6 Bab 6: Hantu Pesona

Pukul satu malam. Seusai melayani, Yuka terlalu sayang untuk tidur. Dia menoleh ke Renji yang terbaring nyaman dengan lengan menutup mata. Untuk sejenak, Yuka mendekat dan menatapi wajah itu. Bibirnya yang terlihat tampak mengkilap redup di bawah lampu tidur. Beberapa menit lalu, bibir itu menjamahi seluruh tubuhnya dengan cara tak terlupakan.

Yuka mungkin terkesan berlebihan, karena setiap hari telah melacur. Tapi jujur dari hati, dia senang bisa merasakan pelukan pria yang menjadi idolanya ini. Sebagian dari hatinya menuntut ingin sentuhan lebih, tapi sebagian yang lain justru tertarik melihat-lihat kehidupannya lebih detail.

Yuka tersenyum seusai memberikan kecupan rahasia di bibir itu. Dia beringsut ke pinggir ranjang dan memunggungi Renji hanya demi melihat foto-foto di atas nakas.

Semua adalah foto wisuda. Isinya Renji, Haru, dan seorang wanita berambut pirang. Ketiganya berdiri berjajar dengan si wanita di tengah-tengah. Di satu foto membawa boneka, di foto sebelah membawa bunga, dan di foto terakhir merangkul bahu kedua pria disana.

"Jadi ini mantan pacarnya..." desah Yuka pelan. Dia membaca nama 'Jean Liew' yang ditulis di pojokan dalam hati dan terkekeh. "Sungguh sangat-sangat cantik. Dia bahkan terlihat seperti bukan manusia."

Sebagai fans, dia tentu pernah mendengar tenatang wanita pirang ini. Tapi entah karena alasan apa, Renji memang tak pernah menampakkannya ke media... bahkan Haru. Jika Haru tak terbiasa kesana-kemari bersamanya... pasti pria itu juga jadi anonim sampai kapan pun.

Media sosial Renji bersih. Pria itu hanya mengunggah foto-foto jepretan Haru dan novel-novelnya yang diterbitkan. Selain itu, nihil. Beberapa kali ada kericuhan karena fans-nya sering membuat akun shipper tersendiri. Ada yang berisi fotonya dengan Haru, dengan para petinggi penerbitan, candid para wartawan dan fans, dan baru-baru ini ada wajah Yuka juga. Meskipun begitu, tak satu pun yang memasang wajah Jean.

Yuka menggeleng. "Kalau standarnya begini, jelas susah cari pengganti," katanya tak habis pikir. "Tapi bukankah dia itu bi? Jadi tak salah juga kalau kudorong mengencani pria barusan."

"Letakkan foto di tanganmu."

Suara Renji.

DEG

Yuka menoleh, Renji sudah duduk dengan menyalakan rokok.

"Ah, ternyata kau sudah bangun."

"Kubilang letakkan foto di tanganmu," kata Renji. Dia tak melirik Yuka sedikit pun, dan justru memandang keluar jendela dengan kepulan asap bergelut dari mulutnya.

Yuka pun menyengir. "Oke-oke, aku letakkan."

"Tidur," perintah Renji lagi. Dia mengetuk-ketukkan ujung rokoknya dengan jari. "Atau jangan berisik saja."

"Apa barusan aku berisik?" batin Yuka. Dia lalu mendekat perlahan dan bicara dalam bisikan. "Sensei, boleh aku tanya sesuatu?"

Renji hanya melirik sekilas. "Soal apa."

Yuka tersenyum lebar karena ditanggapi. "Kau kan... suka menyentuh manajermu. Jadi, kenapa tidak menikungnya saja?" katanya dengan nada dibuat menggoda. "Lagipula istrinya sudah tahu..."

Renji berdecih. "Bodoh... dia pria berkeluarga."

Yuka tetap tak kehabisan akal. "Lalu kekasihmu? Kenapa tidak merebutnya saja? Kan belum terlanjur jadi menikah."

Renji menoleh padanya. Dengan mata tegas dia menjawab. "Aku mungkin bukan pria baik, tapi aku juga tidak sebrengsek itu," katanya. "Apa bagusnya menikahi orang yang tidak mencintaimu. Hanya akan menyiksanya."

"Ho..." desah Yuka tak habis pikir. Dia pun mendekat lebih lagi hingga bersandar di dada Renji dan memeluknya seperti sedang menenangkan. "Kau ini ternyata punya sisi lembut juga ya..." kikiknya. "Kalau mereka menolak, aku mau kok kau nikahi, hm?"

Tanpa Yuka tahu, mata Renji berkilat tajam.

Renji melirik ke rambut panjang Yuka yang tergerai di punggungnya. "Kau mau kuantar pulang sekarang, atau pergi sendiri besok?" tawarnya sarkas.

"Apa?"

"Atau kau mau pergi sendiri sekarang juga?"

Yuka pun paham dalam sekejap.

Ya Tuhan, demi apa dia diusir!

Yuka pun tertawa meski hambar. "A-Ahahah... oke-oke... aku akan pergi sendiri besok, " katanya canggung. Dia pun mengelus tengkuk Renji yang basah keringat. "Tapi izinkan aku istirahat dulu, oke?"

Renji membuang putung rokoknya begitu saja. Benda pendek itu menyala di atas marmer. "Menjauh," katanya tajam. "Berhenti menempel-nempel padaku."

DEG

Yuka pun mendengus. "Pria yang benar-benar membingungkan..." desahnya sebal. Dia menjauh dan segera kembali ke bantalnya. "Sedetik panas. Sedetik dingin. Ssshhh... kalau begitu terus, mana ada wanita yang sanggup bertahan dengan dia?"

Renji mendengar, tapi tetap diam saja.

.

.

.

Malam pukul satu di tempat lain. Tepatnya di rusun setinggi hotel, Ginnan masih bermain gitar saat seseorang melemparnya dengan kerikil.

"Hei!"

Jeritan itu.

Ginnan pun menoleh ke bawah balkon dan menemukan Yuki berusaha melempar sekali lagi. "Nan-kun! Buka pintumu atau kudobrak!" teriaknya kesal. "Aku mau ikutan tidur...!"

"Apa?"

Refleks, Ginnan pun meletakkan gitarnya dan melongok ke bawah. "Hei, kau mabuk! Sejak kapan ada disana?" tanyanya cemas. Mantan kekasihnya itu malah cemberut parah.

"Itu tidak penting lagi!" jeritnya. "Aku sudah mengantuk, asal kau tahu!"

Ginnan menghela napas panjang. Dia balas dengan jeritan juga. "Iya aku tahu!" katanya. "Tunggu sebentar kususul turun!"

Yuki duduk di pinggir trotoar kala Ginnan berlari keluar kamar. Gigolo manis itu pasti sedang berlari ke dalam lift saat ini. Dengan memakai jaket hangat sepanjang jalan, kaki Ginnan mengetuk-ketuk lantai stainless-nya dengan wajah gugup.

"Cepat sampai... cepat sampai..." gumam Ginnan pelan begitu saja. Dan kala sampai di lantai terbawah, Ginnan menghambur keluar dan terbelalak dengan tabrak peluk dari Yuki.

"Nan-kun!" jerit Yuki. "AKU MERINDUKANMUUUU! HAHAHA!"

"Sssstt... ini sudah tengah malam, Yu-chan..." kata Ginnan refleks terbingung. Dia menatap sekitar yang sudah sepi. Lalu ke Yuki yang membenamkan wajah di dadanya.

"Oh, Tuhan... bisa bawa aku ke tempat tidur?" katanya. "Aku sungguh lelah sekali..."

Ginnan tampak murung melihatnya. "Benarkah?" tanyanya, sembari mengelus punggung wanita itu. "Memang apa saja yang terjadi? Kau dapat deadline lagi?"

Yuki menggeleng. "Tidak. Bukan itu..." jawabnya dengan senyuman bodoh ala orang mabuk dan memukul bahunya seenak hati. "Aku ini patah hati..."

"Patah hati?"

"Oh...." desah Ginnan. Dia jelas tak ingin bertanya daripada sakit hati sekali lagi. "Ya sudah ayo masuk. Kau bisa kedinginan di luar sini."

Yuki mengangguk dan menurut. "Mn," katanya. Lalu diam saja kala Ginnan memapahnya masuk ke dalam rusun. Wanita itu bahkan bersandar nyaman di ceruk lehernya selama berada di dalam lift. "Nan-kun..."

"Hm?"

"Baumu enak hari ini..."

Oh, parfum...

"Iya, aku beli parfum baru."

Yuki meringis meski terpejam. "Baunya pasti merek mahal," katanya. "Jadi kau dapat gaji lebih hari ini?"

"Apa?" kaget Ginnan. "Tidak juga kok. Tapi memang iya, sih... ini adalah merek bagus."

Yuka menunjuk-nunjuk dadanya. "Bohong..." katanya. "Kau jelas tidak mampu membeli parfum ini..." hinanya frontal. "Jadi, kau pasti punya pelanggan istimewa, kalau tidak punya pacar baru kaya raya."

DEG

"Pacar baru kaya raya?" batin Ginnan. Dia pun merona

Gambaran Renji dengan tatapan mata emasnya langsung berkelebat di kepala. "Tidak-tidak!" jerit Ginnan refleks. Dia bahkan menggeleng dramatis saat itu. "Bukan pacar atau apapun. Tapi mungkin kau bisa sebut dia teman yang baik?" katanya ragu.

"Apa dia menganggapku teman?" pikir Ginnan. "Tidak mungkin. Mengenalku saja tidak tertarik."

Jujur Ginnan sangat tersinggung mengingat kata-kata tajam Renji waktu itu. Tidak tertarik katanya? Padahal sudah bersikap baik. Atau karena dirinya adalah gigolo seperti yang dikatakannya secara jujur?

Kalau benar, dia pasti sombong sekali...

Ah, bukan.

Kenapa tak pantas disebut begitu?

Mana ada orang sombong yang bilang terima kasih dan berpikir balas budi setelah ditemukan kartu hitamnya?

Bukankah kalau memang sombong, pria itu justru sudah menuduhnya pencuri hina?

"Teman?" tanya Yuki. "Siapa?"

Ginnan menggeleng. "Samasekali bukan orang penting," katanya. "Kau tidak perlu tahu soal dia."

"Oh..."

Yuki pun diam hingga sampai. Begitu pintu lift terbuka, dia menyeret tangan Ginnan masuk ke kamar dan menariknya ambruk jatuh ke ranjang.

Brukh!

Ginnan menimpa Yuki, tapi dia segera bangkit sebelum wanita itu menjamahnya seperti dulu.

"Tunggu, tidak!" larangnya tegas. Dia menekan pergelangan Yuki dan menahannya sekuat mungkin. "Kau ini sedang mabuk... jadi cukup tidur saja sampai pagi."

"Haha..." tawa Yuki. "Bukankah kau masih cinta padaku? Lalu kenapa kita tidak main semalam saja."

"Tidak!" tolak Ginnan. "Kau bilang kan sudah punya incaran. Mana mungkin kubiarkan dia tahu kau tidur denganku lagi..."

"Ah, gila..." desah Yuki. "Dasar kau lurus sekali..."

Ginnan mendesis. "Ah... kau benar-benar penuh bau alkohol," keluhnya sebal. "Sebentar, oke? Aku ambilkan sesuatu untuk meredakan mabuk parahmu."

Suara Yuki justru mendadak goyang. "Ren.. jangan pergi..."

DEG

"Ren?"

Yuki bahkan tampak ingin menangis saat itu. "Aku bahkan baru mendekat, kau justru mendorongku di pesta itu... haha... orang-orang sampai melihatku kasihan dan kau—ya tuhan kau sangat parah dengan pergi begitu saja!"

Ginnan memutar kembali isi memorinya dan mencoba memilah ingatan baik-baik.

Siapa pria dengan awalan nama 'Ren' yang berada di satu perusahaan penerbitan dengan Yuki? Tentu saja Renji Isamu yang akhir-akhir ini sering dibicarakan temannya di mana-mana.

"Ren, please..." rajuk Yuki lagi. Dan Ginnan hanya melihat wajah wanita itu dengan miris. "Kenapa kau membatalkan kontrak itu dengan mudahnya? Aku bahkan merangkak dari awal demi mengejarmu di titik ini."

Ginnan menggeleng dan menoyor kening Yuki agak terbah kembali ke bantal sebelum wanita itu menciumnya.

Yuki memang masih membawa jantung hatinya, tapi kalau wanita itu sudah tak ingin bersamanya... tidak baik jika dia mengambil kesempatan. Dan, benar-benar menyebalkan. Ternyata si Renji Isamu itu juga yang diincar mantan pacarnya? Ginnan ingin tertawa tapi perih. Apalagi kalau mengingat seberapa buruk penilaian pria itu kepada Yuki.

Waktu itu. Di bar.

 "Cih... perempuan sundal. Aku tak mengenal satu wanita pun minggu ini. Kecuali novelis anyaran berisik yang sering menggangguku dengan nama Yuki Reiko."

Benar-benar sangat buruk.

Kalau sampai membatalkan kontrak segala, pasti pria itu tak memberikan harapan sedikitpun untuk Yuki.

"Pria yang parah..." gumam Ginnan. Lalu turun dari tubuh Yuki setelah wanita itu tertidur mendadak. Dia membentangkan selimut seadanya dan mengunci pintu dari dalam.

Harusnya dia sangat kesal. Namun begitu membentangkan futon mungil di atas lantai, Ginnan juga mengingat tentang kejadian buruk yang dialami Renji saat ini.

Pria itu juga hancur. Dan kalau dari cerita tentangnya baru-baru ini... mungkin sikapnya bisa dibilang wajar. Begitu terebah, Ginnan menatap langit-langit dan malah malas untuk tidur. Bayangan Yuka yang menambal lipstik berputar-putar dalam kepala.

"Oh, iya... bukankah kau bilang dia punya manajer laki-laki yang menghiburnya selama ini?" kata Yuka waktu itu.

"Haru maksudmu?"

"Siapa lah..."

"Harusnya... tapi tugas itu harus kugantikan saat ini. Karena istrinya pulang."

"Apa?!"

"I-Istri?"

"Hei... bukannya kau bilang dia juga punya pacar perempuan?"

"Memang."

"Dan sekarang kau bilang si Haru-Haru itu punya istri?"

"Iya. Dia juga punya dua anak."

"Gila... cerita hidupnya bahkan layak dinovelkan. Hiro, kau setuju denganku kan?"

"Hei, kau jangan bercanda. Tapi kalau benar pasti akan laku keras sekali. Hahahah..."

"Bodoh! Bukan reaksi begitu yang kupikirkan!"

"Kenapa? Justru bagus itu... plot twist bukan?"

Bukan hanya itu. Tapi kata-kata Renji sendiri saat di toko parfum saat Ginnan bicara padanya.

"Walau aku penasaran kau sebenarnya orang jahat atau bukan."

"Terserah bagaimana kau menilai."

Ginnan menggeleng. "Tidak. Kalau menurutku di bukan orang jahat," katanya seorang diri. Lalu mengambil ponselnya dari saku dan mulai mengetik nama Renji Isamu di kolom pencarian. "Wow..."

Hanya dalam satu 'klik', foto Renji langsung bermunculan di beranda. Lengkap dengan berita-berita up to date tentang dua penghargaan besar yang dia dapatkan dalam waktu sebulan ini.

Menilik bagian gambar-gambar... visualisasi foto pria itu tak kalah bersaing dengan yang asli. Ginnan di sekitarnya minggu ini. Dia tahu potret Renji saat masih berantakan, bangun tidur, dengan muka berminyak tapi kulit putih bersih itu justru berkilau dengan gaya berkelasnya. Dengan kondisi belum mandi dan baru tersiram wine pun aroma parfum khasnya tetap tercium meski bercampur juga dengan keringat.

"Ya tuhan..."

Benar-benar pria sejati.

Ginnan jadi penasaran parfum jenis apa yang Deby pilihkan untuk Renji? Dan bagaimana penilaian wanita itu atas karakter seorang Renji? Apapun itu, sudah pasti bukan beraroma manis seperti yang diberikan untuk dirinya.

"Kau akan diberi dua parfum. Satu pilihanmu, satu lagi yang sesuai karaktermu." kata Renji waktu itu.

"Apanya yang karakter? Aku tidak terima dinilai polos!"

"Kalau begitu pakai saja yang kau pilih. Tidak perlu memaksa diri. Tapi Deby tidak mungkin sembarangan."

"Oh benarkah? Kalau begitu terserah saja."

Ginnan memang memberontak saat itu, tapi nyatanya parfum yang sekarang dia pakai adalah yang dipilih Deby. Dan ia sungguh tak menyangka kalau Yuki akan memuji aromanya di lift tadi.

Oh, ya... satu lagi...

Astaga... soal Deby. Bibi Renji itu bahkan sangat cantik! Ginnan berkhayal, ketika melihat sosok Renji yang terlihat seperti takkan kehabisan uang... lalu bagaimana dengan orangtuanya? Apa mereka golongan orang sukses juga?

"Orangtua Renji Isamu..."

Ginnan bergumam sembari mengklik kata kunci baru. Dan begitu berproses... tak ada satu pun foto yang muncul disana. Melainkan keterangan kira-kira dari para fans yang meng-stalk pria itu hingga kini.

"Oh... jadi Renji ini pindah-pindah sejak dulu..." kata Ginnan sembari men-scroll layar ponsel. Dan ada artikel menarik di dalam sana. "Sebab itu dia lebih memilih tinggal di penthouse daripada beli rumah sendiri. Hmm... padahal sekaya raya itu. Benar-benar disayangkan."

Tiga menit menghabiskan artikel, Ginnan tertarik mengklik blog yang lain. Disana ada informasi yang membeberkan darah Renji dari keturunan apa. Yang kemungkinan persilangan dari orangtua berkebangsaan Jepang dan Belanda.

"Belanda?"

Alis Ginnan berkerut untuk sejenak, tapi lalu tidak lagi.

Ginnan ingat moment Renji sempat mengumpat dalam bahasa entah apa di bar itu. Dan kalau informasi ini memang benar, berarti Belanda lah negara kelahirannya. Ya tuhan... pantas saja perawakannya tak benar-benar murni seperti pria Jepang. Apalagi wajah itu. Matanya yang keemasan dan kalau tertimpa cahaya bisa berkilat sekilas seolah-olah jadi cokelat bening. Yang pasti, di luar kesuksesannya saat ini, hidup Renji Isamu tak lebih bagus dari yang dialami orang lain.

"Tunggu," kata Ginnan. Dia membiarkan ponselnya meluncur jatuh ke dada begitu sadar. "Kenapa aku memikirkannya? Benar-benar bodoh sekali..."

Benar-benar tolol. Untuk apa Ginnan memikirkan kehidupan pria lain?

BRAKH!

"Uuuueeekh!"

"Yu-chan?!"

Ginnan langsung berlari mendekat begitu melihat Yuki muntah di lantai. Wanita itu mengotori sepatunya sendiri dan menampik tangannya saat mulai memijit tengkuk itu.

"PERGI!" bentaknya kasar tanpa peduli. Yuki bahkan memelototinya dengan aura permusuhan. "KUBILANG PERGI! AKU MUAK MELIHAT WAJAHMU!"

PLAK!

"Aduh!" pekik Ginnan tanpa sadar. "Hei! Yu-chan, kenapa kau menamparku?"

"BEDEBAH!"

Ginnan pun mengelus pipinya dan menjauh. "Oke-oke, istirahatlah..." katanya mengalah. "Dan di loker ada obat untuk meredakan mabukmu kalau nanti masih pusing. Tapi jaga diri selama aku pergi, mengerti?"

Yuki tak menjawab dan hanya mendesis sebelum kembali rebahan lagi. Wanita itu bahkan melempar ponselnya ke pintu karena Ginnan tak segera keluar dari sana.

BRAKH!

"Astaga!

Ginnan pun berlari keluar begitu kuncinya sudah diputar. Dia memijit pelipis merasakan tingkah seenak hati Yuki barusan. Tak mau merasa lebih mengenaskan, Ginnan pun jalan-jalan di trotoar. Dia memasukkan tangan ke dalam saku daripada merasakan angin malam yang sangat dingin.

Suasana jelas sangat sepi. Toko-toko tutup dan hanya beberapa yang berkelas yang masih buka. Kehilangan arah tujuan, dia pun duduk di kursi halte terdekat dan menoleh ke stiker poster yang ditempel di dinding stainless-nya.

Itu stiker poster bergambar muka Renji Isamu. Yang memakai tuxedo hitam, berwajah gahar tepat disisi dua aktor BL yang membintangi novel karyanya yang difilmkan.

"Dia lagi..." gumam Ginnan tak habis pikir.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter