7 Bab 7: Halusinasi (?)

"Dia lagi…" gumam Ginnan tak habis pikir. Lalu meraba permukaan poster itu yang masih halus bersih sangat mengkilat. Dari aromanya saja ketahuan kalau poster ini masih baru. Padahal tadi pagi masih dihiasi muka anime populer di kalangan para wibu.

Saat bus malam terakhir datang, dan seorang wanita tua memanggilnya masuk dengan isyarat tangan... Ginnan menggeleng dan memandang langit yang menjatuhkan serpihan salju.

Kata-kata Yuki untuknya dulu benar. Tepatnya waktu putus, sebab wanita itu tak mampu menerima profesi barunya sebagi pelacur pria. "Memang apa yang kau tahu soal kerja keras? Sukses saja tidak pernah, bagaimana bisa merasakan penghargaan orang lain?"

Dulu, ketika mereka masih hidup di panti asuhan Himawari. Yuki lah orang pertama yang mendukung bakat menggambarnya sejak kecil. Wanita itu bahkan memeluknya erat saat menjuarai lomba komik strip tahunan di majalah sekolah tingkat senior. Mereka berdua sempat jadian, menjadi pasangan paling mesra sejagat sekolah dan sering menghabiskan malam panas tanpa peduli.

Dengan semangat Yuki bahkan pernah berjanji... untuk membuatkan plot bagus khusus Ginnan agar pria itu yang menorehkannya dalam illustrasi. Mereka bekerja sama sebelum penyaringan novelis dan komikus baru yang berbakat, sampai akhirnya Yuki menembus perusahaan penerbitan besar dan debut dengan kesukses gemilang sebagai newcomer penyabet best seller tepat di bawah Renji Isamu. Beda dengan dirinya, yang jatuh ke tanah sebagai pengecut, dan malah menjadi gigolo karena sangat kekurangan dana dalam bertahan hidup.

Sebenarnya, semua tidak seburuk itu. Dalam perjalanan, Ginnan tahu ada sebuah kecurangan. Yakni diantara 20 kandidat komikus baru yang disaring, ada satu yang bernama Rize Shunsuke yang meng-copas draft-nya sebelum dibuat outline yang lebih bagus.

Sayangnya Shunsuke terlalu jenius. Dia mengubah draft itu ke dalam gaya gambarnya sendiri dan menyelesaikan file-nya lebih cepat ke panitia sehingga justru dirinya yang distempel plagiator.

Dulu ricuh, tapi sekarang tidak lagi.

Setelah Ginnan mengalah, dan Shunsuke debut sebagai newcomer nomor satu di sebelah Yuki. Rating mereka kejar-kejaran dalam publikasi meski masih di bawah Renji juga.

"Aku ingin sekali memakimu..." kata Ginnan. Dia menoleh ke muka Renji di stiker poster itu seolah sungguh bicara padanya. "Tapi kalau kulakukan, pasti hanya karena iri. Iya, kan?"

Sebab Renji masih bisa sebaik itu dalam pekerjaan, meski hidupnya sudah hancur. Tak seperti dirinya yang kebingungan memulai draft baru untuk mengejar penyaringan komikus di tahun berikutnya. Dan malah menyerah... memilih jadi penjaja seks.

"BERHENTI! BERHENTI!"

Suara Yuka.

"Yuka?" pikir Ginnan. Refleks dia menoleh ke sebuah mobil audi hitam yang disetir ugal-ugalan dari tikungan jalan. Disana, Renji Isamu nyata memutar kemudi dengan emosi. Pria itu tak peduli diteriaki Yuka sepanjang jalan dan malah berhenti mendadak setelahnya.

Ckiiit

Sraaaakh!

Kepulan asap mengepul pelan dari ban mobil.

Yuka hampir terbentur kaca, dan Renji membuka pintu kemudinya. Pria itu menyeret Yuka keluar dan menghempasnya begitu saja ke jalan raya.

BRAKH!

"Arrghh!"

Wajah Renji sangat gelap saat itu. "Aku mengizinkanmu istirahat hingga pagi, tapi beraninya kau berlaku sampai di luar batas!" bentaknya di tengah keheningan malam itu. "SAMPAH."

DEG

"Hei!" teriak Ginnan. Dia pun segera lari kesana, melanting lengan Yuka berdiri dan menghadapi Renji dari mata menuju mata. "Kau pikir apa yang kau lakukan ke perempuan, hah?!"

Yuka sudah menangis saat itu. Sebab dia bahkan hanya memakai kemeja Renji asal-asalan sebelum diseret keluar sini.

Wajah Renji sekeras cadas. "Siapa yang coba kau adili?" tanyanya retoris. "Aku, atau pencuri keparat yang kau bantu?"

DEG

"APA?"

Renji mendesis seperti ular. Kilat emas matanya bahkan membara di sebelah lampu jalan. "Tak ada waktu untuk penjelasan. Yang pasti, besok pagi pengacaraku akan datang mengurus kelakuan rendah temanmu itu."

"HEI!"

Ginnan pun berteriak kesal karena Renji langsung masuk mobil dan pergi menjauh begitu saja. Suara mesin pria itu bahkan tak berbeda dari saat baru datang.

Ginnan pun menoleh ke Yuka dan bertanya. "Memang apa yang sudah kau curi darinya, Yuka-chan?" tanyanya baik-baik.

Yuka menggeleng dan menunjukkan sebuah benda berkilau di genggamannya. "Ini, tapi a-aku... aku tidak berniat mencurinya," katanya mencoba buat alasan. "Tadinya aku hanya ingin mandi. Maksudku, besok pagi tinggal cuci muka dan langsung pulang dari tempatnya. Tapi saat aku cari baju di ruang wardrobe-nya, benda ini jatuh dan kupungut—"

"ASTAGA! AKU SUDAH TIDAK MENGERTI!" jerit Ginnan dan langsung merebut kalung liontin mewah itu. Untainya putus dan menjadi dua bagian, dengan bandul hati pecah sebagian. Menampakkan potret gadis berambut pirang yang dipajang di dalamnya. "BAGIMANA KESALAHPAHAMAN SEPARAH INI BISA TERJADI? HAH?"

Yuka hanya menggeleng dan tampak lemah. Dia tak seperti Yuka yang waktu itu di bar sambil membual besar soal Renji Isamu yang sangat hebat.

Ralat, mungkin Renji Isamu yang memang sombong dan seenaknya. Dan yang pasti, sekarang Ginnan harus mengejarnya sebelum benar-benar menghubungi pengacara dan menyeret Yuka ke pengadilan.

Sebab bukan hanya Yuka yang dia pedulikan, melainkan seluruh gigolo dan pelacur wanita yang diasuh Madam Shin dalam rusun.

Ini sungguh-sungguh buruk. Dan Ginnan melepas jaket luarnya untuk Yuka sebelum benar-benar berlari menyusul Renji.

"Dengar, Yuka-chan. Tunggu aku di halte dan kususul pria itu lebih dahulu. Kita tidak bisa biarkan Madam Shin terancam dengan rencana gilanya kan?"

Yuka mengangguk begitu saja. Setelah itu, Ginnan tak peduli harus berlari dulu kemana. Yang pasti mobil Renji sempat belok ke arah sini sebelum hilang.

Mulai dari kelokan jalan, Ginnan masih terus berlari dan segera berhenti di satu titik. Jujur dia tak menyangka kalau bisa menemukan mobil Renji terparkir di tengah taman kota yang sepi orang.

Hanya ada mereka berdua di tempat itu.

Ginnan pun meneguk ludah sebelum mendekat.

"Tuan..."

Renji sedang merokok saat itu. Dan saat Ginnan di sebelahnya, dia baru mengalihkan pandangan dari langit dan menoleh tanpa ekspresi.

"Itu kau."

Jujur Ginnan agak takut. Berhadapan dengan pria ini seperti melucuti keperjakaannya. Maksudnya, sampai lupa kalau dia sendiri pria yang harusnya juga mampu balas mengintimidasi.

"Y-Ya, aku..." kata Ginnan. Dia mengusap tengkuk dan terkekeh. "Hei, dengar, Tuan—"

"Kau sedang minta belas kasihan?" tandas Renji frontal. "Jika ya, kuberitahu itu usaha sia-sia."

"Bukan begitu," kata Ginnan. Lalu nyengir. "Ah, sebenarnya iya sih.... haha... tapi pertama-tama, aku ingin kau menerima ini."

Ginnan mengambil sebelah tangan Renji dan menaruh liontin itu di dalam sana. Dia tersenyum, dan meski wajah Renji tetap mengerikkan di balik kepulan rokoknya... caranya menggenggam tangan itu dengan sangat lembut disengaja. Bukannya ingin bersikap rendah, tapi bagaimana pun dia sedang merayu saat ini.

"Yuka mungkin mencuri dan merusaknya," kata Ginnan. "Tapi benda ini masih kembali ke tanganmu, kan?"

Renji menatap jari-jari ramping itu kemudian ke wajah Ginnan. "Lepaskan."

Senyum Ginnan berubah masam.

"Tidak."

Renji menarik tangannya dan memasukkan liontin itu ke dalam saku. "Enyah."

"Tidak," kata Ginnan keras kepala. "Aku kan belum minta maaf."

"..."

Ginnan ojigi. "Pokoknya aku minta maaf atas nama teman nakalku," katanya. "Kalau kau menghendaki ganti rugi, kami akan mengusahakan. Tapi tolong jangan seret kami ke pengadilan. Kau tahu kan, satu masalah di rusun pelacur akan—"

"Itu bukan urusanku." tandas Renji tegas.

Ginnan keki. Dia sampai menggaruk kepala dan bingung harus apa. "Kau ini... lebih menakutkan dari bayanganku," keluhnya terang-terangan. "Padahal kemarin sangat baik."

Renji mengabaikan Ginnan dan mendekat ke tepi danau.

Danau artifisial, memang. Tapi aliran airnya dibuat begitu rapi di mata.

Ginnan pun memperhatikan. Renji yang semula menatap airnya, dan marah-marah soal liontin, justru melempar benda itu dari sakunya hingga tenggelam di dasar kerikil.

"EH?!"

"..."

Ginnan mendekat dan meraih tangannya cemas. "Hei, Tuan? Kenapa malah dibuang-buang?"

Di bawah bayangan pohon itu, Renji menatap wajahnya yang berkerut. "Itu bukan urusanmu."

"Apa?" kata Ginnan tak habis pikir. "Ya ampun... oke! Itu bukan urusanku! Tapi kau ini terlalu aneh untuk diabaikan orang normal, tahu?"

"..."

Ginnan menatap nanar danau itu. "Dan lagi, bukankah di dalamnya ada foto kekasihmu?" katanya pelan. "Aku tahu kau marah, tapi tidak seharusnya kau melakukan ini. Dia pasti sedih kalau tahu kau—"

"Aku tidak punya kekasih."

DEG

Ginnan diam. Seketika dadanya mencelos dan dia mulai tak enak hati.

"O-Oh... begitu," katanya bingung. "Tapi kudengar—ah tidak. Lupakan saja. Pokoknya aku minta maaf soal semuanya, ya?"

"..."

Ginnan segera melepas tangan Renji yang dia genggam sejak tadi.

"Ah..."

Dia tahu Renji tidak suka sentuhan fisik sembarangan. Bagusnya, pria ini tidak marah lagi seperti tadi.

"Hanya jangan ulangi lagi," kata Renji. Dia menjentikkan abu rokok ke udara. Jemarinya tampak lihai memainkan benda itu. "Maksudku ke orang lain. Itu akan fatal kalau dia tidak berubah pikiran sepertiku."

Seperti naik roaller coaster, Ginnan merasa jatuh dari ketinggian dan naik lagi kalau menghadapi pria ini.

"Iya, terima kasih..." kata Ginnan. "Tapi ngomong-ngomong kau sungguh sudah tidak apa?"

"Apa aku harus menjawabnya?"

Ginnan menggeleng. Dia mendekat lagi dan berdiri tepat di sebelah Renji.  "Tidak sih," katanya. "Tapi apa tidak sesak nafas menyimpan semua beban sendirian?"

"Siapa yang kau maksud?"

"Tentu saja, kau," kata Ginnan. "Memang siapa lagi yang kuajak bicara saat ini?"

"..."

Ginnan lagi-lagi keki. Sebab Renji justru menyesap rokoknya tanpa ingin menjawab tentang apapun.

Ginnan pun berdehem. "Ehem, dengar, ya... Tuan. Mau sebanyak apapun pengagum yang ada di sekitarmu, kau itu tetap orang biasa. Jadi kalau ada masalah cerita saja ke seseorang. Lagipula kuping di dunia ini ada triliunan."

"Bagaimana dengan kau?"

"Eh, aku?" Ginnan menunjuk wajahnya sendiri. "Mn... boleh. Kau bisa cerita dan akan kurahasiakan," katanya lalu membuat tanpa janji dengan jari. "Sumpah. Anggap saja ini balas budiku karena kau lepaskan dari ancaman fatal rusun."

"Bodoh..."

Ginnan merengut. "Terserah saja, kalau tak mau," katanya. "Aku kan hanya mencoba untuk peduli..."

Mendadak Renji membuang puntung rokoknya di rerumputan. Dia bahkan menginjak benda itu dan menggilasnya dengan sol sebelum mulai berbicara.

"Kau buang-buang waktu memikirkanku."

DEG

"A-Apa katamu?"

Ginnan pun merona. Apalagi ingat kelakuannya di kamar tadi yang surfing di internet tentang Renji. Beruntung pria itu masih menatap sepatunya yang mengaburkan kepulan tipis rokok.

"Bukankah aku hanya orang lain?"

Renji menatap, Ginnan mundur-mundur refleks.

"Tidak-tidak!" sangkal Ginnan. "Bukan begitu niatku tadi—ehem. Maksudku, ya! Kau memang hanya orang lain. Tapi kalau terlihat bermasalah, apa aku pantas mengabaikan?"

Renji mendekat. Ginnan semakin mundur-mundur.

"Begitu?"

"H-Hei... Tuan, kau terlihat menakutkan lagi."

Renji meniti tremor di tubuh itu.

"Apa kau juga begitu ke orang lain?"

"Tidak!" seru Ginnan. "Eh—maksudku, ya! Tentu saja aku begitu. Kau pikir manusia menyedihkan cuma kau saja di dunia?"

"Hmph, menyedihkan?"

Terperangkap batang pohon, Ginnan nyaris terantuk akar dan berpegangan ke kulitnya yang sangat kasar."T-TUAN, HEI! K-Kau ini sebenarnya mau apa sih?!"

Renji mengurungnya dengan lengan, Ginnan nyaris merosot merasakan tungkainya ngilu. Padahal pria ini tidak menyentuhnya. Dia terus mendekat dan tampak ingin mengecup, tapi ternyata hanya menatap dan menghirup aroma nafasnya.

Jemari Ginnan meremas pohon. Kukunya menggali di liang-liang kulitnya.

"Kau pakai parfum pilihan Deby," kata Renji. Ginnan menelan ludah karena ketahuan. "Sangat sesuai menurutku."

Menyadari mukanya mulai memanas, Ginnan membuang muka segera. "Tidak juga," katanya. "K-Kemarin aku sudah mencoba yang pilihanku, tapi hari ini juga kucoba pilihan Deby. Mn... m-memangnya itu aneh, ya?"

"Tidak," jawab Renji. "Tapi kusarankan berhenti memakai pilihanmu."

Ginnan kembali menatap dan keningnya berkerut-kerut. "Memang kenapa? Aku suka, dan itu bagus," protesnya kesal. "Lagipula... kau kenapa bisa terlalu peduli bau orang?"

"Itu seperti harga diri."

"Harga—apa?" sudut bibir Ginnan berkedut. "Bisa-bisanya kau berpikir seperti itu."

"Kau busuk, orang-orang akan menghindar," kata Renji. "Kau berparfum, orang-orang akan penasaran. Bukankah itu adalah semboyan pelacur sepertimu?"

Ginnan tertohok. "I-Iya sih... tapi kan—ah! Kenapa juga aku bicara gagap di depanmu!" jeritnya tanpa sadar.

Mereka saling bertatapan.

Ginnan bahkan tak berkedip hingga Renji mendekat, lebih lagi. Hidung mereka bersisian dan Ginnan membuang pandangan kala dikecup. Dia tak bergerak. Di bawah bayangan hitam pohon itu mereka tersembunyi dari siapapun.

"T-Tunggu, Ren—mnh…"

Ini tengah malam. Dan kejadian tak terbayangkan itu justru Ginnan lalui begitu saja.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter