8 Bab 8: Kecupan Basah

Kuku-kuku Ginnan mencakar lebih dalam ketika lumatan demi lumatan mulai menjamah kulit bibirnya. Ini sunguh-sungguh gila! Tapi seperti apapun keinginan menggampar pria ini, anehnya dia justru terbeku di tempat dan tetap disana hingga akhir.

Renji menatap. Mata emasnya sempat menilik ekspresi tegang lelaki ini sebelum turun ke ceruk leher. Satu desahan mengudara, Renji turun ke garis-garis halus di kejenjangan itu dengan gigi taring yang menggerus—lalu terbenam ke dalamnya.

"Hei, Tuan—"

"Diam."

Satu gigitan.

"Akh!"

Dua.

"..."

"Tunggu sebentar—"

Tiga dan langsung berpindah lagi.

Tangan tremor Ginnan mendorong bahu Renji. Hanya sekali membuat jarak, dia justru terdesak hingga punggungnya bersatu segaris batang pohon.

"Aku sedang menghukummu."

DEG

"M-Menghukum? Apa?"

Ginnan mendongak menatap langit. Lehernya dikuasai, dan hanya bisa bertahan di posisi itu seiring kakinya mulai keram.

"Membela teman lacurmu. Kau tahu dia keliru dan tak seharusnya sampai kesini."

"Aku..." gumam Ginnan. "Tapi kan itu demi kebaikan!" jeritnya kesal.

Astaga, benar-benar...

Ginnan sadar dileceh pria. Ginnan juga sadar dia pelacur. Tapi seperti apapun situasinya selama ini, tak sekalipun pikiran jadi gigolo umum melintas panas di benaknya.

Di rusun, Madam Shin memang pernah menawari. Katanya ada banyak lelaki kaya yang menginginkannya jadi wanita di atas ranjang. Alasannya, tentu karena dia cantik. Tapi Ginnan selalu menjawab dengan cengiran. "Apa... itu tidak sedikit kelewat batas?" katanya, dengan mengusap tengkuk karena kuduknya mulai meremang. Tapi—ya tuhan! Demi apapun sekarang dia melewati batas itu! Renji bahkan meremas pergelangannya, acuh ditolak, dan mencumbu kulit dadanya yang dirobek dengan kuku.

"H-Hei... jangan begini," pinta Ginnan. "Bukan aku yang mencuri kan..."

Renji tetap menandai. "Aku akan membayarmu."

"Apa?!"

Renji pun membuat jarak perlahan-lahan. "Bukankah kelaminmu itu diharga uang?"

DEG

Ginnan pias. Mendengar itu, dia meledak seketika. "DEMI APAPUN TIDAK!" bentaknya kesal. Wajahnya semakin merah dan nafasnya bersengalan.  "Kan sudah pernah kukatakan... aku ini bukan gigolo umum. Aku lurus! Aku sangat-sangat lurus! Tapi kau—" Ginnan meneguk ludah. Suaranya memelan tiba-tiba. "—lancang sekali menyentuhku..."

Renji diam. Dia meniti setiap detil berantakan lelaki itu sebelum mulai melepaskan.

"Oh, maaf..." katanya, begitu rendah seperti angin.

Renji mundur selangkah, Ginnan merosot hingga ke akar pohon. Wajahnya berkerut-kerut dalam. Dia seperti tertimpa hutang jutaan dolar, atau mendengar kabar kena penyakit kronis mendadak.

Syok. Dan begitu gelisah hingga menggigil.

Tanda-tanda merah itu telah membekas. Warnanya terang di bawah cahaya bulan.

Entah sejak kapan mendung memudar. Tapi meski sudah diberi jeda waktu, Ginnan tetap melengos ketika tubuhnya direngkuh mantel tebal.

"Aku akan mengantarmu pulang."

Benda itu bahkan mengggelamkan seluruh tubuhnya karena berukuran terlalu panjang.

"Tidak."

"Kau akan kedinginan di tempat ini."

"K-Kau... menjauh saja tidak bisa ya?"

Ginnan mendongak dengan tatapan benci.

Renji diam. Dan bahkan mengeluarkan kunci dari saku celana dan tetap menariknya hingga berdiri.

"Ikut aku."

"HEI!"

Lagi-lagi Ginnan terpaksa mengekori pria ini. Langkahnya terseok-seok di rerumputan. Dan dia mengaduh kala terantuk kerikil hingga menabrak punggung Renji.

Renji tidak marah sedikit pun kali ini. Pria itu hanya menoleh sejenak sebelum menariknya sekali lagi.

Ginnan tak bisa berkata-kata.

Genggaman Renji mendadak mengerat seolah melarangnya lepas. Pria itu membawanya mendekat ke audi hitam, dan memasukkannya lagi ke dalam sana.

"Yuka!" jerit Ginnan. Tapi Renji justru mengunci pintu dan jendela mobilnya sebelum mulai memutar kunci. "Yuka masih di halte bis! Apa kau bodoh meninggalkannya?!"

"Tidak ada."

"Apa?!"

"Dia sudah tidak di tempat itu."

Ginnan pun menoleh ke halte kala mobil Renji semakin dekat. Dan dia diam—Yuka memang telah pergi. Wanita itu mungkin menyetop taksi atau berjalan sendirian menuju rusun. Yang pasti, Renji terlihat tidak ingin berhenti meski sebentar.

Ginnan menghela nafas panjang. Dia melirik ke Renji lewat spion. Wajah pria itu keras, tapi tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.

Apanya yang minta maaf? Dia hanya tahu tanggung jawab pada apapun yang dilakukan. Tapi tak pernah memiliki tanda untuk berhenti.

"Kau tahu... aku tidak bilang memaafkan."

"Lalu?"

DEG

"Hanya, lalu, katamu?"

Tatapan Renji tetap ke depan. "Kau mau kunikahi hanya karena  aku sedikit menyentuh?"

DEG

"APA LAGI ITU?!"

Renji membanting setir di kelokan.

Bagi Ginnan yang tak siap, itu membuatnya terdesak ke bahu Renji.

"Aduh!"

Renji melirik sekilas. "Kalau iya, kulakukan."

Muka Ginnan langsung pucat.

"TIDAK USAH, TERIMA KASIH!" teriaknya jengkel. Tanpa sadar sudah berada di depan rusun, hingga mukanya nyaris mencium kaca depan.

"Aduh!"

Renji lagi-lagi hanya diam. Seperti mulai terbiasa menghadapi kelakuan bodoh Ginnan. Matanya hanya mengikuti kala lelaki itu bersungut-sungut. "Bukakan kuncinya! Kau pikir sedang menyanderaku?!" teriaknya lagi.

Renji pun melakukannya. Dan Ginnan langsung keluar tanpa peduli kala terantuk trotar hingga jatuh.

Pertama menungging. Dengan lutut dan telapak mencium aspal tapi dia segera berbalik dan menunjuk-nunjuk Renji tanpa peduli.

"Pulang sana! Jangan kembali menemuiku!"

Bukannya bereaksi lebih, Renji hanya menutup pintu mobil dan melaju seolah meninggalkan kucing buangan.

Ginnan mendesis. Dia meremas aspal hingga mulai tenang di tempat itu. "Benar-benar... menakutkan," gumamnya pelan. Sadar-sadar, dia mencium aroma khas Renji dari tubuhnya sendiri.

Mantel ini. Yang sangat hangat di tubuhnya. Sangat besar, tebal, dan melindunginya dari salju. Ginnan sempat berpikir untuk melepasnya begitu saja tapi tak jadi begitu angin yang berhembus kembali mengencang tiba-tiba.

Sekarang pukul 3 pagi. Dan Ginnan yakin dia tak mungkin melupakan kejadian saat ini.

.

.

.

"Benar-benar pria brengsek..." gerutu Ginnan sepanjang jalan. "Masih bagus dia mengakuinya."

Sebelum memasuki lift, Ginnan merogoh kunci rusunnya dari saku.

Kanan, kiri. Saku kemeja, saku celana. Tapi sungguh sial tidak ada!

Ginnan sampai melompat keluar lagi sebelum lift sempat menutup.

"Astaga... ini sungguh-sungguh buruk."

Arloji di tangan menunjukkan pukul 2 pagi. Ginnan segera keluar pintu taman dan berjalan menyusur trotoar lagi meski malas. Jejak-jejak kakinya di atas salju bahkan masih ada... dan tak ada satu benda pun jatuh di atas sana.

Gawat.

Mungkin benda itu benar-benar terjatuh di taman tadi saat dia memberontak genggaman Renji.

Ya tuhan... apa dia memang benar harus kembali?

Kalaupun dia bisa menginap di kamar Hiro, Ginnan jelas tega membangunkan pria itu meski sudah selarut ini. Dia akan mengetuk bolak-balik, kalau perlu sampai menggedor agak Hiro keluar, tapi masalahnya bukan itu!

Yuki ada di dalam kamarnya dan wanita itu sedang sakit! Tidak mungkin kan... besok pagi dia baru mencari kunci dan membiarkannya kelaparan di dalam sana tanpa obat atau apa?

"Arrrgggh! Siaaal!" umpat Ginnan. Dia pun benar-benar menyusur jalan. Ke jalur yang sama Renji mengantarnya dengan audi mewah barusan. Dia lelah. Dia menendang-nendang sangking kesalnya.

Bagaimana bisa beberapa kejadian buruk menimpanya dalam satu malam? Apalagi angin semakin parah saja. Dan Ginnan yakin, jika tadi dia membanting mantel ini ke jalan, pasti tubuhnya sudah membeku saat ini. Salju yang baru saja melebat dan menumpuki bahu-bahunya.

"Ugh..."

Ginnan pun mengeratkan mantel itu ke tubuhnya. Meski samar, aroma Renji jadi semakin akrab dengan hidungnya. Dia sungguh ingin marah. Kalau perlu lebih dari yang tadi dan sampai menggampar atau apa. Tapi memang menyebalkan. Kenapa mukanya sedatar itu meski sudah melakukan kesalahan?

[Warning! Titik dua jeda adalah tanda adegan lalu yang muncul sekilas. Di Webnovel tidak ada fitur huruf miring, jadi kubuat begitu]

.

.

"Kau tahu... aku tidak bilang memaafkan…" kata Renji waktu itu.

"Lalu?"

DEG

"Hanya, lalu, katamu?"

.

.

Di depan Renji dia mungkin terlihat sangat marah karena disentuh. Tapi sebenarnya, dia lebih tersinggung pada cara pria itu menatapnya sepele seperti melakukan hal biasa.

.

.

"Kau mau kunikahi hanya karena  aku sedikit menyentuh?"

.

.

Belum lagi, caranya bicara.

"Kalau iya, kulakukan."

.

.

Memang menikah semudah itu? Seenaknya saja menggunakan itu sebagai candaan.

"Eh?"

Ginnan refleks berhenti berjalan. Kala berhenti menatap kakinya sendiri dan mengangkat kepala ke arah depan. Sebab di balik kelokan jalan masih ada mobil audi hitam yang sangat akrab di ingatannya.

Milik Renji, tapi sekarang kendaraan itu tak lagi indah seperti tadi. Bempernya menabrak tiang listrik, mesinnya masih menyala dengan lampu kelap-kelip, alarm samarnya berbunyi, dan pemiliknya mungkin masih ada di dalam sana.

"Y-YA AMPUN!"

Seketika, Ginnan pun langsung berlari dan mendekati tempat itu. Dia menempelkan wajah dan telapak tangan di kaca jendela. Mengintip dan sungguh menemukan Renji duduk di dalam.

Pria itu pingsan. Tubuhnya menghambur ke setir, tepat ke kedua lengannya yang menumpu lipat.

Selarut ini.

Ginnan menoleh ke sekitar... dan benar-benar tidak ada orang lain. Tapi kalau dilihat sekali lagi, tidak ada tanda-tanda kecelakaan serius atau apa. Renji sendiri bahkan tak terluka sedikit pun, tapi... kenapa?!

Beberapa saat lalu pria itu bahkan tampak sehat-sehat saja dan memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menggenggam tangannya paksa menuju mobil.

"Aissh... benar-benar membingungkan."

Ginnan pun memutari mobil untuk ke sisi jendela yang terbuka. Tangan dan kepalanya melongok masuk. Mencari-cari sebuah tombol mungil yang ditekan Renji ketika dia protes ingin dibukakan pintu.

Clik!

Dan benar-benar terbuka! Untung tadi dia sempat melihat bagian ini!

Ginnan pun segera masuk ke dalam dan mendorong Renji hingga duduk tegak. Punggungnya pun membentur kursi mobil.

Wajah pria itu sungguh dekat. Dan baru kali ini memang terlihat agak pucat. Ginnan heran, tapi dia mendekat ke leher itu demi memastikan tidak ada bau alkohol atau narkoba yang menyebabkan kondisi Renji mendadak jadi begini.

Hasilnya nihil.

Pria ini sungguh-sungguh sakit!

Astaga...

Ginnan bahkan baru sadar keningnya berkeringat dan mulai menghangat saat dia sengaja membenturkan bagian itu ke keningnya sendiri.

"Sial..."

Ginnan ingin melepaskan kedua lengan itu dan pergi karena jujur masih sangat jengkel. Tapi tiga detik kemudian, nyatanya  dia justru mengeluarkan ponsel meski mendengus sangat keras.

"Oke, baik. Akan kubawa kau ke rumah sakit. Tapi setelah itu sudah! Aku akan langsung meninggalkanmu kalau sampai, mengerti?!" bentaknya ke tubuh tanpa sadar itu.

Seperti orang bodoh... Ginnan benar-benar menunggui Renji hingga ambulan datang menjemput. Dia bersungut-sungut, tapi tetap berusaha menahan diri. Dia ingin pulang, tapi kunci rusunnya masih berada entah dimana. Dan saat seorang suster memintanya untuk tinggal... dia pun duduk di kursi tunggu meski pikirannya tak tentu arah.

"Aku bukan temannya," gerutu Ginnan sendirian. "Dan kenapa si Haru-Haru itu tidak bisa dihubungi. Cih..."

Meski setelah bilang begitu, dia tetap menoleh ke dalam dinding kaca. Disana Renji ditangani beberapa petugas kesehatan yang sedang jaga. Satu dokter memeriksa, satu suster mencatat entah apa, satu suster mondar-mandir menyiapkan infus di tiang, dan satu lagi tetap mencoba menghubungi nomor Haru di meja resepsionis.

Mereka tahu pria itu Renji Isamu. Wajahnya bahkan ada di kemasan botol minuman yang entah bagaimana berdiri tegak di sebelah mesin telepon. Sudah bukan rahasia jika pria itu tinggal sendiri, dan hanya Haru yang bersamanya. Di artikel yang sempat dia baca, Renji memang sudah terpisah dari orangtua sejak kecil... dan kemungkinan belum pernah mengunjungi keduanya lagi sampai sekarang.

Entah ada masalah apa di dalam keluarganya, atau memang hanya karena pria itu benar-benar terlalu mandiri mengenai urusannya.

Ginnan ingin tidak peduli, tapi jujur segala hal tentang Renji memang menarik untuk diketahui lebih jauh. Pria itu berbeda. Dan entah bagaimana kejengkelannya mulai menghilang saat ini.

"Kenapa aku harus terlibat jauh dengan pria ini?" pikir Ginnan. Sebelum memutuskan untuk mengirim pesan suara kepada Hiro. Untuk mengurus Yuki yang masih terkunci di dalam kamarnya. Besok pagi entah bagaimana kondisi wanita itu. Yang pasti Ginnan tahu, jika memang kuncinya tidak ketemu... Hiro sudah cukup kuat untuk mendobraknya dari luar.

"Tuan..." panggil suster yang entah sejak kapan di depannya.

"Ya?"

Ginnan mendongak dan masih tetap duduk di tempatnya. Suster itu tersenyum dengan sopan. "Anda tidak ingin melihat kondisinya?"

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter