan audinya.

Ginnan memicing. Dia memutar rasa curiga itu dalam dada sebelum memperbaiki posturnya. "Okelah," katanya. Lalu baru menyadari betapa rapi di dalam mobil. "Wow..." desahnya pelan. Padahal Renji seorang perokok, dan gesturnya lumayan serampangan. Tapi mungkin kepribadiannya tidak separah itu.

"Tuan, jadi benar kau adalah Renji Isamu yang itu ya?"

Renji hanya melirik sekilas. "Hm."

"Tadi teman-temanku cerita tentangmu. Mereka bilang kau novelis hebat yang baru dapat penghargaan. Keren sekali."

"Terima kasih."

Senyum Ginnan langsung menghilang. "Hanya itu? Ketus sekali sih..." protesnya kesal. Walau setelahnya tersenyum lagi. "Tapi kalau diingat-ingat... mungkin dulu mantan pacarku juga pernah cerita soal idolanya. Dia bilang orang itu novelis hebat. Dan sekarang dia kerja di tempat yang sama dengan—ah aku yakin pasti itu kau! Namanya Yuki kalau kau kenal?"

Mendengarnya, mata Renji langsung berkilat. "Cih... perempuan sundal..." desahnya sekena. Tanpa menoleh sedikit pun.

"Apa katamu?"

"Aku tak mengenal satu wanita pun minggu ini," kata Renji. mendadak mulai bicara banyak. "Kecuali novelis anyaran berisik yang sering menggangguku dengan nama Yuki Reiko."

"Hei... jadi benar—"

"Apa dia mantan pacar yang kau maksud?"

Renji tersenyum masam saat itu. Sampai-sampai lidah Ginnan kelu dan sulit berkata meski ingin.

"Yuki-mu itu tak bisa dibandingkan dengan seseorang..." kata Renji. mendadak matanya menerawang. "...seseorang yang sangat mempesona tapi juga tak kalah menjijikkan."

Ginnan menelan ludah. Dia berusaha mencerna situasi ini dan mulai salah tingkah. Padahal dia barusan menetapkan Renji adalah orang yang tertutup dan cenderung tak mau didekati, tapi kenapa sekarang malah bicara hal pribadi?

"Anu... apa dia mantan pacarmu juga?"

Renji diam. Dan mobil berhenti tanpa Ginnan sadari.

"Kita sampai," kata Renji. Sambil mengantongi kontak, dia keluar dari sana. "Turunlah."

"Hei, tunggu!"

Ginnan cepat-cepat menyusul Renji dan keluar lewat pintu kemudi, sebelum tertutup. Renji bahkan sampai mundur ke belakang selangkah karena Ginnan hampir menabraknya lagi.

"Aku tak bisa membuka pintunya!" jerit Ginnan. "Dan maaf lagi soal barusan... haha..." dia garuk-garuk kepala.

Renji hanya menghela napas panjang dan menutup pintunya satu bantingan. "Ikut aku."

Seperti anak ayam, Ginnan lagi-lagi mengekori. Dia menoleh ke kanan kiri saat melihat dua deret penjaga memasuki toko mewah itu. Dia penasaran. Sebab plang di depan menggunakan bahasa asing dan dari dulu pun tak pernah berpikir memasuki toko ini.

"Hei, Tuan... mereka ini menjual apa sih?" tanya Ginnan. Sembari mempercepat langkah di sebelah Renji. "Item rahasia?" bisiknya.

"Parfum."

"Hah? Serius?" Ginnan mulai memandang sekitar. "Tapi kenapa tidak ada botol parfum dipajang sejak tadi? Malah seperti ruang agensi."

"Ikut saja."

Ginnan merengut. Tapi dia tetap ikut. Mereka melewati beberapa pelanggan lain yang penampilannya tak kalah bergengsi dari Renji.

Dari anak ayam, seketika Ginnan berubah jadi seperti anak hilang.

"Tuan, harusnya kau belikan saja aku. Kenapa aku harus ikut?" tanya Ginnan.

Saat masuk lift, Renji hanya berdehem dan menekan tombol. Tetap mengabaikan hingga menemui seorang wanita cantik.

"Hei, Ren... apa kabar?" tanya wanita itu.

Rambutnya dicat abu, eye shadow-nya merah, blush on-nya berkilau, dan lipstiknya tampak mewah dengan glitter. Ginnan hampir silau dengan pakaian bermaniknya. Hiasan itu penuh sepanjang dress sepaha, namun terlihat sangat anggun.

"Aku hanya belum mandi," kata Renji. "Dan tersiram wine murahan."

Bukannya sungkan, wanita itu justru tertawa. "Wah-wah... kau memang berantakan," katanya. "Jadi menghilangmu semalam itu ke bar, hm? Haru pasti cemas sekali..." Lalu mengelus lembut pucuk kepala Renji.

Layaknya kekasih, ah bukan. Mungkin lebih kepada adik. Tapi tunggu, kalaupun mereka keluarga. Kenapa tidak mirip?

Selagi Ginnan sibuk berpikir, mendadak dia justru disindir.

"Oh, hei... kau bawa seseorang, ya?"

Wanita itu menilik Ginnan sekilas.

"Hm."

"Apa dia teman seks barumu?"

DEG

"Apa?" kaget Ginnan.

"Bukan." sergah Renji.

Ginnan sudah panik, Renji datar.

Wanita itu justru terkekeh. "Oh... jadi siapa?"

"Hanya penjual seks yang menolongku."

"Wow. Benarkah?" wanita itu mendekati Ginnan. "Menolong apa memangnya?" hak sepatunya berkelotak di atas marmer.

"A-Anu aku... jangan dekat-dekat!" kata Ginnan.

"Oh? Kenapa?" bingung wanita itu.

Ginnan menunjuk Renji. "Kata Tuan itu bauku buruk!" katanya tanpa filter. "Makanya dia kesini membelikanku parfum."

"Oh..."

"Mungkin sih... karena dia tadi bilang soal balas budi." Kata Ginnan. Dia mengelus tengkuknya pelan.

"Kau manis sekali..." komentar wanita itu.

"Apa?"

Wanita itu bertolak pinggang. "Manis. Aku suka style mukamu." Dia memutari Ginnan, yang refleks meyentuh mukanya tanpa sadar.

"Hei... mukaku memang begini sejak lahir," kata Ginnan. malah ikut-ikutan berputar di tempatnya. "Buat apa di-style segala?"

"Ahaha... manis dan polos ternyata," kata wanita itu. Menjentikkan jari bahkan sebelum sempat Ginnan protes. "Kalau begitu aku tahu parfum apa yang cocok untukmu."

"Hei, aku tidak polos!" jerit Ginnan. "Pelacur mana yang polos, sih?"

"Hahaha..."

"Hei, aku serius. Bisa kau beri aku parfum yang sangat-sangat pria?"

"Tenanglah, Tuan Manis. Sebentar lagi parfummu datang, hm?" kata wanita itu. Dia menepuk bahu Ginnan sebelum bisik-bisik pada Renji.

"Ya. Terserah. Kirim padaku tagihannya," kata Renji. Dia mengangguk, sebelum menoleh ke arah Ginnan.

Ginnan yang emosi, mendadak ingin mengalihkan pandangan entah kenapa. "Aku tidak pernah sekesal ini..." gerutunya pelan.

Renji mendekat. "Kau akan diberi dua parfum," katanya. "Satu pilihanmu, satu lagi yang sesuai karaktermu."

"Apanya yang karakter? Aku tidak terima dinilai polos!" protes Ginnan.

"Kalau begitu pakai saja yang kau pilih. Tidak perlu memaksa diri," kata Renji. "Tapi Deby tidak mungkin sembarangan."

"Oh benarkah?" kata Ginnan. Malah justru semakin kesal. "Kalau begitu terserah saja."

"Terima kasih…" kata Renji tiba-tiba

Ginnan diam. Dia menoleh ke Renji pelan-pelan.

Sungguh membingungkan.

"Sama-sama," kata Ginnan. "Walau aku penasaran kau sebenarnya orang jahat atau bukan."

Renji berkata dengan teguh. Dia tak mengalihkan pandangannya dari Ginnan sedikit pun. "Terserah bagaimana kau menilai."

Mendadak suara kelotak sepatu hak tinggi kembali terdengar. Itu Deby. Wanita itu kini membawa dua tas belanjaan di tangan. Labelnya memakai bahasa asing sama seperti plang yang dipasang di depan sana.

"Ini." kata Deby. Dia memberikan tas itu ke Ginnan yang tampak kaget dengan beratnya.

"Ya tuhan!"

Deby senyum. Apalagi saat melihat ekspresi itu. "Satu berisi parfum-parfummu, dan satu lagi hadiah rahasia yang kusiapkan."

"Eh? Hadiah?"

"Kau bisa memakainya saat ada acara istimewa," kata Deby. "Dengan muka manismu, harusnya kau lebih perhatian dengan visual."

"Ah... haha... terima kasih..."

Ginna melirik Renji, Renji menoleh ke Deby dan tampak tersenyum dengan matanya. "Kita bertemu lagi lain waktu."

Deby lagi-lagi mengelus pucuk kepala Renji. "Tenang saja. Aku selalu disini kalau kau ingin bermain-main," katanya halus. "Dan jangan pernah ragu cerita apapun masalahmu."

Ginnan melihat adegan itu lebih jeli. Sorot mata Renji tampak lebih menyenangkan meski bibirnya tetap bergaris.

"Aku pergi," kata Renji. "Beritahu Ibu aku baik-baik saja."

"Oke."

"Eh... Ibu?"

Belum sempat Ginnan mencerna semuanya. Renji sudah memberi isyarat agar dia mengikuti.

"Kuantar kau kembali."

"Oh? Ya..." kata Ginnan. Lalu ojigi kepada Deby. "Permisi."

Begitu keluar, Ginnan tak bisa lagi menahan rasa penasaran. "Deby itu siapamu sih?" tanyanya. "Maksudku, kau kan seperti ini. Hebat saja ada wanita yang kau hargai."

"Dia bibiku."

"Apa?!" kaget Ginnan.

"Umurnya hampir 50 tapi memang agak menipu," jelas Renji. Mata fokus ke pintu lift. "Dia sendiri yang memintaku memanggil nama."

"Oh..." kata Ginnan. "Karena itu kau tidak membayar semua ini?"

Renji meliriknya sekilas mendengarnya. "Bodoh..."

"Hei! Aku kan bertanya."

Renji menggelengkan kepala dan lagi-lagi mendiamkannya hingga lantai satu. Harusnya itu tidak sopan, tapi kali ini dia ingat kalau Ginnan sangat kampungan. Jadi dia berhenti dan membukakan pintu sebelah kemudi agar Ginnan masuk dulu sebelum dirinya menyusul duduk.

Sampai di bar kembali. Ginnan dibukakan pintu lagi sampai Renji berdiri dulu di luar sana.

"Mn... pokoknya makasih," kata Ginnan. "Yang kau lakukan mungkin remeh, tapi menurutku sangat membantu," dia tersenyum lebar. "Kau tahu? Dengan parfum bagus mungkin aku kebanjiran pelanggan setelah ini..."

Renji tidak memandang kala menjawab. "Terserah saja, yang pasti aku tak berhutang lagi padamu." katanya. Lalu mengeluarkan kunci dan kembali masuk ke dalam mobil.

"Oh... oke. Bisa kuanggap jadi begitu," kata Ginnan. "Hati-hati."

Renji tetap menatap jalan tanpa menoleh sedikit pun. Harusnya tidak ada masalah setelah itu. Mereka akan berpisah, dan semua sudah berakhir. Namun, saat mesin mobil mulai menyala... Ginnan mendadak refleks memasukkan tangannya lewat jendela.

"Hei, tunggu!" jerit Ginnan. Dia menarik seatbelt Renji yang tergantung percuma dan tertawa tepat di depan muka datar pria itu. "Aku baru sadar kalau kau punya kebiasaan buruk," katanya. Sambil memasang seatbelt itu. padahal posisinya susah, tapi tetap saja dilakukan. "Lain kali pakai ini terus oke? Dan istirahat juga. Soalnya... sejak awal kau terlihat sangat bermasalah di mataku."

Renji diam. Pria itu membiarkan Ginnan selesai, keluar lagi, dan melambaikan tangan kepadanya.

"Oke kuulang," kata Ginnan. "Hati-hati ya di jalan."

Renji memandang lelaki itu sejenak sebelum benar-benar melajukan mesin mobilnya.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter