2 Bab 2: Gigolo Lurus

Di dalam sebuah bar bawah tanah. Remang-remang, sepi pengunjung, dan hanya tersisa para pelayan. Pegawainya membiarkan siapapun yang masih tidur di meja dan membersihkan tempat yang sudah kosong.

Bar 24 jam memang berjalan seperti itu. Kadangkala ada pasangan one night stand yang masih berpelukan di sofa panjang. Tertutupi sehelai pakaian atau ada yang tidak samasekali.

Pagi itu, Renji jadi salah satu yang tertidur. Tapi sendirian di sofa tunggal. Dia begitu tenang tanpa usikan.

Seorang pelayan pun mendekat. Dia mengambil uang dan tips lebih yang digeletakkan di atas meja, lalu memberesi botol birnya yang kosong tanpa membangunkan.

"Hei, apa kau lihat pria itu?"

Namun sekitarnya tetap berisik.

"Yang mana?"

Sebab jam dinding kini menunjukkan pukul 8. Tentu, para pelacur, baik perempuan maupun gigolo pun mulai berdatangan. Mereka semua berparas cantik, beraroma parfum, dan memiliki style berpakaian masing-masing.

Mereka mulai memasang diri di pojokan spot-spot tertentu. Ada yang duduk menunggu pelanggan di sofa-sofa, ada yang berkeliaran ke sekitar ruangan, ada yang tiduran membaca majalah, dan ada juga yang duduk di kursi bartender.

"Itu... yang tidur sambil menekan pelipisnya."

Wanita berlipstik dan berkutek merah itu menunjuk Renji. Dia bukan pelacur, tapi berpenampilan lebih pelacur.

"Mana sih?"

Sekian kali ditanya, wanita itu pun berdecih. "Cih... ya ampun, Nan-kun. Apa kau tidak lihat visualisasi tampan yang disana?" tegasnya. Lagi-lagi menunjuk Renji.

Ginnan, si gigolo cantik bertopi bulat itu menoleh. Dia berhenti minum cocktail dan mulai mengerling ke arah Renji.

"Pria bermasalah itu?"

"Apa?"

Sambil menatap si wanita yang menempelinya, Ginnan mulai bercelutuk asal. "Iya. Yang kau maksud pria dengan muka bermasalah disana kan?"

"Hei... masak iya sih?"

Ginnan mengendikkan bahu. "Mungkin?" lalu menyesap cocktail-nya lagi tanpa peduli. "Rerasanya aku sering melihat wajah itu akhir-akhir ini."

Kening wanita itu mengerut penasaran. "Benarkah? Dimana?"

Ginnan menggoyangkan gelas. Tampak berpikir. "Dimana... ya..." gumamnya. "Mungkin di supermarket?"

"Supermarket?"

Mendadak wanita lain menimpali. "Itu Renji Isamu," katanya. Sambil menunjuk menu minuman. Bibir berlipstik ungunya melengkung tipis. "Novelis BL yang terkenal tiga tahun ini.  Popularitasnya bertahan di urutan tertinggi dan mendapat penghargaan lagi tadi malam."

"Oh..." desah wanita berkutek merah. Tapi Ginnan malah bingung.

"Apa?" tanyanya. "Hei, Yuka. Apanya yang oh?" lalu menatap si wanita ungu.

Yuka terkekeh. "Kau laki-laki mana tahu..." katanya meremehkan.

"Heh? Kenapa harus perempuan?"

"Lagipula kau itu lurus," kata Yuka lagi. "Ya kan, Lin?" dia mengerling rahasia ke wanita merah.

Melihat raut wajah bingung Ginnan yang makin menjadi, Lin pun terkekeh. "Sebenarnya tidak sih... ada juga laki-laki yang paham maksud Yuka, tapi memang jarang. Aku pun lurus tapi beberapa temanku begitu."

"Aku sungguh-sungguh tidak mengerti," kata Ginnan. "Bisa kau jelaskan lebih detil?" tanyanya penasaran. Dan memang begitulah sifat dasarnya. "Kau menjelaskan tapi malah jadi ambigu."

"Haha..." tawa Lin. "Menurutmu bagaimana, Yuka-chan? Apakah kita harus menodai kepolosan seorang Ginnan?" tanyanya jahil.

Yuka mengibas-ngibaskan tangan. "Jangan-jangan," larangnya. "Itu sangat berbahaya."

"Hei, apa sih?!" protes Ginnan kesal. "Aku ini gigolo. Mana ada polos—"

"Apa kau pernah disewa pria?" tandas Yuka.

Bola mata Ginnan pun membola.

"Apa?!"

"Ditiduri pria. Dan ditusuk di lubangmu." jelas Yuka.

Muka Ginnan langsung memerah. "HEI! ITU SIH PELANGGARAN HAK ASASI!" jeritnya. Membuat bebrapa pelanggan yang masih tidur mengumpat bangun dan yang baru datang menutup telinga. Dia pun mendengus pelan dan berbisik kesal. "Lalu apa gunanya batang perkasaku kalau malah ditusuk pria?" tanyanya, masih polos.

Lin tertawa, Yuka malah terbatuk ketika minum. "Kau? Perkasa? Dari mananya?" cemoohnya. "Muka manis begitu sebenarnya cocok digagahi—"

"HEI!"

Umpatan pelanggan edisi kedua.

Ginnan kini dapat teguran langsung dari bartender. Sampai-sampai dia mengepalkan tangan karena emosi.

Lin dengan pandai mengelus lehernya yang minus jakun dan mengecupnya. "Hei... hei... tenang saja, Baby-ku. Yuka-chan hanya ingin menggodamu," katanya. "Tapi memang benar sih... kalau disewa pria, benda perkasamu jadi tak berguna."

"Ya tuhan... ternyata ada ya yang begitu?" tanyanya. Karena sangking tak percayanya. "Bukankah kalau mau seks dengan pria tinggal cari teman di bar gay?"

"Jadi kau sungguhan tidak tahu?"

"Tentu saja tidak. Madam Shin itu baik. Dia menyortir semua pelanggan yang datang dan hati-hati memilih orang." Kata Ginnan. "Makanya sampai sekarang aku masih sehat-sehat saja."

"Ohoho... tentu saja. Madammu juga Madamku, Bodoh. Memang siapa yang coba kau beritahu?" tandas Yuka. Separuh ketus, separuh mengusili.

"Jadi, Baby..." Lin menoleh ke Renji dan membimbing dagu Ginnan ikut mengarah kesana. "Dia itu novelis BL. Boys love. Cerita tentang percintaan laki-laki dengan laki-laki. Dan kau tahu kenapa dia populer? Selain karena ceritanya memang bagus... kehidupan nyatanya itu bisa jadi asupan bagi para penggemar."

"Maksudnya?"

"Dia bukan hanya menulis, Sayang. Tapi juga menjalaninya."

"Apa?!"

Lin dengan santai bergelayutan di lehernya. "Aku tidak menyukai dunia seperti itu sih..." katanya. "Tapi kalau ada temanku yang cerita pasti akan kudengarkan. Aku ini toleran, mengerti?"

"Oh..." gumam Ginnan. Kali ini dia melihat wajah Renji lamat-lamat. "Jadi maksudmu dia punya pacar pria, begitu?"

"Kurang lebih," kata Lin. "Tapi tidak juga sih. Lebih tepatnya teman seks. Dia punya banyak yang begitu."

"Ya ampun..."

"Yang paling dekat adalah sahabat sekaligus manajernya," kata Lin. "Kalau tidak salah namanya Haruki. Dan itu sudah bukan rahasia."

"Sampai begitu. Benar-benar keterlaluan..." gumam Ginnan tanpa sadar.

Yuka mendengus. "Kau bilang dia keterlaluan lalu kita sendiri apa? Malah ngeseks untuk uang." tandasnya kesal. Lebih tidak rela jika idolanya dijelekkan.

Seketika Ginnan meringis. "Hei, kau benar juga..." katanya salah tingkah.

"Tapi kudengar dia juga punya pacar perempuan sih..." kata Lin. Lalu mengendikkan bahu saat ditatap horor Ginnan. "Cuma dari cerita temanku juga."

"Uwakh... aku tidak ikut-ikutan," kata Ginnan. "Sudah berhenti saja cerita tentang dia. Merinding tahu membayangkannya."

"Haha..." tawa Lin. "Oh, ya... Yuka-chan? Daripada nimbrung disini, kenapa tidak mendekatinya? Bukankah dia idolamu?"

"Renji maksudmu?" tanya Yuka retoris. Dia justru duduk dan menyesap wine merahnya pelan-pelan. Tampak santai, sembari menonton wajah tidur Renji dari kejauhan. "Tidak. Dia itu mengerikkan. Harus pakai strategi kalau memang niat sungguhan."

"Oh, ya?" tanya Lin. "Bukankah dia itu gampangan?"

"Kau menilainya begitu hanya karena dai terkenal punya banyak teman seks?" tanya Yuka retoris. "Benar-benar sebelah mata."

"Yah aku kan bukan penggemarnya..." kata Lin. "Tapi memang sesulit apa sih?"

Baru saja bilang begitu, mendadak Renji terbangun di seberang sana. Dia memandang ke sekitar yang mulai ramai dan beranjak ke kursi bartender sebelum seorang pelacur mendekatinya.

"Haha!" tawa Yuka seketika.

Terlihat jelas Renji seolah punya radar berbahaya yang dipasang aktif sepanjang waktu.

"Air..." kata Renji. Yang entah kebetulan atau bukan. Kursi yang didudukinya tepat di sebelah mereka bertiga. Bartender di depannya pun menyuguhkan yang dipesan.

Renji meneguk air, mereka bertiga salah fokus dengan jakunnya. Naik turun, naik turun. Sangat perlahan seiring aliran air yang meluncur ke dalamnya. Pria itu bahkan terpejam karena masih agak mengantuk dan tidak menyadari ditatap fokus seperti barusan.

"Thanks," kata Renji. Tapi mendadak melirik tepat ke Ginnan.

DEG

"Hei... aku?" bisik Ginnan. Refleks dia menoleh panik ke Lin.

Lin justru cengengesan dan baru ingin menggodanya. Tapi baru tiga detik, Renji sudah mengeluarkan ponselnya yang berbunyi.

"Oh... dia ditelfon seseorang," gumam Lin memperhatikan. "Kira-kira siapa, hm?"

"Mana kutahu." kata Ginnan masih berbisik.

"Mungkin Haru," kata Yuka menambahi. "Yang pasti ini bisa jadi bahan gosip di group chat-ku nanti."

Lin menoleh ke Yuka. "Ho... Kau tidak ingin memotretnya diam-diam?"

"Aku merekam permbicaraan kita sejak tadi."

"Apa?!"

Ginnan memprotes, Yuka menunjuk ponsel yang diletakkan di samping gelas wine-nya tanpa dosa. "Aku ini fujoshi canggih, kau tahu?"

"Fujo—apa?"

[NB: Fujoshi adalah perempuan yang suka jika ada dua laki-laki memiliki hubungan romantis. Versi laki-lakinya disebut Fudanshi]

Mendadak terdengar umpatan bahasa ibu.

Seketika, mereka bertiga menoleh ke Renji. Dan Pria itu membanting ponselnya kasar ke meja. Tak peduli. Padahal layar benda itu langsung mati.

"Tolong, satu gelas Rockflare Island," pesan Renji. Lalu menyulut rokok yang tersimpan di saku jaketnya.

Asap pun mengepul ke udara.

Bartender yang dipesani tersenyum ramah kala menyuguhkan.

"Harimu sedang buruk, Tuan?" tanyanya halus. "Sejak tadi malam kau masih saja tahan disini."

"Yeah..." kata Renji sekenanya. Rokok dicabut diantara jari, dan segelas wine lagi-lagi tandas dengan gerakan jakun yang sensual.

"Dia benar-benar dewa visual..." gumam Ginnan tanpa sadar. Matanya bahkan tak berkedip melihat pemandangan itu.

Refleks, Lin dan Yuka over-reaction.

"Hei, Bung..." kata Lin heran.

"Apa kau bilang tadi?" tanya Yuka tak mau kalah.

"Eh? Aku?" bingung Ginnan. Setelah beberapa detik, dia berkedip. "Memang tadi aku bilang apa?" tanyanya, lalu menoleh ke arah Yuka.

"Dasar bodoh..." umpat Yuka. "Kau yang begitu mengaku lurus-lurus saja heh? Apanya yang homofobik coba?"

"Homo apa katamu?" tanya Ginnan tak terima.

"Kalau memang tidak homofobik bisa buktikan kepada kami?" tantang Lin. Sambil mengerling ke Yuka, dia bersandiwara minta bantuan.

Sinyal 4G, Yuka tersenyum sumeringah. "Hei, benar juga. Kenapa tidak dekati dia kalau memang bisa biasa." katanya. Dengan bahu mengendik, dia menoleh ke arah Renji. Pria itu kini menunggu gelasnya dituang lagi. Dengan paras agak berantakan, baru bangun dari tidurnya yang bermasalah, belum mandi, tapi entah kenapa tetap terlihat panas. Caranya menghembuskan asap rokok bahkan pantas ditangkap kamera editorial.

"Hei, kenapa harus begitu?" tanya Ginnan curiga.

"Kalau takut berinteraksi dengan pria sepertinya, sisi mana yang kau sebut perkasa?" tantang Yuka lagi.

Sungguh-sungguh kompor sejati.

Bagusnya, Ginnan tetap berusaha tak peduli. Tapi Lin tetap mendorongnya jatuh ke depan.

"Hei!" protes Ginnan. Dan dia terpaksa mengerem diri sebelum menabrak tubuh Renji. "Uwakh! Maaf, Tuan!" katanya. Lalu segera mundur teratur. "Apa kau terluka? Apa aku mengenaimu? Eh gelas wine-mu!"

Jeritan Ginnan belum selesai tapi cairan merah itu sudah meluber di coat tebal Renji. Bulu serigala di lehernya yang memanjang hingga dada bahkan ikut layu dan menetes-netes.

Renji menatap Ginnan sejenak. Mata emasnya seolah ingin menerkam layaknya serigala sungguhan.

Ginnan sendiri sudah menahan nafas dan ketar-ketir akan digampar, tapi Renji justru hanya mengambil tisu di depannya.

"Lain kali hati-hati," kata Renji. Diusapnya luberan itu pelan-pelan. Tatapannya layu, dan kembali minum dengan santai. Seolah tak pernah terjadi apa-apa dan seolah tak ada Ginnan juga disana.

"Oh... ya..." kata Ginnan. Mendadak jadi prihatin ke pria ini. "Tapi aku kan mengotori jaketmu? Apa kau sungguh baik saja?" tanyanya. Lalu duduk di kursi sebelah Renji.

"Hm..." gumam Renji tanpa menoleh.

"Jaketmu kan mahal..."

"Aku bisa beli yang sama nanti."

Jawaban Renji seringan angin. Padahal meski Ginnan tak mengerti merek-merek bergengsi, dia tahu apapun yang dikenakan pria itu pasti berkelas. 

"Maaf, ya."

"Hm..."

Ginnan garuk-garuk kepala. "Ngomong-ngomong aku tadi mendengar ucapan Mr. Han," katanya. "Maksudku bartender yang melayanimu."

"Kau menyebut namaku?" tanya Mr. Han.

"Iya, tapi jangan menguping," kata Ginnnan. Dia mengibaskan tangan. "Sana pergi kerja."

"Hish!" protes Mr. Han. Tapi pria itu tetap pergi ke belakang dengan serbet dan botol kosongnya.

"Soal kau kesini sejak semalam," kata Ginnan. Lagi-lagi mengawali. "Lalu ketiduran dan sekarang malah sarapan dengan wine keras."

"Itu bukan urusanmu."

Jleb!

"Ya ampun... benar juga," kata Ginnan. Setelah terdiam, salah tingkah. "Tapi tetap saja aku peduli. Apalagi penampilanmu sekarang kelihatan lebih berantakan karena ulahku. Apa kau ada masalah?"

Tak!

Renji meletakkan gelasnya, dan menoleh. Lagi-lagi tatapan layu itu. menusuk tepat ke mata Ginnan. Emasnya berkilau redup layaknya lilin.

"Kau bukan mencari perhatianku?"

"Apa?"

"Dengan penampilan itu, kalung itu, dan aroma itu," kata Renji. matanya menelusur dari mata, leher dan ke dada sarat parfum tempat Ginnan berfokus menyemprotkannya. "Kau sedang ingin kugumuli atau bagaimana?"

DEG

"A-Apa?" kaget Ginnan. Seketika mukanya merona seperti tomat. "T-Tidak kok! Aku memang gigolo tapi khusus untuk perempuan. Aku kesini pun karena didorong teman-temanku."

"Teman-teman?"

"Iya, satu pelacur dan satu lagi yang berniat menyewaku," kata Ginnan berusaha meyakinkan. Dia pun berbalik dan menunjuk ke satu spot. "Itu disana."

DEG

"Kau sedang beralasan?" tanya Renji. Bahkan sebelum serangan jantungnya berakhir.

Sebab Yuka dan Lin sudah tidak ada disana. Bekas gelas mereka pun tak ada.

"Sial! Mereka pengkhianat! Tapi sungguh aku tak bohong!" tegas Ginnan. Matanya seperti meminta ampun. "Hei, percayalah padaku, Tuan. Aku terjebak di situasi ini."

Bukannya mendengarkan, Renji justru melihat kalung yang melilit di leher Ginnan. Seperti sabuk hewan peliharaan. Atau gigolo yang memang sedang menjaja diri.

"Sebenarnya kau tidak buruk." kata Renji. Telunjuk kirinya menelusup di kalung itu dan mendekatkan mereka berdua. Sementara telunjuk kanannya menekan puntung rokok ke asbak.

Mati.

"Eh, Tuan?"

Ginnan menutup matanya ketakutan, Renji justru meniti mata dari dekat. Seintens itu.

"Sayang baumu memualkan."

"Hah?"

Dalam satu hentakan, Ginnan mundur ke belakang.

"Menjauh dariku."

"Y-Ya Tuhan..."

Ginnan mengelus dada. Renji beranjak dengan meninggalkan beberapa lembar yen di meja. Pria itu menyeret ponsel dan kontak mobilnya keluar dari bar dan tak menoleh sekalipun dipanggil atas uang kembalian.

Ginnan hampir saja emosi. Kalau dia tak melihat sebuah kartu penting Renji tercecer di bawah kursi. Black card. Mungkin pria itu tak sengaja menjatuhkannya saat mengeluarkan uang dari dompet.

"Astaga... ini benar-benar kartu hitam," kata Ginnan. Dia mengelus pelan kartu itu dengan bujarinya.  "Memang sekaya apa sih orang itu?"

Tanpa pikir panjang, Ginnan pun segera berlari dan mengejar. Seperti naluri.

"Hei, Tuan!" panggil Ginnan. Dia melambai keras dan segera lari lagi ketika Renji mulai berbalik. Pria itu sudah di depan audi hitamnya dan tetap dengan muka datar. "Kartumu! Ini! Terjatuh tadi di lantai!"

Renji memandang Ginnan yang berlutut di depannya dengan napas tersengal-sengal. Lelaki gigolo itu tertawa senang sembari mengusap keringat di keningnya.

"Kartumu kan?"

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karean di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter