10 Bab 10: Lelaki Bunga

Mendengarnya, Ginnan kehilangan kata-kata.

Ginnan pun membuang muka sangking tidak nyamannya. "Oke-oke. Tidak usah selebay itu," katanya. "Jadi Cuma karena ini kau menahanku tidak pergi? Ya Tuhan... kau bisa buat orang jantungan dengan memaksanya melihat adegan ciumanmu."

"Kau cemburu?"

DEG

"Apa?!"

Seketika, Ginnan langsung menatap Renji heboh.

"..."

"T-Tentu saja tidak! Buat apa juga... ha!" teriak Ginnan tanpa sadar. "Kurang kerjaan sekali cemburu padamu."

Renji hanya santai menanggapi. "Begitu."

Padahal muka Ginnan sudah mulai memanas saat ini. "Lagipula dia kelihatan sangat menyayangimu..."

Renji justru membuang pandangan ke jendela.

"Sudah tahu. Terus kenapa?"

Ginnan meneguk ludah. Padahal niatnya tadi asal menebak... malah jadi seperti ini. "Mencintaimu juga..."

"Sudah tahu juga," kata Renji lagi. "Sebenarnya apa yang mau kukatakan?"

Ginnan malah diam seribu bahasa. Dia menggaruk kepala yang tak gatal, lalu hanya duduk kembali ke kursinya.

"Haru sudah bersamaku sejak dulu..." kata Renji tiba-tiba. Dia menjelaskan tanpa diminta. "Sesekali kami menjadi teman seks dan saling menguntungkan di pekerjaan. Bukankah itu yang ingin kau ketahui? Apa lagi yang mau kau tanyakan?"

Ginnan menggeleng. "Tidak kok. Tidak ada."

"Kupikir kau wartawan lepas yang menyamar atau apa."

DEG

"DEMI TUHAN TIDAK!"

Renji mendengus tersenyum. "Kalau tidak ya sudah," katanya seringan angin. "Tapi kalau memang iya, kuizinkan kau koar-koar ke publik soal itu. Lagipula bukan lagi rahasia."

Ginnan langsung mati kutu. "Kau ini..." katanya. "...bagaimana bisa sesantai itu dalam masalah pribadimu?"

Alis Renji naik sebelah. "Pribadiku?" katanya. "Kenapa justru kau yang sangat peduli soal itu?"

"Apa?"

"Kau yakin tidak sedang jatuh cinta kepadaku?"

"Apa lagi itu?! Ya Tuhan..."

Bibir Ginnan sampai meliuk karena sungguh tak habis pikir.

"Kalau tidak, ya sudah. Aku kan hanya ingin memancing emosimu."

Ginnan mengepalkan tangan tanpa sadar. "Jadi kau sengaja ya..." katanya. "Dan sekarang sudah kejadian. Apa kau senang, ha?"

"Tentu saja."

"Kau..."

Renji malah terkekeh pelan. "Kau bisa lupakan soal liontin itu," katanya. "Tadi malam aku hanya sedang agak marah. Dan lagipula... perempuan itu sudah menjadi milik orang lain. Jadi buat apa aku menyimpannya? Bodoh sekali..."

Renji bicara agak banyak. Dan ini sangat jarang terjadi.

Ginnan sampai ingat kata-kata dokter yang memeriksa Renji semalam dan kemungkinan memang wanita di liontin itulah penyebab kondisinya seperti ini.

"Aku... tidak tahu harus berkata apa."

Dari tirai jendela yang berkibar, Renji kembali menatapnya. "Kau bisa bilang terima kasih atau semacamnya."

"Oh, ya..." gumam Ginnan. "Kalau begitu terima kasih."

"Dan maaf aku sempat agak lancang…" kata Renji tiba-tiba.

DEG

"Apa?"

"Semalam di taman. Apa aku perlu mengingatkanmu?"

"Oh, mn..." gumam Ginnan lagi. Dia menggeleng secepatnya. "Tidak kok. Aku sudah sangat ingat."

"Benarkah?"

"Bisa kau jangan lagi menggodaku?"

"Padahal kau cukup sesuai menjadi wanitaku."

"APA KATAMU?!"

"Haha..."

Renji benar-benar tertawa saat ini. Dan meski pria itu menutup mulutnya dengan tangan, Ginnan masih tak percaya pada mata kepalanya sendiri.

"Benar-benar menyebalkan..." gerutu Ginnan dengan kepalan yang mengerat. "Coba kalau kau tidak sakit. Aku pasti benar-benar menggamparmu kali ini."

Tentu Ginnan hanya bernarasi tanpa niat buruk sedikit pun. Dia hanya agak kesal. Tapi melihat tawa itu, dia seperti menemukan suatu keajaiban. Seorang Renji yang nyaris tak pernah berekspresi berlebihan, dikiranya pria itu tak akan menunjukkan tawanya di depan siapapun—ralat—Ginnan bahkan sempat ragu kalau dia bisa tertawa selepas ini. Jadi Haru memang benar.

Semakin Ginnan mengenal sosok Renji, dia akan menemukan lebih banyak kejutan di masa depan.

"Benar-benar tidak wajar," batin Ginnan. Sambil masih memperhatikan tawa itu. "Sering bertingkah aneh, kaya dan sibuk tapi seperti kurang kerjaan, tukang bully, seenaknya, kadang panas, kadang dingin, punya selera unik di makanan, biseksual, tidak bisa dibilang jahat, tidak bisa disebut baik, punya fetish dengan parfum, independen tapi suka dimanja orang-orang terdekatnya, suka memaki, kelihatan arogan tapi mudah bilang maaf dan terima kasih. Oh! Aku bahkan baru sadar dia tidak protes menggunakan piama rumah sakit bermotif boneka beruang duduk."

Renji memang mengenakan piama itu. Warnanya biru langit dan beruang-beruang itu bahkan juga memeluk simbol hati sangat besar.

Tidak hanya itu. Ginnan juga baru melihat benda lain yang serupa. Sebuah tas. Dan Haru membawakannya dengan isi kebutuhan Renji selama di rumah sakit. Kalau sekali lihat, semua memang normal saja. Bahannya dari beledu sintetis bulu-bulu anjing merek mahal, warnanya hitam legam, tapi gantungan tiap restletingnya justru berbentuk kepala tokoh heroik Uzumakhi Naruto.

Umumnya, kalau pria itu memang sangat-sangat dingin seperti tokoh ikonik dalam film, dia pasti geli mengenakan benda imut dan semacamnya. Dan lihat, sekarang Renji malah mengambil buket mawar jengukan dari Haru dan menghirup aromanya seperti sedang meresapi.

"Kau... suka dengan mawar, ya?" tanya Ginnan.

"Aku?" Renji tersenyum tipis. "Aku suka semua jenis bunga kecuali Raflesia."

Kening Ginnan seketika langsung berkedut. "Tentu saja, Bodoh..." katanya geram. Padahal dia baru saja terpaku heran ke pria itu. "Siapa juga yang suka bunga busuk itu."

Renji kelihatan berpikir lagi. "Ah... bukan. Aku juga tidak suka akasia," katanya. "Maksudku yang warna kuning."

"Kuning?"

"Kau tidak tahu arti bunga?"

TIDAK! MEMANG TIDAK! KARENA AKU PRIA SEJATI!

Ginnan ingin berteriak seperti itu, tapi sebisanya tidak jadi. Sebab mungkin dia sudah mulai terbiasa. Kepribadian Renji memang sangat-sangat parah, tapi... ya sudahlah.

"Tentu saja tidak. Siapa juga yang peduli dengan bunga?"

"Akasia kuning bermakna perasaan orang yang kau tuju... ada pada orang lain," kata Renji. "Dan penyesalanku tidak pernah sempat ikut klub bonsai saat sekolah."

Oh, benar juga.

Satu lagi sifat Renji yang sempat Ginnan lupa. Pria ini juga suka curhat seenak hati, apa adanya, tanpa peduli itu rahasia atau bukan, dan kepada siapa dia bilang.

"Oh... memang kenapa?"

Daripada lagi-lagi heran, Ginnan pun memutuskan mengikuti alur saja.

"Wali kelas lebih dulu mengikutkanku ke ekskul mapel," katanya. "FMIPA, bahasa asing, dan debat politik. Padahal aku sangat tertarik dengan bunga."

"Mendadak aku ingin menampar pria ini!" batin Ginnan.

Bukankah dia pria paling seenaknya di dunia?

Kenapa bisa sangat patuh dengan guru?

"Kau tidak ingin resign profil atau semacamnya?"

"Tidak berguna," kata Renji. Kali ini dengan mencabuti mahkota mawar itu satu per satu. Seperti anak kecil yang sedang main entah apa. "Mereka kesulitan cari kandidat penggantiku. Karena semua ditujukan untuk lomba antar sekolah."

"Astaga...! Dia ini sedang curhat atau pamer?" batin Ginnan lagi. "Rupa-rupanya tipe siswa teladan yang menggila di luar masa pendidikannya!"

"Oh.." kata Ginnan. "Tapi kau cukup tahu soal bunga. Bukannya itu lebih dari cukup?"

"Tidak," kata Renji. "Apapun soal bunga tidak pernah cukup untuk kuketahui."

"Ya ampun..." desah Ginnan. "Lalu kenapa tidak buka toko bunga saja?"

"Sudah."

"Apa?"

"Di kota ini," kata Renji. Dia tersenyum kecil melihat bunga pertamanya sudah botak secara sempurna. "Aku membuka beberapa cabang kecil. Haru yang mengurusnya dan aku senang meski hampir tak pernah berkunjung langsung."

"Oke-oke. Aku tahu kau sangat kaya raya. Jadi berhenti sampai sini untuk pamernya." kata Ginnan.

Renji justru mengambil satu tangkai lagi dan mengacungkannya ke muka Ginnan. "Kau bunga."

Ginnan memutar bola mata. "Apa lagi sekarang?"

"Maksudku kau sangat pantas dengan bunga."

Ginnan menghela napas panjang. "Apa penyakitmu bertambah amnesia?" tanyanya. "Perasaan sudah pernah kubilang... kalau aku sangat lurus, normal, dan tidak belok sedikit pun."

"Ya, tapi aku hanya membahas soal kesan," kata Renji. "Beberapa orang memang terlihat seperti itu. Mereka tidak harus perempuan, tapi sangat sesuai dengan bunga."

"Terus? Hanya itu?"

"Bulan depan Haru mungkin mencari model baru," kata Renji. "Dan aku tertarik membawamu ke salah satu kolase kalau mau."

Ginnan terpejam dan mengepalkan tangan tanpa sadar. "Tidak, terima kasih."

"Kenapa?"

"Mukaku sudah dikenal dalam profil para gigolo," kata Ginnan. "Kau mau kolasemu dihiasi dengan kesan penjual seks?"

"Akan bagus?"

"Bodoh..."

"Kau sudah menyebutku bodoh dua kali."

"Oke, jelaskan."

Bukannya menjelaskan, Renji justru menegakkan badan. Ginnan yang kaget refleks condong ke belakang. Dikiranya Renji mau apa, pria itu ternyata hanya menyelipkan tangkai bunga itu ke telinganya.

"Akan kubayar kau lima kali lipat dari gaji biasamu."

"Eh?"

Renji menatapnya lurus-lurus. "Katakan kau tidak akan menolakku."

"Tunggu-tunggu... sebenarnya dari tadi kita bicara soal apa?"

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter