16 Bab 16: Ikatan Hati

Renji justru pingsan setelahnya.

DEG

"Y-Ya Tuhan..." gumam Ginnan. Tak habis pikir. Dia terdiam melihat pria itu menunduk jatuh ke pelukkannya. Keningnya hangat. Dan bersandar sempurna di bahunya.

Ginnan bingung. Apanya yang sembuh, ha? Apanya yang sudah diperbolehkan untuk pulang? Apa dokter-dokter itu sudah buta?

Aroma Renji bahkan penuh dengan hawa panas bercampur muntahannya yang baru. Dan Ginnan yakin, jika posisinya terbalik saat ini... dia yang muntah dan Renji yang dia gunakan untuk sandaran... pria itu mungkin sudah mendorongnya jijik sebelum pergi meninggalkan.

"Ren...?" bisik Ginnan. Dia melirik ke samping berharap Renji hanya sedang main-main. "K-Kau... kau tidak apa-apa?"

Tak ada sahutan.

Ginnan pun ketar-ketir. Dia balas memeluk agar pria itu agar tidak merosot begitu saja.

"Kalau begitu... kubawa ke rumah sakit, ya?"

Tidak ada sahutan lagi.

Ginnan pun merogoh ponselnya susah payah. Dia mencari nomor rumah sakit terdekat di internet dan mencoba menghubungi salah satu. Tapi ketika nada sambung mulai terdengar, Renji jutsru memeluknya dengan erat.

"Berhenti."

"Eh?" bingung Ginnan. "K-Kau bangun?"

"Kubilang berhenti, tutup telponnya."

Ginnan pun refleks menutupnya. "Tapi kan... kau sakit."

"Aku hanya tidak bisa makan," bisik Renji. Suaranya berubah rendah tiba-tiba. Dan memang tidak disengaja. "Haha... aku hanya harus makan lagi... kan?"

DEG

"Tidak." sangkal Ginnan dalam hati.

Ginnan tahu, bulimia tidak sesepele itu. Gejalanya mungkin samar, seperti kata dokter yang menyinggung sifat Renji, tapi justru bisa mengancam nyawa dengan serius. Penderitanya mirip anoreksia. Yang berusaha memuntahkan makanan sekuat tenaga karena peduli dengan kesan dan berat badannya, tapi ini lebih karena tekanan jiwa terlalu dalam.

Barusan Renji sudah berusaha makan seperti orang normal. Tapi sekarang semuanya keluar lagi sendirinya—tunggu. Lalu kenapa pir kupasan Haru bisa membuatnya makan satu kali waktu di rumah sakit?

Apa karena... objek pikiran Renji sekarang berubah haluan ke pria itu?

"Kau mau makan lagi?" tanya Ginnan. Memastikan.

Renji justru meremas piama bagian punggung Ginnan. "Semua seperti sampah busuk..." bisiknya pelan. "Aku benci pir irisan."

Sepertinya tebakan Ginnan benar kali ini. Renji dan Haru memang sedang diretakkan oleh masalah. Jika tidak, pria ini tak mungkin mendadak ingin menemuinya.

"Tapi kondisimu bisa memburuk, Bodoh."

"Aku tahu."

"Perutmu bisa seperti tercahar..."

"Aku tahu."

Ginnan memutar otak sebisanya. "Bagaimana kalau coba kumasakkan?"

"Haha..."

"Hei, jangan meremehkanku," kata Ginnan. "Begini-begini aku petugas dapur sejak di panti—maksudku dari kecil. Jadi aku bisa masak masakan enak walau khas perdesaan."

"Benarkah?"

"Ya."

"..."

Ginnan melirik ke sisi. "Dapurmu kupakai, oke."

"Hm..."

"Apa kulkasmu ada isinya?"

Renji sudah tidak menjawab. Lagi-lagi pria itu kehilangan kesadaran.

Seperti ponsel usang yang mati sewaktu-waktu, Renji tak lagi bisa mengendalikan diri sendiri. Pria itu benar-benar langsung mendengkur halus begitu ditidurkan dengan benar.

Ginnan menatap wajah itu. Yang tampak tidak sakit samasekali, dan hanya agak pucat dengan bibir yang mengering.

"Ya Tuhan... sebenarnya apa sih yang terjadi padamu?"

Jangan-jangan semua keusialan Renji barusan hanya untuk menutupi. Lagipula telapak tangan dan kakinya sangat dingin, padahal suhu tubuhnya berkebalikan.

Ginnan jadi ingat tas belanjaan yang Renji bawa dari luar beberapa saat lalu. Dia pun menyelimuti pria itu dan beranjak. Tas belanjaan ditemukan, dan isinya dua botol obat bersegel dengan label asing entah apa. Bahasa yang dipakai pun tidak sanggup untuk dia kenali.

Mungkinkah ini Bahasa Belanda?

Ginnan berpikir begitu. Dan memang benar, setelah sempat searching sebentar.

"Kenapa Belanda—"

"Iya juga. Deby…" batin Ginnan.

Ginnan mentap layar ponselnya dengan tatapan yang mengambang. Dia ingat gambaran wanita cantik berpakaian gemerlap itu. Dia adalah satu-satunya kerabat Renji yang disini. Dan jika benar, berarti penyakit ini bukan hal baru untuk pria itu.

Deby pun pasti tahu sesuatu.

"Eh?"

Mendadak terdengar nada dering nyaring dari ponsel lain.

Ponsel Renji. Yang warna putih dan gantungan kepala Sanji-nya berkerlap-kerlip merah biru. Benda itu terletak di sebelah bantal Renji dan menampilkan nama kontak mencurigakan.

-Jangan diangkat-

"Jangan diangkat?" bingung Ginnan. Jika yang melihat tulisan itu dirinya, tentu justru terlihat semakin menggoda.

"Kenapa?"

Masokis, Ginnan justru mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

DEG

Suara lembut perempuan?

Siapa?

"Siapa?" tanya Ginnan. Yang justru ditanya balik hal yang sama.

"Eh? Kau yang siapa?"

DEG

"Aku?"

"Iya, kau," kata suara lembut itu. "Dimana putraku?"

DEG

YA-YA TUHAAAAAN!

INI PASTI IBU RENJI!

"P-Putra Anda—"

"Kenapa ponselnya di tanganmu?" tanya Ibu Renji. "Apa kau teman seks barunya?"

"Apa? Tidak!"

"Tidak? Lalu siapa?"

Tunggu dulu... tunggu dulu...

Kenap dialek Bahasa Jepang wanita itu sangat buruk? Apa dia menelpon dari jauh sana? D-Di Belanda? Mungkin?

"Aku... aku tidak tahu dianggap siapanya."

Mana mungkin Ginnan bilang hanya sedang disewa sebagai gigolo, kan?

"Oh... tidak bisa diungkapkan ya," kata Ibu Renji. "Mungkin harus kutunggu Renji mengatakannya sendiri nanti."

"Eh? M-Mengatakan apa?"

Terdengar suara tawa kecil dari sana. "Pacar barunya," kata wanita itu seringan angin. "Dia selalu menyembunyikan sesuatu dariku sebelum benar-benar yakin."

"Apa maksudnya..."

"Putraku memang begitu," kata Ibu Renji lagi. "Dia suka bermain-main. Tapi sekalinya tertarik ke seseorang, pasti akan diteliti agak lama. Sifatnya, asal-usulnya, dan sebagainya. Tentu, dia hanya akan bilang padaku kalau sudah berniat untuk melamar—"

"A-APA?!"

"Aduh telingaku!"

Ginnan pun segera menjauhkan ponsel Renji dari bibirnya. Lalu meremasnya di depan dada. Kalut.

"Halo, Nak?"

Tidak mungkin.

Terlalu menakutkan untuk dibayangkan.

Tapi kenapa anggota keluarga Renji selalu mengatakan semua hal dengan mudah  sih? Sekarang Ginnan tahu darimana asal-usul sifat Renji yang satu itu.

"Iya... anu—maaf..." kata Ginnan. "Tadi aku berteriak pada Anda. Mn, aku... hanya terlalu kaget, Bibi—"

"Oh... hahaha... tidak masalah," kata wanita itu. "Tapi, mungkin lebih baik kita saling mengenal mulai sekarang. Bagaimana pun kau termasuk orang yang ada di sekitar putraku."

"Begitu..."

"Siapa namamu, Nak? Kalau aku Nana Isamu. Nama lainku Narchty Naszcrowsky."

Narchty—apa?

Ginnan sampai pusing mendengarnya. "Aku... aku Ginnan Takahashi," katanya. Lalu menoleh ke Renji yang mendadak menggeram dalam tidurnya. Seperti sedang mimpi buruk. "Mn, boleh aku bertanya... Bibi Nana?"

"Oh? Tanya apa?"

"Putra Anda sakit parah... Apa Anda sudah tahu?"

"Sakit parah?!" kaget Nana. "Kenapa dia? Apa kena jantung atau apa?"

Tidak mungkin.

Apa Nana tidak tahu?

"Bukan, Bi," kata Ginnan. "Tapi bulimia. Dia kesulitan makan seperti orang-orang pada umumnya."

"Oh..." desah Nana.

Eh? Tidak kaget?

"Jadi, Bibi sudah tahu?" tanya Ginnan heran.

Suara Nana berubah lebih halus. Mungkin wanita itu sedang tersenyum sekarang. "Ya. Dia memang begitu sejak kecil," katanya. "Apa dia muntah lagi?"

"Iya, Bi. Barusan," kata Ginnan. "Beberapa hari lalu juga begitu. Tapi dia sudah sempat dirawat tiga hari."

"Oh... jadi memang kambuh lagi," kata Nana. "Mn, kau tahu... terakhir kali dia begitu sudah sangat lama sekali. Mungkin sebelum dia pindah dari sini."

Dari sini?

Dari mana?

"Oh..."

Di jauh sana, Nana mengangguk. "Mm-hm... awalnya sejak suamiku sakit keras. Dan mungkin itu karena dia terlalu sensitif. Jadi, dia ikut-ikut terguncang," tapi setelah itu terdengar dengusan senyum. "Tapi itu dulu. Sekarang sudah baik-baik saja. Jadi... aku agak kaget mendengarnya kambuh lagi."

"Begitu."

"Apa kau tahu apa sebabnya?"

Sekalipun mengira-ngira, Ginnan tetap saja menggeleng. "Tidak, Bi."

"Oh..." gumam Nana. "Mungkin aku akan bertanya ke Haruki saja nanti—"

"Eh... jangan!"

DEG

"Jangan?" bingung Nana. "Kenapa?"

Jantung Ginnnan pun langsung menggila. Bodoh sekali. Tolol. Dengan melarang, sudah jelas terlihat kalau dia tahu sedikit banyak apa sebabnya... kan?

"Tidak. Tidak jadi!" seru Ginnan. Lalu segera mengalihkan perhatian. "Daripada itu, boleh aku menanyakan hal yang lain?"

Setelah jeda sejenak, Nana baru mulai menyahut. "Hal lain? Apa?"

"Mn... aku... aku kan laki-laki," kata Ginnan. "Kenapa Anda sangat mudah menerima? Maksudku, jika kami memang sungguh kekasih..."

Jujur, Ginnan sangat ingin tahu. Wanita ini adalah seorang ibu...kan? Bagaimana bisa dia terdengar baik-baik saja?

"Oh... soal itu..."

"Ya..."

"Mn... terus terang ini pertanyaan agak sulit," kata Nana. "Tapi karena aku yakin kau baik, akan tetap kukatakan."

Ginnan mengeratkan pegangannya ke ponsel itu tanpa sadar. "Mn."

"Jadi, kenapa... ya? Haha... " tawa Nana. "Mungkin karena... aku lebih ingin melihat dia bahagia daripada terus kehilangan arah."

Ginnan tetap diam. Dia kira Nana akan menjelaskan lebih jauh tapi ternyata tidak. Dia menunggu sedikit lebih lama hanya karena memastikan.

"Nak?"

"Eh... iya, Bi."

"Kupikir kau sudah menghilang entah kemana."

"Ah... haha... maaf."

"Tidak masalah," kata Nana. "Daripada itu, boleh aku tahu... kau bisa masak?"

"Eh? Masak?"

"Iya."

Ginnan mengelus tengkuknya. "Anu... sedikit."

Mana mungkin dia bilang biasa di dapur juga kan?"

"Kalau begitu mau kuberitahu makanan favorit Renji ketika masih kecil?"

"Eh?"

"Aku biasanya memasakkan dia menu itu kalau dia mulai kehilangan nafsu makan."

Ginnan yakin dia bisa selama diarahkan. Dia pun menoleh sejenak ke wajah tidur Renji sebelum mengangguk. "Iya, Bi."

"Sekalian kupandu masak. Jadi kalau dia sudah bangun, kau bisa memberikan makanannya."

"Maksud Bibi?"

Ginnan bingung. Suara Nana justru terdengar disertai senyuman. "Kumatikan dulu, baru kupanggil dirimu lewat video call."

"E-EH?!"

"Kau keberatan?"

Keberatan? Tentu saja!

Video call?

Bukankah berarti wanita itu akan melihat seperti apa rupanya?

Benar-benar di luar dugaan.

"Tidak, tapi... tapi..."

"Aku mohon bantuanmu," sela Nana "Putraku tak akan mengenali masakan yang dibuat dari resepku jika kau memotong bahannya sesukamu. Aku akan memandumu dengan baik. Tenang saja."

Masalahnya bukan itu!

Tapi Ginnan pun tak berani menolak lagi. Dia mengangguk. "Iya, Bi."

"Bagus. Sekarang cari celemek dulu di dapur. Setelah itu sandarkan ponselmu di tempat kondusif," kata Nana. Instruktif persis Renji hanya saja lebih halus caranya. "Dan jangan lupa cuci tangan."

"Baik."

Detik berikutnya, Ginnan pun mulai masuk ke dalam dunia baru yang suatu hari sulit dia sadari.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter